Kementerian LHK Klaim Hutan Sosial untuk Lapangan Kerja dan Keadilan

Selasa, 13 Oktober 2020 - 11:54 WIB
loading...
Kementerian LHK Klaim...
Sekretaris Jenderal (Sekjen) Kementerian LHK, Bambang Hendroyono. Foto/Istimewa
A A A
JAKARTA - Pertama kalinya perhutanan sosial secara eksplisit diatur dalam Undang-Undang (UU) yakni di UU Cipta Kerja , yang merupakan wujud nyata penciptaan lapangan kerja bagi seluruh masyarakat, khususnya masyarakat dalam kawasan dan sekitar kawasan hutan, dan keadilan harus terus di dorong dalam sebuah UU yang nyata.

(Baca juga: BMKG Minta Masyarakat Waspada Fenomena Gerakan Tanah dan Dampak La Nina)

Hal ini terungkap dalam acara 'Bincang Undang-Undang: Atasi Kesenjangan Multi-Tafsir dengan tema Hutan Sosial Untuk Lapangan Kerja dan Keadilan' yang diselenggarakan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Senin 12 Oktober 2020.

(Baca juga: Politikus PAN Imbau Demonstran Hindari Penyusup)

Sekretaris Jenderal (Sekjen) Kementerian LHK, Bambang Hendroyono menegaskan, dengan perhutanan sosial di UU Cipta Kerja merupakan wujud nyata keadilan kepada masyarakat dan menciptakan lapangan kerja.

"Perhutanan Sosial merupakan sistem pengelolaan hutan lestari yang dilaksanakan dalam kawasan hutan negara atau hutan hak/hutan adat yang dilaksanakan masyarakat setempat untuk meningkatkan kesejahteraannya, menjaga keseimbangan lingkungan dan dinamika sosial budaya," kata Bambang.

"Perhutanan sosial juga menjadi salah satu alternatif penyelesaian berbagai permasalahan kehutanan yang akut dan menahun. Melalui UU Cipta Kerja masyarakat di sekitar hutan dapat bekerja dengan perlindungan hukum yang jelas," tambahnya.

Dalam acara yang dipandu Karo Humas Kementerian LHK, Nunu Anugrah ini, Wakil Ketua DPR RI Komisi IV, Dedi Mulyadi menjelaskan, secara kultural, Perhutanan Sosial sudah tebentuk ketika kolonial Inggris dan Belanda.

"Tujuan utamanya yaitu melindungi areal hutan yang tidak boleh dijamah oleh masyarakat, yang harus terjaga kelestariannya, tetapi ekonomi masyarakat harus tetap hidup. Saat ini, pemerintah memiliki otorisasi penuh dalam menentukan arah pengelolaan sumber daya kehutanan," ucap Dedi.

Dedi berharap, para pengelola di bidang kehutanan dapat meletakkan hutan tidak hanya sebagai sumber ekonomi publik tetapi juga sebagai sumber spiritualitas publik.

"Dalam proses pengembangan-pengembangan hutan sebagai peningkatan ekonomi, perlu diterapkan prinsip-prinsip kepada masyarakat bahwa ekonomi bukan kayunya, ekonomi bukan rantingnya, tetapi ekonomi adalah pelestariannya," ujar Dedi.

Dirjen Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan, Bambang Supriyanto menjelaskan, program Perhutanan Sosial tidak hanya untuk distribusi akses tetapi juga didampingi dengan kebijakan pemerataan ekonomi melalui program pendampingan untuk meningkatkan kapasitas masyarakat dan dukungan akses, modal serta pasar.

"Data capaian kelompok usaha perhutanan sosial (KUPS) sejak tahun 2016 hingga 2020 yang terus mengalami peningkatan. Jumlah KUPS hingga Juni tahun 2020 tercatat 7.311 KUPS dan terdapat lebih dari dua juta tenaga kerja sektor Perhutanan Sosial," jelas Bambang Supriyanto.

"Dengan masuknya perhutanan sosial ke dalam UU Cipta Kerja akan lebih memperkuat pengelolaan Perhutanan Sosial dalam kaitannya dengan penciptaan lapangan kerja, pengurangan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat," tambahnya.

Sebagai contoh nyata bahwa program Perhutanan Sosial selama ini sangat berdampak baik pada masyarakat adalah produk petani hutan, madu, minyak kayu putih, jahe merah, yang menjadi produk petani hutan yang laris saat pandemi Covid-19.

Prof San Afri Awang yang hadir dalam kesempatan tersebut menegaskan, masuknya Perhutanan Sosial dalam UU Cipta Kerja, menunjukkan negara hadir untuk masyarakat. Oleh karenanya perhutanan sosial harus diletakkan sebagai sentral karena memuat tiga hal yaitu ekologi, ekonomi dan kesejahteraan.

"Perhutanan sosial menjadi strategis dan penting. Untuk itu perlu diperkuat dalam Peraturan Pemerintah sebagai tindak lanjut dari UU Cipta Kerja. Peraturan Pemerintah terkait perhutanan sosial harus mampu mengatur dengan tata kelola yang baik semua bentuk perhutanan sosial yang digagas KLHK dan yang digagas masyarakat seperti yang dinyatakan dalam definisi perhutanan sosial," kata San Afri.

"Pemerintah perlu melibatkan masyarakat dalam menciptakan inisiatif-inisiatif program. Jangan lupa juga, social forestry punya kewajiban menanam kayu. Siapapun yang pegang izin, pastikan mereka juga menanam kayu," tutupnya.
(maf)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1410 seconds (0.1#10.140)