Tokoh Publik Harus Beri Contoh, Hindari Aksi Provokasi

Sabtu, 10 Oktober 2020 - 00:30 WIB
loading...
Tokoh Publik Harus Beri...
Masyarakat diminta untuk cermat dalam menyikapi informasi yang beredar. Sikap tersebut penting agar tidak terpengaruh oleh informasi yang tidak jelas kebenarannya. Ilustrasi/SINDOnews
A A A
JAKARTA - Provokasi dinilai bisa dikatakan sebagai pembangkangan sosial. Ajakan-ajakan untuk membangkang terhadap aturan serta membuat gaduh sangat berbahaya, apalagi jika hal ini ditambahi oleh bumbu-bumbu informasi bohong atau hoaks. Tindakan semacam itu dperlu diwaspadai agar masyarakat tidak sampai ikut terhasut.

Menurut pakar psikologi politik, Prof Dr Hamdi Muluk, pada dasarnya masyarakat Indonesia suka mengikuti tokoh-tokoh yang ada. Para tokoh dikatakannya bisa berperan untuk melawan provokasi, bukannya malah ikut-ikutan menyebar hoaks .

”Kita berharap tokoh-tokoh ini bersikap seperti negarawan, memberikan contoh-contoh yang baik kepada masyatakat, mementingkan negara dulu. Kalau dia sendiri 'tukang kompor', ya repot, apalagi followernya banyak, umatnya banyak,” tutur Hamdi di Jakarta, Jumat 9 Oktober 2020.

Apalagi, sambung Hamdi, provokasi biasanya berkaitan dengan dua hal utama, yakni hoaks atau fake news, kemudian teori konspirasi.

Menurut dia, berita-berita bohong adalah yang paling sering, kemudian teori konspirasi. Hamdi mengatakan, biasanya keduanya digabungkan untuk kemudian digiring ke arah provokasi.

”Biasanya masyarakat diajak untuk melakukan pembangkangan sosial, pembangkangan terhadap negara, tidak percaya, tidak patuh. Dalam konteks radikal itu termasuk tidak percaya kepada pemerintah, pemerintah ini disebut thogut dan segala macam,” ungkap Hamdi.( )

Dia mengungkapkan, dahulu yang paling sering digaungkan untuk provokasi adalah banjirnya tenaga kerja asing (TKA) Cina di Indonesia, seperti tuduhan yang pernah terjadi terhadap upaya menggali terowongan gelap di dekat Halim, yang mana sebetulya itu adalah pekerja konstruksi kereta cepat.

”Tapi hal ini kemudian dipelintir yang ujung-ujungnya mengajak masyarakat tidak mempercayai pemerintah. Atau nanti bisa juga bilang ’ini yang bikin kita sengsara, kelakuan orang-orang kafir, orang-orang cina, kristen, yahudi’ ujung-ujungnya nanti bisa mengarah ke persekui,” tutur Hamdi.

Oleh karena itu, kata dia, masyarakat harus disadarkan, diajak untuk berpikir cerdas agar tidak cepat percaya hoaks. Tidak cepat percaya teori-teori konspirasi.( )

Dia mengingatkan pentingnya mengecek dulu kebenaran berita-berita yang ada. Dengan teknologi sekarang, hal tersebut bisa dilakukan dengan mudah. ”Bisa saja itu diedit sedikit-sedikit kemudian dimasukkan ke grup WA, ke sosmed,” kata Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia itu.

Untuk itu, Hamdi menyarankan agar informasi yang beredar harus diimbangi dengan berita yang benar. Dia mencontohkan seperti Undang-Undang Cipta Kerja, meskipun secara akademik ada masalah, tetapi selain itu dia melihat ada juga hoaks macam-macam beredar, misalnya karyawan tidak akan dapat pesangon sedikitpun, tidak ada lagi uang pensiun’ dan sebagainya.

”Kalau hal ini dibiarkan, provokasi, hoaks bertebaran, bisa membuat orang jadi anarkis, membuat masyarakat jadi resah tidak terkontrol. Kalau dibiarkan lama-lama berita-berita palsu ini bisa dianggap benar nantinya. Maka pemerintah memang harus tegas,” ucap mantan anggota Panitia Seleksi (Pansel) Calon Pimpinan KPK ini.

Untuk itu, Koordinator Program Master dan Doktoral di Fakultas Psikologi UI ini menilai literasi digital penting untuk digencarkan sejak dini, sejak dari taman kanak-kanak. Sebab, media sosial sangat susah sekali dikontrol dibandingkan dengan media-media yang lain. Sekarang medan pertempuran ada di internet, media sosial.

”Kominfo, Badan Siber, BNPT, polisi dan badan-badan keamanan itu harus melakukan monitoring dan sebisa mungkin ditangkal meskipun memang sulit. karena memang ini tantangannya sekarang. Nah Kominfo dan Badan Siber perlu untuk memantau ini, mana yang perlu dimatikan dan seterusnya,” ujarnya.
(dam)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1553 seconds (0.1#10.140)