Menyoal Self Declare Produk Halal di UU Ciptaker
loading...
A
A
A
Ikhsan Abdullah
Direktur Eksekutif Indonesia Halal Watch
DALAM beberapa hal kita bersyukur hasil final dari RUU Cipta kerja terkait Jaminan Produk Halal mengalami perbaikan, khususnya dalam hal fatwa halal telah diketok tetap menjadi kewenangan MUI.
Namun secara keseluruhan, isu yang selama ini ramai diperdebatkan perihal ketentuan mengenai sertifikasi auditor halal, akreditasi lembaga pemeriksa halal (LPH) dan ketentuan kerja sama dengan lembaga sertifikasi halal internasional serta sistem jaminan halal memposisikan BPJPH menjadi Badan yang super body, sekaligus menempatkan MUI seperti menjadi subordinat atau bawahan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) dalam konteks pelaksanaan sistem jaminan halal.
Bila dalam konteks Undang-Undang Omnibus pada klaster jaminan produk halal tersebut, pendekatan yang humanis dan tetap takdzim kepada MUI sebagai representasi ulama dikedepankan sebagai hal yang sangat penting bagi personal yang ada di BPJPH, maka niscaya dapat memuluskan implementasi Undang-Undang tersebut.
Akan tetapi bila yang terjadi kekakuan-kekauan seperti yang ditunjukkan kepala BPJPH tiga tahun terahir ini, maka kami sangat khawatir UU Omnibus pada klaster jaminan produk halal ini semakin sulit untuk dilaksanakan.
Hal yang sangat tidak tepat di dalam ketentuan omnibus jaminan produk halal yang pada Senin 5 Oktober 2020 disahkan oleh DPR dalam sidang paripurna adalah ketentuan mengenai self declare ini adalah sesuatu yang diharamkan oleh UU JPH, yakni Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal sebelum Ketentuan Omnibus Law.
Namun menjadi dihalalkan oleh omnibus, yang sebenarnya juga melemahkan MUI dan Kementerian Agama yang secara struktur dan kelembagaan telah mempunyai organ sampai di tingkat kecamatan di Seluruh Indonesia yang bisa diaktifkan dan diberdayakan untuk melakukan fungsi pembinaan, pengawasan dan edukasi kepada UKM bagaimana tata cara memproduksi barang halal dari mulai Pemilihan bahan, proses produksi Pengangkutannya, hingga sampai kepada Konsumen (halal value chain).
Karena halal itu mata rantainya (from farm to fork atau dari ladang sampai ke meja makan, yang harus dijamin kehalalannya). Lalu bagaimana bila halal hanya dinyatakan sendiri oleh pelaku usaha UKM?
Kita semua faham tidak semua UKM menggunakan bahan produksi termasuk kategori positif list seperti bahan-bahan alam misal beras, tepung ketela, sagu. Tetapi banyak UKM yang menggunakan bahan utamanya dari daging, margarin, roombutter dan bahan penolong serta bahan artifisial yang memiliki titik kritis tinggi yang masih harus ditracing kehalalannya. Bila hanya dengan halal self declare, maka akan menjadi tidak jelas kehalalanya
Yang menjadi persoalan utama, halal itu bukan masalah perizinan yang dalam Omnibus Law dimasukan di dalam klaster perizinan dan kemudahan berusaha. Tetapi halal itu adalah Hukum syariah (Islam) yang menjadi domain dan kewenangan Ulama.
Kehalalan Produk tidak hanya didekati dengan ilmu fikih tapi juga dengan teknologi, karena di masa kini perkembangan teknologi pangan olahan sudah begitu mutahir yang dapat menjadikan tidak jelas lagi produk yang halal dan yang tidak.
Oleh karena itu, tetap diperlukan pemeriksaan atas suatu produk sebelum dilakukan penetapan fatwa oleh MUI, jadi halal self declare tidak sejalan dengan maqosid syariah, disamping tidak sesuai prinsip Perlindungan Konsumen yang menjadi tujuan utama.
Direktur Eksekutif Indonesia Halal Watch
DALAM beberapa hal kita bersyukur hasil final dari RUU Cipta kerja terkait Jaminan Produk Halal mengalami perbaikan, khususnya dalam hal fatwa halal telah diketok tetap menjadi kewenangan MUI.
Namun secara keseluruhan, isu yang selama ini ramai diperdebatkan perihal ketentuan mengenai sertifikasi auditor halal, akreditasi lembaga pemeriksa halal (LPH) dan ketentuan kerja sama dengan lembaga sertifikasi halal internasional serta sistem jaminan halal memposisikan BPJPH menjadi Badan yang super body, sekaligus menempatkan MUI seperti menjadi subordinat atau bawahan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) dalam konteks pelaksanaan sistem jaminan halal.
Bila dalam konteks Undang-Undang Omnibus pada klaster jaminan produk halal tersebut, pendekatan yang humanis dan tetap takdzim kepada MUI sebagai representasi ulama dikedepankan sebagai hal yang sangat penting bagi personal yang ada di BPJPH, maka niscaya dapat memuluskan implementasi Undang-Undang tersebut.
Akan tetapi bila yang terjadi kekakuan-kekauan seperti yang ditunjukkan kepala BPJPH tiga tahun terahir ini, maka kami sangat khawatir UU Omnibus pada klaster jaminan produk halal ini semakin sulit untuk dilaksanakan.
Hal yang sangat tidak tepat di dalam ketentuan omnibus jaminan produk halal yang pada Senin 5 Oktober 2020 disahkan oleh DPR dalam sidang paripurna adalah ketentuan mengenai self declare ini adalah sesuatu yang diharamkan oleh UU JPH, yakni Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal sebelum Ketentuan Omnibus Law.
Namun menjadi dihalalkan oleh omnibus, yang sebenarnya juga melemahkan MUI dan Kementerian Agama yang secara struktur dan kelembagaan telah mempunyai organ sampai di tingkat kecamatan di Seluruh Indonesia yang bisa diaktifkan dan diberdayakan untuk melakukan fungsi pembinaan, pengawasan dan edukasi kepada UKM bagaimana tata cara memproduksi barang halal dari mulai Pemilihan bahan, proses produksi Pengangkutannya, hingga sampai kepada Konsumen (halal value chain).
Karena halal itu mata rantainya (from farm to fork atau dari ladang sampai ke meja makan, yang harus dijamin kehalalannya). Lalu bagaimana bila halal hanya dinyatakan sendiri oleh pelaku usaha UKM?
Kita semua faham tidak semua UKM menggunakan bahan produksi termasuk kategori positif list seperti bahan-bahan alam misal beras, tepung ketela, sagu. Tetapi banyak UKM yang menggunakan bahan utamanya dari daging, margarin, roombutter dan bahan penolong serta bahan artifisial yang memiliki titik kritis tinggi yang masih harus ditracing kehalalannya. Bila hanya dengan halal self declare, maka akan menjadi tidak jelas kehalalanya
Yang menjadi persoalan utama, halal itu bukan masalah perizinan yang dalam Omnibus Law dimasukan di dalam klaster perizinan dan kemudahan berusaha. Tetapi halal itu adalah Hukum syariah (Islam) yang menjadi domain dan kewenangan Ulama.
Kehalalan Produk tidak hanya didekati dengan ilmu fikih tapi juga dengan teknologi, karena di masa kini perkembangan teknologi pangan olahan sudah begitu mutahir yang dapat menjadikan tidak jelas lagi produk yang halal dan yang tidak.
Oleh karena itu, tetap diperlukan pemeriksaan atas suatu produk sebelum dilakukan penetapan fatwa oleh MUI, jadi halal self declare tidak sejalan dengan maqosid syariah, disamping tidak sesuai prinsip Perlindungan Konsumen yang menjadi tujuan utama.
(dam)