Efektivitas Bansos Produktif untuk Usaha Mikro

Selasa, 06 Oktober 2020 - 05:56 WIB
loading...
Efektivitas Bansos Produktif untuk Usaha Mikro
Siti Alifah Dina
A A A
Siti Alifah Dina

Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS)

PEMBATASAN sosial berskala besar (PSBB) kembali diberlakukan di Jakarta pada 14-28 September 2020, dan diperpanjang hingga 11 Oktober 2020. PSBB ini oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta diniatkan sebagai "rem darurat" sebagai upaya mengurangi jumlah penyebaran Covid-19. Layaknya PSBB pertama yang diterapkan Maret-Juni kemarin, langkah ini tentunya akan berdampak pada produktivitas usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS), 84,2% UMKM di Indonesia mengalami penurunan pemasukan sebagai dampak pandemi. Oleh karena itu, Kementerian Keuangan meluncurkan bantuan sosial (bansos) produktif sebagai bagian program Pemulihan Ekonomi Nasional untuk meningkatkan daya tahan UMKM.

Namun, bansos saja tidak cukup untuk keberlanjutan produktivitas usaha mikro. Peningkatan akses UMKM ke pasar digital dapat menjadi salah satu solusi keberlangsungan usaha mikro di tengah pandemi. Bansos produktif senilai Rp2,4 juta ditujukan bagi pelaku usaha mikro yang belum pernah atau tidak sedang menerima pinjaman dari perbankan dan memiliki jumlah dana kurang dari Rp2 juta di dalam rekening bank.

Usaha mikro didefinisikan sebagai usaha yang memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp300 juta menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang UMKM. Umumnya, usaha tersebut dilakukan di level rumah tangga dengan jumlah tenaga kerja maksimal empat orang dan bergerak di sektor kerajinan, makanan dan minuman, pakaian, dan peralatan rumah tangga. Untuk mendapatkan data pelaku usaha mikro yang memenuhi kriteria penargetan tersebut, Kementerian Keuangan menggunakan kompilasi data dari Kementerian Koperasi dan UKM, pemerintah daerah, Otoritas Jasa Keuangan, dan Himpunan Bank Negara seperti BNI, Mandiri, dan BRI. Bank milik negara ini turut berperan dalam menyalurkan bantuan melalui rekening pelaku usaha mikro. Kementerian Keuangan sebaiknya mengevaluasi kembali metode penargetan bantuan sosial untuk tujuan peningkatan produktivitas usaha mikro ini.

Sebagian besar pelaku usaha mikro berpotensi "terkecualikan" dalam skema pemberian bansos, karena karakteristik usaha mikro di Indonesia yang sebagian besar informal dan belum memiliki akses terhadap layanan perbankan. Diperkirakan 79% usaha mikro masih bersifat informal menurut data dari International Finance Corporation (IFC) pada 2016. Tidak hanya itu, laporan dari Global Financial Index Database tahun 2017 menyebutkan bahwa 51% masyarakat dewasa Indonesia belum memiliki rekening bank. Sebagai perbandingan, Thailand dan Malaysia memiliki proporsi yang lebih rendah daripada Indonesia dengan masing-masing sebesar 18% dan 15%.

Walaupun pendaftaran bisa dilakukan melalui dinas koperasi dan UKM di kabupaten/kota, langkah ini harus diimbangi dengan sosialisasi yang ekstensif. Sosialisasi bertujuan agar pelaku usaha mikro, terutama di perdesaan, mengetahui mekanisme bansos ini dan aktif mendaftar. Kementerian Keuangan dalam konferensi persnya pada Agustus kemarin menegaskan bahwa mayoritas penerima bantuan adalah perempuan dengan harapan munculnya efek pengganda atau multiplier effect kepada keluarga pelaku usaha, khususnya anak. Namun, studi Peterman et. al. (2016) dari UNICEF menjelaskan bahwa bantuan sosial yang ditargetkan untuk perempuan terbukti dapat membantu mengurangi ketidaksetaraan gender dalam rumah tangga. Namun, hal ini belum tentu berdampak kepada anak. Bahkan, Bernhardt et. al. (2019) mengungkapkan bahwa terdapat kecenderungan modal usaha yang diterima perempuan akan diinvestasikan ke usaha milik suami mereka. Ini terjadi jika di dalam rumah tangga terdapat dua usaha berbeda yang dikelola masing-masing oleh istri dan suami.

Dampak positif penggunaan modal usaha terhadap pengusaha perempuan terlihat pada rumah tangga yang memiliki satu usaha dikelola sendiri atau bersama. Bansos produktif akan bermanfaat untuk pelaku usaha mikro, khususnya mereka yang berusaha bukan untuk mengembangkan bisnis namun untuk bertahan hidup. Berdasarkan studi yang dilakukan World Bank (2010) dan Berner et. al. (2012), terdapat segmentasi pelaku usaha mikro di negara berkembang, termasuk di Indonesia. Segmentasi tersebut terdiri atas pelaku usaha dengan prioritas mengakumulasi kapital (growth-oriented ) dan pelaku usaha yang bahkan untuk memenuhi kebutuhan dasar masih kesulitan (survivalist ), sehingga belum fokus hanya mengembangkan usahanya. Hasil studi ini dapat menjelaskan ilustrasi perbedaan kedua jenis pelaku usaha yang sama-sama digolongkan ke dalam "usaha mikro" di Indonesia, misalnya penjual jamu keliling dengan omzet Rp100.000 per hari jika ia beruntung dan pemilik usaha kain batik yang memiliki dua karyawan dengan omzet rata-rata Rp800.000 per hari.

Berner et. al. menegaskan bentuk dukungan pemerintah berupa bansos akan membantu pengusaha mikro survivalist untuk bertahan hidup. Namun, bansos harus dilengkapi dengan dukungan lainnya agar pelaku usaha survivalist serta growth-oriented dapat berkembang dan berkelanjutan. Perluasan pasar bagi pelaku usaha mikro dapat menjadi alternatif solusi untuk usaha mikro yang berkelanjutan. Digitalisasi dapat membuka potensi pasar bagi UMKM menjadi lebih luas sehingga meningkatkan penjualan UMKM khususnya saat pandemi. Studi dari Universitas Indonesia menjelaskan bahwa pandemi merupakan alasan utama pelaku UMKM untuk masuk dunia digital menurut 71% penjual GoFood dan 93% social seller (pengusaha individu/mikro yang memiliki sedikit pengalaman berbisnis dan menargetkan jejaring sosial sebagai konsumen melalui media sosial) yang menggunakan GoSend. Pada saat yang bersamaan, prospek konsumen digital juga turut meningkat dilihat dari peningkatan penggunaan aplikasi belanja online atau dalam jaringan (daring) sebesar 42% menurut infografis BPS.

Namun, Kementerian Perdagangan mewajibkan pelaku usaha yang menggunakan sistem daring untuk memiliki izin per 1 November 2020 nanti. Dasar hukum pemberlakuan izin tertuang dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 50/2020 tentang Ketentuan Perizinan Usaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha melalui Sistem Elektronik. Pasal 39-41 peraturan tersebut menjelaskan bahwa pelaku usaha yang tidak memiliki izin dapat dikenakan sanksi administratif. Sanksi tersebut berupa teguran tertulis sebanyak maksimal tiga kali, kemudian jika tidak diindahkan akan dimasukkan dalam daftar hitam dan/atau pemblokiran sementara.

Untuk mendorong digitalisasi usaha mikro, Kementerian Perdagangan dapat mempertimbangkan pengecualian pemberlakuan izin perdagangan daring khusus untuk usaha mikro atau setidaknya menunda setelah pandemi dapat diatasi pada tahun depan. Berkaca dari laporan IFC terhadap kendala perizinan untuk perdagangan konvensional atau offline , 33% pelaku usaha mikro dan kecil menganggap bahwa proses perizinan terlalu rumit. Sedangkan 27% pelaku usaha mikro dan kecil menyebutkan bahwa mereka tidak melihat adanya manfaat dari perizinan. Kementerian Perdagangan juga dapat melihat bagaimana negara lain mengatur sistem perdagangan daring untuk melindungi hak konsumen, salah satunya adalah Inggris. Alih-alih memberlakukan izin, Inggris menetapkan peraturan yang harus ditaati dan menerapkan sanksi jika ada pelaku usaha yang melanggar peraturan tersebut. Beberapa hal yang diatur yaitu mencantumkan secara jelas langkah-langkah pemesanan, mencantumkan kontak setidaknya dalam bentuk surel, menjelaskan jenis barang atau jasa yang dijual dengan lengkap dan menjelaskan bagaimana harga total barang serta biaya antar dihitung. Pendekatan Inggris terbukti berhasil dalam mewujudkan perdagangan melalui sistem daring yang aman dengan tidak menghambat kemudahan berusaha bagi pelaku usaha.

(bmm)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.3971 seconds (0.1#10.140)