Ini Hukum Perkawinan Beda Agama dan Beda Kewarganegaraan
loading...
A
A
A
Secara yuridis, tidak ada larangan perkawinan yang dilakukan oleh pasangan yang berbeda agama. Dan, jika ada diskriminasi terhadap perkawinan beda agama itu merupakan pelanggaran terhadap asas-asas dasar hak asasi manusia itu sendiri.
Hal ini ditegaskan Ketua Program Studi Doktor Hukum UKI, Prof. John Pieris, dalam webinar “Aspek Hukum Perkawinan Campur ; Perkawinan Beda Agama dan Perkawinan Beda Kewarganegaraan”, yang diadakan Fakultas Hukum UKI bekerjasama dengan Program Studi Doktor Hukum UKI (23/9/2020).
Prof. John Pieris menyatakan secara yuridis, Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, tidak melarang adanya perkawinan yang dilakukan oleh pasangan yang berbeda agama. Bahkan, Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 memberikan secara tidak langsung ruang bagi terjadinya perkawinan beda agama, yaitu dengan memanfaatkan Pasal 56 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974.
“Secara sosiologis, perkawinan beda agama masih diterima oleh sebagian masyarakat di Indonesia. Secara filosofis, hak-hak yang terkait dengan agama merupakan hak yang sangat mendasar dan tidak dapat dikurangi, diskriminasi terhadap perkawinan beda agama merupakan pelanggaran terhadap asas-asas dasar hak asasi manusia itu sendiri, “ ujar Prof. John Pieris.
John Pieris menambahkan bahwa kebebasan dalam memilih pasangan hidup, merupakan salah satu Hak Asasi Manusia yang mendapat perlindungan secara sungguh-sungguh. Hak Kebebasan adalah hak yang bersifat melindungi kebebasan dan kedamaian manusia dalam kehidupan pribadi, antara lain kebebasan memilih jodoh dan kebebasan beragama.
“UU Perkawinan nomor 1 Tahun 1974 perlu di revisi dengan terlebih dahulu meletakkan paradigma baru. Teologi persahabatan harus dibangkitkan. Teman-teman yang berbeda agama itu adalah satu bangsa dan satu tanah air. Mari kita merajut persatuan dan menjaga kebhinekaan ini !” tegas John Pieris.
Hal senada dinyatakan Pendeta GKI, yang aktivis lintas agama Pdt. Dr. Albertus Patty, M.A., M.ST bahwa UU Perkawinan nomor 1 Tahun 1974, pasal 2 menyatakan Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut masing-masing HUKUM agamanya dan kepercayaannya itu.
“Tetapi, Indonesia bangsa yang plural! Dunia pun berubah. Perkembangan teknologi, transportasi dan mobilisasi membuat masyarakat mudah berinteraksi. Perkawinan beda agama akan semakin meningkat dan semakin tidak realistis menolaknya. Seharusnya pemerintah melayani kebutuhan warganya yang ingin menikah beda agama karena efek sosialnya yang positif, “ tutur Aktivis Lintas Agama ini.
Pdt. Albertus Patty berpandangan seharusnya agama diciptakan untuk kebaikan manusia. Pemerintah melalui Kementerian Agama dapat melindungi warga negara, dengan merevisi UU Perkawinan.
Perkawinan Beda Kewarganegaraan
Terkait dengan perkawinan beda agama ini, akademisi FH UKI, Edward Panjaitan, S.H., LL.M menjelaskan dari sisi perkawinan beda kewarganegaraan dalam Hukum Indonesia.
“Ruang lingkup perkawinan berubah sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang begitu pesat, tanpa mengindahkan lagi batas-batas Negara dan Bangsa. Akibatnya semakin mudah terjadinya hubungan antar sesama manusia, antar suku bangsa dan antar Negara dalam segala aspek kehidupan,” ujar Edward Panjaitan.
Interaksi yang terjadi antara individu yang berbeda suku Bangsa dan Negara dalam berbagai bidang akan melahirkan hubungan-hubungan hukum khususnya dalam Hukum Perdata Internasional (HPI) yang salah satu diantaranya adalah perkawinan campuran (berbeda warga negara).
Edward Panjaitan menambahkan bahwa dibutuhkan kontribusi semua pihak untuk mengawal perkembangan hukum, yaitu upaya revisi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
“Perkembangan hak pribadi atau hak privat dari warga negara atau subjek hukum suatu negara tergantung dari perkembangan dinamika hukum yang ada di negara tersebut. Idealnya hukum mengikuti perkembangan di masyaraka terutama ketika berbicara masalah perkawinan yang dikaitkan dengan agama, maka menjadi hal yang dinamis.”
Prof. Dr. John Pieris, juga memaparkan dasar hukum perkawinan beda kewarganegaraan adalah UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
“Konstitusi menjamin hak warga negara melakukan perkawinan termasuk kawin campur. Perkawinan campur adalah perkawinan dua orang yang berkedudukan di Indonesia dan tunduk pada hukum yang berbeda akibat perbedaan kewarganegaraan, “ ujar Prof. Dr. John Pieris.
WNI atau WNA dapat memperoleh kewarganegaraan dari pasangannya atau kehilangan kewarganegaraannya sesuai UU 12/2006 tentang Kewarganegaraan (Pasal 58 UU Perkawinan jo. UU 12/2006).
Webinar semakin menarik dengan kehadiran Ida Lucia Maille (Alumni FH UKI) yang membagikan pengalamannya menikah dengan WNA.
Sementara itu, webinar ini dibuka oleh Rektor UKI, Dr. Dhaniswara K. Harjono. Acara diakhiri dengan diskusi interaktif yang dipimpin moderator Diana Napitupulu, S.H., M.H., Mkn., Msc. Seluruh peserta yang hampir mencapai 500 dan karena banyak juga yang mengikuti di streaming YouTube, dan ini menunjukkan bahwa topik ini memang di butuhkan masyarakat, semua peserta mendapatkan e-certificate.
Hal ini ditegaskan Ketua Program Studi Doktor Hukum UKI, Prof. John Pieris, dalam webinar “Aspek Hukum Perkawinan Campur ; Perkawinan Beda Agama dan Perkawinan Beda Kewarganegaraan”, yang diadakan Fakultas Hukum UKI bekerjasama dengan Program Studi Doktor Hukum UKI (23/9/2020).
Prof. John Pieris menyatakan secara yuridis, Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, tidak melarang adanya perkawinan yang dilakukan oleh pasangan yang berbeda agama. Bahkan, Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 memberikan secara tidak langsung ruang bagi terjadinya perkawinan beda agama, yaitu dengan memanfaatkan Pasal 56 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974.
“Secara sosiologis, perkawinan beda agama masih diterima oleh sebagian masyarakat di Indonesia. Secara filosofis, hak-hak yang terkait dengan agama merupakan hak yang sangat mendasar dan tidak dapat dikurangi, diskriminasi terhadap perkawinan beda agama merupakan pelanggaran terhadap asas-asas dasar hak asasi manusia itu sendiri, “ ujar Prof. John Pieris.
John Pieris menambahkan bahwa kebebasan dalam memilih pasangan hidup, merupakan salah satu Hak Asasi Manusia yang mendapat perlindungan secara sungguh-sungguh. Hak Kebebasan adalah hak yang bersifat melindungi kebebasan dan kedamaian manusia dalam kehidupan pribadi, antara lain kebebasan memilih jodoh dan kebebasan beragama.
“UU Perkawinan nomor 1 Tahun 1974 perlu di revisi dengan terlebih dahulu meletakkan paradigma baru. Teologi persahabatan harus dibangkitkan. Teman-teman yang berbeda agama itu adalah satu bangsa dan satu tanah air. Mari kita merajut persatuan dan menjaga kebhinekaan ini !” tegas John Pieris.
Hal senada dinyatakan Pendeta GKI, yang aktivis lintas agama Pdt. Dr. Albertus Patty, M.A., M.ST bahwa UU Perkawinan nomor 1 Tahun 1974, pasal 2 menyatakan Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut masing-masing HUKUM agamanya dan kepercayaannya itu.
“Tetapi, Indonesia bangsa yang plural! Dunia pun berubah. Perkembangan teknologi, transportasi dan mobilisasi membuat masyarakat mudah berinteraksi. Perkawinan beda agama akan semakin meningkat dan semakin tidak realistis menolaknya. Seharusnya pemerintah melayani kebutuhan warganya yang ingin menikah beda agama karena efek sosialnya yang positif, “ tutur Aktivis Lintas Agama ini.
Pdt. Albertus Patty berpandangan seharusnya agama diciptakan untuk kebaikan manusia. Pemerintah melalui Kementerian Agama dapat melindungi warga negara, dengan merevisi UU Perkawinan.
Perkawinan Beda Kewarganegaraan
Terkait dengan perkawinan beda agama ini, akademisi FH UKI, Edward Panjaitan, S.H., LL.M menjelaskan dari sisi perkawinan beda kewarganegaraan dalam Hukum Indonesia.
“Ruang lingkup perkawinan berubah sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang begitu pesat, tanpa mengindahkan lagi batas-batas Negara dan Bangsa. Akibatnya semakin mudah terjadinya hubungan antar sesama manusia, antar suku bangsa dan antar Negara dalam segala aspek kehidupan,” ujar Edward Panjaitan.
Interaksi yang terjadi antara individu yang berbeda suku Bangsa dan Negara dalam berbagai bidang akan melahirkan hubungan-hubungan hukum khususnya dalam Hukum Perdata Internasional (HPI) yang salah satu diantaranya adalah perkawinan campuran (berbeda warga negara).
Edward Panjaitan menambahkan bahwa dibutuhkan kontribusi semua pihak untuk mengawal perkembangan hukum, yaitu upaya revisi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
“Perkembangan hak pribadi atau hak privat dari warga negara atau subjek hukum suatu negara tergantung dari perkembangan dinamika hukum yang ada di negara tersebut. Idealnya hukum mengikuti perkembangan di masyaraka terutama ketika berbicara masalah perkawinan yang dikaitkan dengan agama, maka menjadi hal yang dinamis.”
Prof. Dr. John Pieris, juga memaparkan dasar hukum perkawinan beda kewarganegaraan adalah UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
“Konstitusi menjamin hak warga negara melakukan perkawinan termasuk kawin campur. Perkawinan campur adalah perkawinan dua orang yang berkedudukan di Indonesia dan tunduk pada hukum yang berbeda akibat perbedaan kewarganegaraan, “ ujar Prof. Dr. John Pieris.
WNI atau WNA dapat memperoleh kewarganegaraan dari pasangannya atau kehilangan kewarganegaraannya sesuai UU 12/2006 tentang Kewarganegaraan (Pasal 58 UU Perkawinan jo. UU 12/2006).
Webinar semakin menarik dengan kehadiran Ida Lucia Maille (Alumni FH UKI) yang membagikan pengalamannya menikah dengan WNA.
Sementara itu, webinar ini dibuka oleh Rektor UKI, Dr. Dhaniswara K. Harjono. Acara diakhiri dengan diskusi interaktif yang dipimpin moderator Diana Napitupulu, S.H., M.H., Mkn., Msc. Seluruh peserta yang hampir mencapai 500 dan karena banyak juga yang mengikuti di streaming YouTube, dan ini menunjukkan bahwa topik ini memang di butuhkan masyarakat, semua peserta mendapatkan e-certificate.
(atk)