Diperlukan Rekonsiliasi Sosial untuk Jaga Keutuhan Bangsa
loading...
A
A
A
JAKARTA - Direktur Eksekutif Indonesia Public Institute (IPI), Karyono Wibowo menyatakan, saat ini kondisi sosial masyarakat , sebagaimana yang kita saksikan semakin mengalami pembelahan (segregasi).
(Baca juga: PKI Tak Bisa Dimaafkan, tapi Bangsa ini Harus 'Move On')
Masyarakat semakin terpolarisasi ke dalam blok politik, ideologi dan identitas sosial yang saling menyerang satu dengan lainnya, bahkan cenderung saling menegasikan.
(Baca juga: Pajang Foto Sang Penumpas PKI, AHY Ajak Rekonsiliasi Nasional)
"Kasus terbaru adalah digaungkannya kembali isu kebangkitan Partai Komunis Indonesia (PKI) oleh sejumlah elite yang menimbulkan gesekan di masyarakat," tutur Karyono saat dihubungi SINDOnews, Jumat (2/10/2020).
Oleh karena itu menurut Karyono, wacana rekonsiliasi menjadi relevan untuk diangkat kembali. Semangat rekonsiliasi semestinya menjadi kesadaran kolektif untuk menjaga keutuhan negara bangsa. Lebih dari itu, rekonsiliasi diperlukan untuk menghadapi pelbagai tantangan demi kemajuan bangsa ke depan.
Dia menilai, yang dibutuhkan adalah rekonsiliasi sosial yang melahirkan resolusi penanganan konflik, bukan sekadar rekonsiliasi politik seperti yang terjadi di pemerintahan Jokowi jilid II ini yang hanya mendamaikan elite politik dan sekadar berbagi kekuasaan.
"Rekonsiliasi semacam itu terbukti tidak menyelesaikan akar persoalan. Terbukti, konflik elit politik di negara ini sejatinya sangat cair. Tetapi dampak yang ditimbulkan dari konflik politik yang dibungkus dengan ideologi dan SARA meninggalkan keretakan sosial di akar rumput," ujar dia.
Selain itu Karyono menilai, konflik elite politik acapkali meninggalkan residu yang membelah masyarakat. Karenanya, upaya mewujudkan rekonsiliasi sosial menjadi penting mengingat masih adanya peningkatan kasus konflik di akar rumput sebagaimana yang kita rasakan saat ini.
"Namun demikian, tidak mudah untuk mewujudkan rekonsiliasi tersebut jika tidak ada kesadaran yang kuat untuk menjalin persatuan bangsa dan saling memaafkan tanpa menghapus dosa sejarah yang pernah terjadi sesuai apa adanya," ucap Karyono melanjutkan.
Dia menuturkan, upaya rekonsiliasi sejatinya sudah pernah dilakukan sejak era Pemerintahan Abdurrahman Wahid hingga Jokowi. Tetapi gagal karena masih kuatnya ego kelompok.
Selain itu, masalah yang menjadi penghambat rekonsiliasi adalah adanya kekhawatiran dari pihak-pihak yang diduga terlibat dalam sejumlah peristiwa yang menimbulkan tragedi kemanusiaan.
Lebih dari itu, lanjut dia, yang menjadi penghambat adalah elite politik yang sengaja memelihara konflik untuk tujuan tertentu. Elite politik perlu belajar dari bapak bangsa Afrika Selatan yang memiliki sosok negarawan seperti Nelson Mandela.
Afrika Selatan berhasil melakukan rekonsiliasi akibat konflik berdarah yang dipicu kebijakan Apartheid yang sangat dikriminasi. Apartheid adalah sistem pemisahan ras antara kulit hitam dengan kulit putih. "Pemisahan ras tersebut dimulai pada tahun 1948 saat Partai Nasional berkuasa," ungkapnya.
Setelah berkuasa, mereka melembagakan kebijakan supremasi kulit putih yang memberdayakan orang kulit putih Afrika Selatan keturunan Belanda dan Inggris. "Tak hanya itu, mereka juga menghilangkan hak memilih bagi orang kulit hitam Afrika," pungkas dia.
Lihat Juga: Alasan Sebenarnya Ade Irma Putri Jenderal Ahmad Yani Tidak Dipindahkan usai Gugur dalam Tragedi G30S PKI
(Baca juga: PKI Tak Bisa Dimaafkan, tapi Bangsa ini Harus 'Move On')
Masyarakat semakin terpolarisasi ke dalam blok politik, ideologi dan identitas sosial yang saling menyerang satu dengan lainnya, bahkan cenderung saling menegasikan.
(Baca juga: Pajang Foto Sang Penumpas PKI, AHY Ajak Rekonsiliasi Nasional)
"Kasus terbaru adalah digaungkannya kembali isu kebangkitan Partai Komunis Indonesia (PKI) oleh sejumlah elite yang menimbulkan gesekan di masyarakat," tutur Karyono saat dihubungi SINDOnews, Jumat (2/10/2020).
Oleh karena itu menurut Karyono, wacana rekonsiliasi menjadi relevan untuk diangkat kembali. Semangat rekonsiliasi semestinya menjadi kesadaran kolektif untuk menjaga keutuhan negara bangsa. Lebih dari itu, rekonsiliasi diperlukan untuk menghadapi pelbagai tantangan demi kemajuan bangsa ke depan.
Dia menilai, yang dibutuhkan adalah rekonsiliasi sosial yang melahirkan resolusi penanganan konflik, bukan sekadar rekonsiliasi politik seperti yang terjadi di pemerintahan Jokowi jilid II ini yang hanya mendamaikan elite politik dan sekadar berbagi kekuasaan.
"Rekonsiliasi semacam itu terbukti tidak menyelesaikan akar persoalan. Terbukti, konflik elit politik di negara ini sejatinya sangat cair. Tetapi dampak yang ditimbulkan dari konflik politik yang dibungkus dengan ideologi dan SARA meninggalkan keretakan sosial di akar rumput," ujar dia.
Selain itu Karyono menilai, konflik elite politik acapkali meninggalkan residu yang membelah masyarakat. Karenanya, upaya mewujudkan rekonsiliasi sosial menjadi penting mengingat masih adanya peningkatan kasus konflik di akar rumput sebagaimana yang kita rasakan saat ini.
"Namun demikian, tidak mudah untuk mewujudkan rekonsiliasi tersebut jika tidak ada kesadaran yang kuat untuk menjalin persatuan bangsa dan saling memaafkan tanpa menghapus dosa sejarah yang pernah terjadi sesuai apa adanya," ucap Karyono melanjutkan.
Dia menuturkan, upaya rekonsiliasi sejatinya sudah pernah dilakukan sejak era Pemerintahan Abdurrahman Wahid hingga Jokowi. Tetapi gagal karena masih kuatnya ego kelompok.
Selain itu, masalah yang menjadi penghambat rekonsiliasi adalah adanya kekhawatiran dari pihak-pihak yang diduga terlibat dalam sejumlah peristiwa yang menimbulkan tragedi kemanusiaan.
Lebih dari itu, lanjut dia, yang menjadi penghambat adalah elite politik yang sengaja memelihara konflik untuk tujuan tertentu. Elite politik perlu belajar dari bapak bangsa Afrika Selatan yang memiliki sosok negarawan seperti Nelson Mandela.
Afrika Selatan berhasil melakukan rekonsiliasi akibat konflik berdarah yang dipicu kebijakan Apartheid yang sangat dikriminasi. Apartheid adalah sistem pemisahan ras antara kulit hitam dengan kulit putih. "Pemisahan ras tersebut dimulai pada tahun 1948 saat Partai Nasional berkuasa," ungkapnya.
Setelah berkuasa, mereka melembagakan kebijakan supremasi kulit putih yang memberdayakan orang kulit putih Afrika Selatan keturunan Belanda dan Inggris. "Tak hanya itu, mereka juga menghilangkan hak memilih bagi orang kulit hitam Afrika," pungkas dia.
Lihat Juga: Alasan Sebenarnya Ade Irma Putri Jenderal Ahmad Yani Tidak Dipindahkan usai Gugur dalam Tragedi G30S PKI
(maf)