Wabah Corona Membuat WNI di Melborune Lebih Rajin Mengaji
loading...
A
A
A
Melaksanakan ibadah puasa di negeri orang niscaya lebih menantang ketimbang di kampung halaman sendiri. Terutama di negara-negara yang memiliki empat musim, juga mayoritas penduduknya beragama non muslim. Belum lagi soal panjangnya waktu berpuasa yang berbeda-beda di setiap negara. Ada yang waktu puasanya bisa mencapai 23 jam seperti di Greenland. Syukur Alhamdulillah negeri kita termasuk yang teringkas, 13 jam 7 menit.
Di benua Asia rata-rata puasa berlangsung selama 13-14 jam. Di Afrika 12 jam, Amerika 12-14 jam, Eropa 16-17 jam.
Bagaimana dengan di Benua Australia? Ternyata lebih ringkas dari Indonesia, hanya 12 jam. Dan kebetulan saat ini memasuki musim gugur. Suhu siang hari antara 17-19 derajat Celcius. Malam sekitar 15 derajat Celcius. “Adem, saat puasa kami tidak mengalami kehausan,” tutur Osep Saiful Hayat, warga Indonesia yang sudah 26 tahun bermukim di Melbourne kepada SINDOnews.
Di Australia, Islam sudah masuk jauh sebelum orang eropa mendarat. Beberapa pengunjung awal Australia adalah Muslim dari Indonesia timur. Mereka nelayan dan pedagang dari Makassar yang menambatkan kapalnya di pesisir Utara Australia Barat, Australia Utara, dan Queensland. Mereka membangun hubungan dengan daratan Australia sejak abad ke 16 dan 17.
Disusul kemudian oleh migran Muslim dari pesisir Afrika dan wilayah pulau di bawah Kerajaan Inggris yang datang ke Australia sebagai pelaut dan narapidana dalam armada pertama pendatang Eropa pada akhir dasawarsa 1700an.
Masjid pertama di Australia didirikan di Marree di sebelah utara Australia Selatan pada 1861. Masjid besar pertama dibangun di Adelaide pada 1890, dan satu lagi didirikan di Broken Hill (New South Wales) pada 1891.
Warga Indonesia tidak akan kesulitan menjalani ibadah shaum di kota Melbourne. Di kota penyelenggara olimpiade tahun 1956 ini ada tiga masjid yang dibangun oleh warga Indonesia. Yang pertama adalah masjid Westall di wilayah Selatan Melbourne, dibangun tahun 1997. Lalu pada tahun 2009 didirikan Masjid Surau Kita di utara Melbourne. Dan dua tahun berikutnya didirikan masjid ketiga yang dinamakan Baitul Ma’mur didirikan di barat Melbourne.
Bukannya warga Indonesia tidak puas dengan memiliki satu masjid. Pembangunan masjid kedua dan ketiga lebih didasari oleh panjang jarak yang harus ditempuh oleh warga yang tinggal di penjuru mata angin berbeda. Jika seorang umat Islam tinggal di belahan utara atau barat, ia harus menempuh jarak 60 kilometer untuk mencapai Masjid Westall.
Melbourne yang berpenduduk lebih dari 5 juta jiwa memiliki luas hampir 10.000 kilometer persegi. Ini adalah kota terpadat di negara bagian Victoria.
Di wilayah-wilayah yang jauh dari masjid, komunitas muslim Indonesia dan warga berkebangsaan lain secara rutin menyewa sport hall lokal untuk melaksanakan salat Jumat. “Bagi warga yang kebetulan tinggal di sekitar Kawasan bisnis (CBD) bisa mampir salat Jumat di Gedung Konsulat Jenderal RI di Queens Road,” katanya.
Tak heran jika tidak semua warga Indonesia suka berkumpul di masjid. Selain faktor jarak, masjid memang tak mudah ditemukan seperti di Indonesia.
Di Melbourne juga terdapat museum Islam, yakni Islamic Museum of Australia (IMA) di Kawasan Thornbury. Museum itu dimulai sebagai yayasan nirlaba yang didirikan pada Mei 2010 dengan tujuan mendirikan museum Islam pertama di Australia.
Selain itu untuk memamerkan warisan artistik dan kontribusi historis umat Islam di Australia dan luar negeri melalui tampilan karya seni dan artefak sejarah.
Museum ini didirikan oleh pengusaha Muslim Australia Moustafa Fahour dengan dukungan pemerintah federal Australia. Museum ini adalah museum Islam pertama dan satu-satunya di negara ini.
Selama enam hari dalam seminggu, museum ini menyelenggarakan berbagai konferensi dan acara di berbagai bidang seperti kaligrafi, seni sejarah, lukisan miniatur, kerajinan tangan, dan acara terkini.
Di tahun-tahun sebelum covid 19 mewabah, warga Indonesia di Melbourne yang berjumlah sekitar 3.500 orang berkumpul di rumah sesama perantau, bergiliran. “Kami buka puasa bersama, lalu melaksanakan salat magrib berjamaah, dilanjutkan salat tarawih,” cetus pria 55 tahun itu kepada SINDOnews.
Menu buka puasa biasanya dibawa oleh masing-masing keluarga untuk dicicipi bersama. Ada yang membawa acar, gorengan, kerupuk kampung impor dari Indonesia yang bisa dibeli di Indonesian Groceries, kolak dan sop buah.
Cukup banyak kegiatan yang dilakukan komunitas muslim Indonesia. Biasanya ada pengajian, tadarusan yang dilakukan seminggu sekali di ketiga masjid tadi dan beberapa tempat lainnya. “Pembimbingnya dan pemberi materi kultum kadang-kadang seorang ustad atau mahasiswa,” ujar ayah tiga anak itu.
Namun kebersamaan itu untuk sementara tak berlanjut. Sejak Pemerintah Australia memberlakukan lockdown, semua social gathering dan acara keagamaan di masjid, gereja dan tempat-tempat peribadatan lainnnya tidak bisa dilaksanakan.
Berkumpul bersama lebih dari dua orang tidak diperbolehkan, kecuali bekumpul bersama orang-orang dari satu rumah. Barangsiapa melanggar peraturan ini dendanya lumayan sadis: 20.000-100.000 dolar Australia (A$ 1 setara Rp 9.735).
Otomatis, restoran, bar, kelab, tidak bisa beroperasi secara normal. Hanya restoran yang masih boleh melayani pelanggan, secara take away dan tidak boleh makan di tempat.
Akibat pemberlakuan lockdown, banyak karyawan dirumahkan. Untuk mengatasinya, pemerintah pusat (federal government) telah menyiapkan insentif berupa Jobkeeper payments. Masing-masing pekerja bisa mendapatkan bantuan sampai A$ 750 per minggu.
Dalam kondisi abnormal seperti saat ini pengajian hanya bisa dilakukan secara online menggunakan aplikasi Zoom. “Sejak pemberlakuan lockdown, justru ada hikmahnya, pengajian jadi lebih intens, dua kali seminggu,” ujar Osep.
Pria kelahiran Tasikmalaya ini bersyukur hari demi hari penyebaran wabah covid 19 di Australia, khususnya di Melbourne terus menurun.
Di seluruh Australia virus corona menjangkiti 6.847 orang. Hingga Selasa (5/5) 5.886 orang
sudah sembuh, dan yang meninggal 96 orang. “Kemungkinan lockdown sampai akhir Mei saja, dan setelah itu kami bisa kembali ke kehidupan normal,” tuturnya.”Insya Allah.”
Di benua Asia rata-rata puasa berlangsung selama 13-14 jam. Di Afrika 12 jam, Amerika 12-14 jam, Eropa 16-17 jam.
Bagaimana dengan di Benua Australia? Ternyata lebih ringkas dari Indonesia, hanya 12 jam. Dan kebetulan saat ini memasuki musim gugur. Suhu siang hari antara 17-19 derajat Celcius. Malam sekitar 15 derajat Celcius. “Adem, saat puasa kami tidak mengalami kehausan,” tutur Osep Saiful Hayat, warga Indonesia yang sudah 26 tahun bermukim di Melbourne kepada SINDOnews.
Di Australia, Islam sudah masuk jauh sebelum orang eropa mendarat. Beberapa pengunjung awal Australia adalah Muslim dari Indonesia timur. Mereka nelayan dan pedagang dari Makassar yang menambatkan kapalnya di pesisir Utara Australia Barat, Australia Utara, dan Queensland. Mereka membangun hubungan dengan daratan Australia sejak abad ke 16 dan 17.
Disusul kemudian oleh migran Muslim dari pesisir Afrika dan wilayah pulau di bawah Kerajaan Inggris yang datang ke Australia sebagai pelaut dan narapidana dalam armada pertama pendatang Eropa pada akhir dasawarsa 1700an.
Masjid pertama di Australia didirikan di Marree di sebelah utara Australia Selatan pada 1861. Masjid besar pertama dibangun di Adelaide pada 1890, dan satu lagi didirikan di Broken Hill (New South Wales) pada 1891.
Warga Indonesia tidak akan kesulitan menjalani ibadah shaum di kota Melbourne. Di kota penyelenggara olimpiade tahun 1956 ini ada tiga masjid yang dibangun oleh warga Indonesia. Yang pertama adalah masjid Westall di wilayah Selatan Melbourne, dibangun tahun 1997. Lalu pada tahun 2009 didirikan Masjid Surau Kita di utara Melbourne. Dan dua tahun berikutnya didirikan masjid ketiga yang dinamakan Baitul Ma’mur didirikan di barat Melbourne.
Bukannya warga Indonesia tidak puas dengan memiliki satu masjid. Pembangunan masjid kedua dan ketiga lebih didasari oleh panjang jarak yang harus ditempuh oleh warga yang tinggal di penjuru mata angin berbeda. Jika seorang umat Islam tinggal di belahan utara atau barat, ia harus menempuh jarak 60 kilometer untuk mencapai Masjid Westall.
Melbourne yang berpenduduk lebih dari 5 juta jiwa memiliki luas hampir 10.000 kilometer persegi. Ini adalah kota terpadat di negara bagian Victoria.
Di wilayah-wilayah yang jauh dari masjid, komunitas muslim Indonesia dan warga berkebangsaan lain secara rutin menyewa sport hall lokal untuk melaksanakan salat Jumat. “Bagi warga yang kebetulan tinggal di sekitar Kawasan bisnis (CBD) bisa mampir salat Jumat di Gedung Konsulat Jenderal RI di Queens Road,” katanya.
Tak heran jika tidak semua warga Indonesia suka berkumpul di masjid. Selain faktor jarak, masjid memang tak mudah ditemukan seperti di Indonesia.
Di Melbourne juga terdapat museum Islam, yakni Islamic Museum of Australia (IMA) di Kawasan Thornbury. Museum itu dimulai sebagai yayasan nirlaba yang didirikan pada Mei 2010 dengan tujuan mendirikan museum Islam pertama di Australia.
Selain itu untuk memamerkan warisan artistik dan kontribusi historis umat Islam di Australia dan luar negeri melalui tampilan karya seni dan artefak sejarah.
Museum ini didirikan oleh pengusaha Muslim Australia Moustafa Fahour dengan dukungan pemerintah federal Australia. Museum ini adalah museum Islam pertama dan satu-satunya di negara ini.
Selama enam hari dalam seminggu, museum ini menyelenggarakan berbagai konferensi dan acara di berbagai bidang seperti kaligrafi, seni sejarah, lukisan miniatur, kerajinan tangan, dan acara terkini.
Di tahun-tahun sebelum covid 19 mewabah, warga Indonesia di Melbourne yang berjumlah sekitar 3.500 orang berkumpul di rumah sesama perantau, bergiliran. “Kami buka puasa bersama, lalu melaksanakan salat magrib berjamaah, dilanjutkan salat tarawih,” cetus pria 55 tahun itu kepada SINDOnews.
Menu buka puasa biasanya dibawa oleh masing-masing keluarga untuk dicicipi bersama. Ada yang membawa acar, gorengan, kerupuk kampung impor dari Indonesia yang bisa dibeli di Indonesian Groceries, kolak dan sop buah.
Cukup banyak kegiatan yang dilakukan komunitas muslim Indonesia. Biasanya ada pengajian, tadarusan yang dilakukan seminggu sekali di ketiga masjid tadi dan beberapa tempat lainnya. “Pembimbingnya dan pemberi materi kultum kadang-kadang seorang ustad atau mahasiswa,” ujar ayah tiga anak itu.
Namun kebersamaan itu untuk sementara tak berlanjut. Sejak Pemerintah Australia memberlakukan lockdown, semua social gathering dan acara keagamaan di masjid, gereja dan tempat-tempat peribadatan lainnnya tidak bisa dilaksanakan.
Berkumpul bersama lebih dari dua orang tidak diperbolehkan, kecuali bekumpul bersama orang-orang dari satu rumah. Barangsiapa melanggar peraturan ini dendanya lumayan sadis: 20.000-100.000 dolar Australia (A$ 1 setara Rp 9.735).
Otomatis, restoran, bar, kelab, tidak bisa beroperasi secara normal. Hanya restoran yang masih boleh melayani pelanggan, secara take away dan tidak boleh makan di tempat.
Akibat pemberlakuan lockdown, banyak karyawan dirumahkan. Untuk mengatasinya, pemerintah pusat (federal government) telah menyiapkan insentif berupa Jobkeeper payments. Masing-masing pekerja bisa mendapatkan bantuan sampai A$ 750 per minggu.
Dalam kondisi abnormal seperti saat ini pengajian hanya bisa dilakukan secara online menggunakan aplikasi Zoom. “Sejak pemberlakuan lockdown, justru ada hikmahnya, pengajian jadi lebih intens, dua kali seminggu,” ujar Osep.
Pria kelahiran Tasikmalaya ini bersyukur hari demi hari penyebaran wabah covid 19 di Australia, khususnya di Melbourne terus menurun.
Di seluruh Australia virus corona menjangkiti 6.847 orang. Hingga Selasa (5/5) 5.886 orang
sudah sembuh, dan yang meninggal 96 orang. “Kemungkinan lockdown sampai akhir Mei saja, dan setelah itu kami bisa kembali ke kehidupan normal,” tuturnya.”Insya Allah.”
(rza)