Jeanne Francoise, Pembawa Konsep Defense Heritage

Sabtu, 26 September 2020 - 21:00 WIB
loading...
Jeanne Francoise, Pembawa...
Jeanne Francoise (31), adalah peneliti pertama Defense Heritage di Indonesia yang sudah menyelesaikan Sidang Proposal Doktoral di Universitas Pertahanan pada 6 Agustus 2020. Foto/SINDOnews
A A A
JAKARTA - Jeanne Francoise (31), adalah peneliti pertama Defense Heritage di Indonesia. Jeanne sudah menyelesaikan Sidang Proposal Doktoral di Universitas Pertahanan pada 6 Agustus 2020 dengan Proposal Disertasi berjudul “Defense Heritage sebagai Program Bela Negara” dan sekarang sedang proses menuju sidang akhir.

Sejak Januari 2020, Jeanne menjadi peneliti Non-PNS Balitbang Kemhan RI tahun anggaran 2020-2021 untuk penelitian Revitalisasi benda cagar budaya bernilai pertahanan (Defense Heritage) di Jakarta, Ambon, Palembang, dan Manado. Ketua Tim Penelitian adalah PNS Peneliti Ahli Muda Gerald Theodorus Lumban Toruan, S.H., M.H. (Baca juga: Peneliti Senior LIPI Sarankan Lelang Jabatan Sekjen DPD Dijeda Dulu)

“Ide awal Defense Heritage datangnya dari saya dan saya beruntung bisa sekelas S3 Unhan dengan pak Gerald Theodorus, PNS Peneliti Balitbang Kemhan RI. Beliau tertarik dengan Disertasi saya tersebut dan menjadikan Defense Heritage sebagai penelitian Balitbang Kemhan RI, kemudian mengajak saya sebagai anggota tim penelitian”, ujar Jeanne kepada wartawan, Sabtu (26/9/2020).

Sebelumnya Jeanne adalah sosok akademisi yang multitalenta dan juga polyglot. Dengan kemampuan Bahasa Prancisnya yang baik, pengalamannya tinggal di Polandia, jaringan pertemanannya yang luas, dan sudah keliling dunia menjadi pemapar paper-paper akademik di International Conference, Jeanne mengaku menemukan ide Defense Heritage di Malta.

“Iya di Malta saya merenung, apa gunanya saya diberikan keberuntungan oleh Tuhan sudah keliling dunia sebelum umur 30 tahun. Tidak banyak anak muda Indonesia seperti saya. Kalau hanya pamer di Instagram itu kan tidak ada gunanya. Kebetulan pada waktu itu di Kota Valetta, Malta sedang ditetapkan oleh UNESCO menjadi ibu kota warisan budaya Uni Eropa. Di situlah saya kemudian berpikir bahwa sebagai negara yang pernah dijajah, Indonesia kan punya banyak peninggalan-peninggalan bersejarah dalam bentuk benteng pertahanan, tempat bersejarah, museum, ataupun monumen. Pada momen itulah saya berpikir perlu ada konsep Indonesian Defense Heritage,” tuturnya.

Untuk memperdalam analisisnya tersebut, Jeanne kemudian mencari literatur akademik dan jurnal-jurnal ilmiah tentang konsep Defense Heritage, serta melakukan diskusi ilmiah dengan para akademisi dan praktisi heritage antara lain Puspita Ayu Permatasari, Ph.D(candidate) sebagai inisiator aplikasi software Batik iWareBatik yang juga seorang peneliti USI UNESCO Chair dan sedang menyelesaikan Disertasi intangible cultural heritage di Lugano, Swiss, Ary Sulistiyo selaku tim ahli cagar budaya kota Depok, dan Arifanti Murniawati selaku licensed guide Museum Nasional Jakarta.

Defense Heritage merupakan konsep pengembangan dari Teori Cultural Heritage. UNESCO sendiri menggunakan penamaan military heritage atau war heritage untuk peninggalan bersejarah zaman perang. Namun terminologi Defense Heritage sudah umum dipakai oleh Australia yang sudah membentuk Defense Heritage Tool Kit tahun 2010. Di Inggris, Defense Heritage bahkan tidak hanya konsep akademik, tetapi sudah ada divisi kerja khusus.

Di dalam artikel ilmiah berjudul “Out of the Blue: Assessing Military Aircraft Crash Sites in England 1912-1945” dalam Jurnal Antiquity (2002), dijelaskan bahwa Inggris memiliki BAAC (British Aviation Archeologist Council) (p.663) yang turut membantu dalam pemilihan situs-situs bersejarah terutama terkait pesawat dan penerbangan. Inggris memiliki UU Perlindungan Tempat Bersejarah Militer (Protection of Military Remains Act) di bawah Kementerian Pertahanan, Air Historical Branch, dan Royal Air Force Personnel Management Agency yang saling berkoordinasi untuk mencari dan membuktikan tempat-tempat bersejarah, terutama terkait pesawat dan penerbangan.

“Di Indonesia belum ada divisi Defense Heritage di bawah Kementrian Pertahanan. Kemhan harus punya data peninggalan bersejarah dan turut melakukan eskavasi lapangan bersama para arkeeolog seperti para tentara dari BAAC,” papar Jeanne yang juga baru saja dilantik menjadi Wakil Direktur Divisi Budaya Bangsa Rumah Produktif Indonesia (RPI) 2020-2022 ini.

Melalui anggaran Balitbang Kemhan RI, Jeanne sudah melakukan penelitian cagar budaya bernilai pertahanan di Jakarta, Ambon, dan Palembang, kemudian melalui anggaran Universitas Pertahanan, Jeanne sudah melakukan Kuliah Kerja Dalam Negeri S3 Unhan bertema Defense Heritage di Surabaya dan paparan tentang Defense Heritage di Univ. Negeri Padang.

“Setiap provinisi beda-beda perlakuannya terhadap cagar budaya. Jangankan defense heritage secara khusus, untuk urusan cagar budaya secara umum saja belum maksimal. Banyak benteng bersejarah tidak dirawat dan museum-museum terkesan angker. Cultural heritage belum menjadi main focus of political will pemerintah pusat,” terangnya.

Melihat antusiasime teman-teman dekatnya terhadap ide Defense Heritage, Jeanne kemudian membentuk Defense Heritage Intellectual Community (DHIC) dengan Instagram @defenseheritage pada 17 Agustus 2020. Kehadiran DHIC sudah direkognisi oleh USI UNESCO Chair, iWareBatik, dan PPIDK Amerika Eropa, serta organisasi komunitas lainnya. (Baca juga: Peneliti Temukan Bug di Firefox, Bisa Bajak Browser Lewat WiFi)

Ke depan, Jeanne berharap Disertasinya tidak hanya berhenti menjadi Disertasi saja, tetapi dapat ditindaklanjuti oleh pemerintah pusat dan pemerintah provinisi. “Idealnya Defense Heritage bisa menjadi doktrin pertahanan, sehingga program bela negara kita berfokus kepada rasa cinta tanah air dan salah satu wujudnya adalah kita bangga akan sejarah bangsa,” tutupnya.
(kri)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1067 seconds (0.1#10.140)