Optimalisasi Program Stunting
loading...
A
A
A
Ali Khomsan
Guru Besar Departemen Gizi Masyarakat, FEMA IPB
MENGATASI stunting dapat dilakukan dengan intervensi spesifik dan sensitif. Contoh intervensi spesifik adalah pemantauan tumbuh kembang balita di posyandu, imunisasi, pemberian vitamin A dan Program Makanan Tambahan (PMT) baik untuk anak maupun ibu hamil.
Intervensi sensitif contohnya adalah intervensi perbaikan kesehatan lingkungan, bantuan jamban sehat, program pengentasan kemiskinan, bantuan lansgung tunai, Program Keluarga Harapan (PKH), serta Program KRPL (Kawasan Rumah Pangan Lestari).
Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy mengungkapkan permasalahan stunting ditangani oleh 17 kementerian/lembaga (K/L). Hal itu diungkapkan dalam acara Sarasehan Virtual 100 Ekonom: Transformasi Ekonomi Indonesia Menuju Negara Maju dan Berdaya Saing, Selasa (15/9). Sementara itu, Wapres Kiai Ma'ruf Amin mengakui target pemerintah menurunkan stunting menjadi 14 persen di 2024 bukanlah sesuatu yang mudah. Hasil Riskesdas 2018 mengungkapkan prevalensi stunting 30,8 persen dan survei di tahun 2019 angka adalah 27,67%.
Jangkauan untuk mengatasi problem stunting telah diperluas dari 100 kabupaten menjadi 160 kabupaten. Kementrian Kesehatan sejak beberapa tahun terakhir ini telah intensif bekerja sama dengan peneliti-peneliti di perguruan tinggi untuk bersama-sama memecahkan problem gizi masyarakat.
Setiap tahun lahir sekitar 4,5 juta bayi di Indonesia. Kalau dalam rentang pertumbuhannya sampai usia balita 30% anak-anak tersebut mengalami stunting (pendek), maka bejuta-juta anak Indonesia terancam masa depannya. Mereka akan tumbuh dalam situasi kecerdasan yang terhambat yang membuat kemampuan bersaingnya menjadi rendah.
Saya berkesempatan mengunjungi 2 dari 10 desa stunting di Cianjur yaitu Desa Ciwalen dan Sukabungah. Dengan dinyatakannya sebagai desa stunting ada dua keuntungan yang bisa didapatkan. Pertama, dana desa lebih cepat cair dan dapat segera dimanfaatkan untuk pembangunan sarana fisik maupun pemberdayaan masyarakat. Kedua, berbagai program atau bantuan dari dinas-dinas tingkat kabupaten maupun dari pemerintah pusat kini banyak yang lebih mengarah di desa stunting.
Program untuk mengatasi stunting akan optimal bila mistageting (salah sasaran) bisa dikurangi, artinya jangan sampai keluarga-keluarga stunting hanya menerima intervensi spesifik tetapi justru tidak kebagian intervensi sensitif. Di lapangan mudah dijumpai bahwa intervensi sensitif pada kenyataannya memiliki sasaran yang berbeda-beda sehingga keluarga-keluarga stunting tidak menerimanya.
Intervensi langsung berupa bantuan pangan kepada anak stunting belum secara masif dan intensif dilakukan di perdesaan. Padahal, dengan memberi bantuan telur sebutir sehari, hanya diperlukan Rp600.000 per anak per tahun dan bila jumlah anak stunting per desa 30 anak, maka hanya butuh dana Rp18 juta per tahun atau hanya 2% dari dana desa yang rata-rata sebesar Rp1 milyar. Sehari sebutir telur, stunting dapat kita reduksi.
Ianotti et al. (2017) dalam jurnal Pediatrics menyimpulkan penelitiannya bahwa pemberian telur tiap hari sebagai makanan tambahan dapat meningkatkan tinggi badan menurut umur, berat badan menurut umur, dan mengentaskan prevalensi stunting pada anak hingga 47%. Selain itu, konsumsi makanan manis di kalangan anak juga turun dan konsumsi telur meningkat secara signifikan.
Persoalan gizi adalah fenomena kompleks. UNICEF menyebutkan bahwa kendala ekonomi atau kemiskinan merupakan hal paling mendasar yang menyebabkan anak-anak balita terpuruk status gizinya. Hasil penelitian disertasi IPB Adriana S (2014) mengungkapkan kebiasaan poligami berdampak buruk bagi balita karena pola asuh menjadi tidak optimal dan ibu balita harus pontang-panting menjadi pilar utama ekonomi keluarga.
Untuk mengatasi persoalan gizi di Indonesia, pemerintah mengandalkan posyandu sebagai ujung tombak di lapangan yang diharapkan mampu mendeteksi masalah gizi sedini mungkin. Namun, kinerja posyandu saat ini masih belum optimal. Hal ini dikarenakan rendahnya kemampuan kader dan belum maksimalnya dukungan pendanaan dari pemerintah. Sejak tahun 1999 telah dilakukan revitalisasi posyandu, tetapi ternyata gaungnya tidak terdengar. Posyandu kini juga terhenti pelayanannya karena Covid-19.
Penelitian di 19 propinsi (Ali Khomsan & Tin Herawati, 2014) mengungkapkan bahwa persentase partisipasi anak yang datang ke posyandu hanya 58.4%. Anak-anak balita sudah drop-out dari posyandu ketika usia 2-3 tahun. Mereka kemudian terdaftar di PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) dan posyandu akhirnya semakin ditinggalkan.
Posyandu yang jangkuannya sudah sangat luas masih layak untuk menerima beban tanggung jawab dalam mengatasi stunting. Syaratnya hanya satu, segera lakukan revitalisasi posyandu dengan melengkapi pelayanannya. Pelayanan yang sangat krusial untuk segera diimplementasikan adalah pemberian makanan tambahan yang berkualitas (bukan lagi secangkir kacang ijo setiap bulan).
Untuk mendongkrak kinerja posyandu, maka kader-kadernya yang mayoritas perempuan perlu dihargai pemerintah, misalnya: keluarga kader gratis berobat, anak-anak kader mendapat beasiswa dan pendidikan gratis sampai SMA, atau kader memperoleh insentif bulanan yang memadai. Pada kenyataannya ada kader yang menerima insentif Rp300.000 per tahun. Suatu jumlah yang sangat kecil dan mungkin tidak berarti.
Ketika seorang anak menderita problem gizi (stunting alias pendek ataupun gizi buruk), maka seringkali ibu (perempuan) merasa paling bertanggung jawab terhadap musibah yang terjadi. Mengapa? Karena ibu adalah orang paling dekat dalam pengasuhan anak balita terutama dalam hal makannya. Padahal, timbulnya masalah gizi pada anak balita jelas bukan melulu persoalan perempuan. Apalagi, sebagian istri ternyata juga berkarier sebagai pekerja.
Pada keluarga-keluarga miskin trade-off yang terjadi apabila ibu bekerja adalah hilangnya kesempatan baginya untuk mengasuh dan membesarkan anaknya secara optimal. Ini bagaikan buah simalakama, sebab seandainya ibu tidak bekerja dan penghasilan suami tidak mencukupi, maka seluruh anggota keluarga (termasuk anak balita) akan mengalami defisit konsumsi gizi.
Ibu yang berpendidikan akan lebih giat mencari dan meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan dalam memelihara anak. Mereka juga akan menaruh perhatian lebih besar pada konsep sehat yang harus dicapai oleh seluruh anggota keluarganya sehingga anak-anak akhirnya dapat tumbuh dan berkembang dengan baik. Upaya-upaya untuk meningkatkan pendidikan perempuan, memberi kesempatan dalam berbagai sektor pekerjaan, serta memudahkan akses mereka untuk memperoleh pelayanan kesehatan dan gizi akan berdampak besar pada kualitas bangsa secara keseluruhan.
Guru Besar Departemen Gizi Masyarakat, FEMA IPB
MENGATASI stunting dapat dilakukan dengan intervensi spesifik dan sensitif. Contoh intervensi spesifik adalah pemantauan tumbuh kembang balita di posyandu, imunisasi, pemberian vitamin A dan Program Makanan Tambahan (PMT) baik untuk anak maupun ibu hamil.
Intervensi sensitif contohnya adalah intervensi perbaikan kesehatan lingkungan, bantuan jamban sehat, program pengentasan kemiskinan, bantuan lansgung tunai, Program Keluarga Harapan (PKH), serta Program KRPL (Kawasan Rumah Pangan Lestari).
Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy mengungkapkan permasalahan stunting ditangani oleh 17 kementerian/lembaga (K/L). Hal itu diungkapkan dalam acara Sarasehan Virtual 100 Ekonom: Transformasi Ekonomi Indonesia Menuju Negara Maju dan Berdaya Saing, Selasa (15/9). Sementara itu, Wapres Kiai Ma'ruf Amin mengakui target pemerintah menurunkan stunting menjadi 14 persen di 2024 bukanlah sesuatu yang mudah. Hasil Riskesdas 2018 mengungkapkan prevalensi stunting 30,8 persen dan survei di tahun 2019 angka adalah 27,67%.
Jangkauan untuk mengatasi problem stunting telah diperluas dari 100 kabupaten menjadi 160 kabupaten. Kementrian Kesehatan sejak beberapa tahun terakhir ini telah intensif bekerja sama dengan peneliti-peneliti di perguruan tinggi untuk bersama-sama memecahkan problem gizi masyarakat.
Setiap tahun lahir sekitar 4,5 juta bayi di Indonesia. Kalau dalam rentang pertumbuhannya sampai usia balita 30% anak-anak tersebut mengalami stunting (pendek), maka bejuta-juta anak Indonesia terancam masa depannya. Mereka akan tumbuh dalam situasi kecerdasan yang terhambat yang membuat kemampuan bersaingnya menjadi rendah.
Saya berkesempatan mengunjungi 2 dari 10 desa stunting di Cianjur yaitu Desa Ciwalen dan Sukabungah. Dengan dinyatakannya sebagai desa stunting ada dua keuntungan yang bisa didapatkan. Pertama, dana desa lebih cepat cair dan dapat segera dimanfaatkan untuk pembangunan sarana fisik maupun pemberdayaan masyarakat. Kedua, berbagai program atau bantuan dari dinas-dinas tingkat kabupaten maupun dari pemerintah pusat kini banyak yang lebih mengarah di desa stunting.
Program untuk mengatasi stunting akan optimal bila mistageting (salah sasaran) bisa dikurangi, artinya jangan sampai keluarga-keluarga stunting hanya menerima intervensi spesifik tetapi justru tidak kebagian intervensi sensitif. Di lapangan mudah dijumpai bahwa intervensi sensitif pada kenyataannya memiliki sasaran yang berbeda-beda sehingga keluarga-keluarga stunting tidak menerimanya.
Intervensi langsung berupa bantuan pangan kepada anak stunting belum secara masif dan intensif dilakukan di perdesaan. Padahal, dengan memberi bantuan telur sebutir sehari, hanya diperlukan Rp600.000 per anak per tahun dan bila jumlah anak stunting per desa 30 anak, maka hanya butuh dana Rp18 juta per tahun atau hanya 2% dari dana desa yang rata-rata sebesar Rp1 milyar. Sehari sebutir telur, stunting dapat kita reduksi.
Ianotti et al. (2017) dalam jurnal Pediatrics menyimpulkan penelitiannya bahwa pemberian telur tiap hari sebagai makanan tambahan dapat meningkatkan tinggi badan menurut umur, berat badan menurut umur, dan mengentaskan prevalensi stunting pada anak hingga 47%. Selain itu, konsumsi makanan manis di kalangan anak juga turun dan konsumsi telur meningkat secara signifikan.
Persoalan gizi adalah fenomena kompleks. UNICEF menyebutkan bahwa kendala ekonomi atau kemiskinan merupakan hal paling mendasar yang menyebabkan anak-anak balita terpuruk status gizinya. Hasil penelitian disertasi IPB Adriana S (2014) mengungkapkan kebiasaan poligami berdampak buruk bagi balita karena pola asuh menjadi tidak optimal dan ibu balita harus pontang-panting menjadi pilar utama ekonomi keluarga.
Untuk mengatasi persoalan gizi di Indonesia, pemerintah mengandalkan posyandu sebagai ujung tombak di lapangan yang diharapkan mampu mendeteksi masalah gizi sedini mungkin. Namun, kinerja posyandu saat ini masih belum optimal. Hal ini dikarenakan rendahnya kemampuan kader dan belum maksimalnya dukungan pendanaan dari pemerintah. Sejak tahun 1999 telah dilakukan revitalisasi posyandu, tetapi ternyata gaungnya tidak terdengar. Posyandu kini juga terhenti pelayanannya karena Covid-19.
Penelitian di 19 propinsi (Ali Khomsan & Tin Herawati, 2014) mengungkapkan bahwa persentase partisipasi anak yang datang ke posyandu hanya 58.4%. Anak-anak balita sudah drop-out dari posyandu ketika usia 2-3 tahun. Mereka kemudian terdaftar di PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) dan posyandu akhirnya semakin ditinggalkan.
Posyandu yang jangkuannya sudah sangat luas masih layak untuk menerima beban tanggung jawab dalam mengatasi stunting. Syaratnya hanya satu, segera lakukan revitalisasi posyandu dengan melengkapi pelayanannya. Pelayanan yang sangat krusial untuk segera diimplementasikan adalah pemberian makanan tambahan yang berkualitas (bukan lagi secangkir kacang ijo setiap bulan).
Untuk mendongkrak kinerja posyandu, maka kader-kadernya yang mayoritas perempuan perlu dihargai pemerintah, misalnya: keluarga kader gratis berobat, anak-anak kader mendapat beasiswa dan pendidikan gratis sampai SMA, atau kader memperoleh insentif bulanan yang memadai. Pada kenyataannya ada kader yang menerima insentif Rp300.000 per tahun. Suatu jumlah yang sangat kecil dan mungkin tidak berarti.
Ketika seorang anak menderita problem gizi (stunting alias pendek ataupun gizi buruk), maka seringkali ibu (perempuan) merasa paling bertanggung jawab terhadap musibah yang terjadi. Mengapa? Karena ibu adalah orang paling dekat dalam pengasuhan anak balita terutama dalam hal makannya. Padahal, timbulnya masalah gizi pada anak balita jelas bukan melulu persoalan perempuan. Apalagi, sebagian istri ternyata juga berkarier sebagai pekerja.
Pada keluarga-keluarga miskin trade-off yang terjadi apabila ibu bekerja adalah hilangnya kesempatan baginya untuk mengasuh dan membesarkan anaknya secara optimal. Ini bagaikan buah simalakama, sebab seandainya ibu tidak bekerja dan penghasilan suami tidak mencukupi, maka seluruh anggota keluarga (termasuk anak balita) akan mengalami defisit konsumsi gizi.
Ibu yang berpendidikan akan lebih giat mencari dan meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan dalam memelihara anak. Mereka juga akan menaruh perhatian lebih besar pada konsep sehat yang harus dicapai oleh seluruh anggota keluarganya sehingga anak-anak akhirnya dapat tumbuh dan berkembang dengan baik. Upaya-upaya untuk meningkatkan pendidikan perempuan, memberi kesempatan dalam berbagai sektor pekerjaan, serta memudahkan akses mereka untuk memperoleh pelayanan kesehatan dan gizi akan berdampak besar pada kualitas bangsa secara keseluruhan.
(ras)