Perludem Beberkan Sejumlah Dampak Bila Pilkada 2020 Ditunda

Selasa, 22 September 2020 - 07:48 WIB
loading...
Perludem Beberkan Sejumlah...
Peneliti Perludem, Nurul Amalia Salabi menyatakan, ada beberapa dampak jika pilkada ditunda. Menurutnya, dampak itu tak terlalu mengkhawatirkan dibandingkan jika pilkada tetap dilanjutkan. Foto/SINDOnews
A A A
JAKARTA - Sejumlah organisasi pemantau pemilu, masyarakat sipil seperti NU dan Muhammadiyah serta banyak pengamat menyarankan agar Pilkada 2020 ditunda, mengingat penyebaran pandemi Covid-19 yang makin tinggi. Namun pemerintah dan DPR bersepakat bahwa pilkada tetap akan dilaksanakan sesuai jadwal yakni 9 Desember 2020 dengan syarat mematuhi protokol yang ketat.

Peneliti Perludem, Nurul Amalia Salabi menyatakan, ada beberapa dampak jika pilkada ditunda. Menurutnya, dampak itu tak terlalu mengkhawatirkan dibandingkan jika pilkada tetap dilanjutkan. "Pertama, yang pasti mesti ada penyesuaian PKPU tahapan dan jadwal lagi," kata Nurul saat dihubungi SINDOnews, Selasa (22/9/2020). (Baca juga: Darurat Covid-19, PBNU Minta Pilkada Serentak Ditunda)

Kedua, pemerintah mesti menyiapkan Penanggungjawab (PJ) kepala daerah. Tapi, menurutnya, kebutuhan adanya PJ kepala daerah bukan masalah dan tidak akan mengganggu tata pemerintahan daerah. Karena, di UU Pilkada sendiri, malah diatur bahwa 2022 dan 2023 tidak ada Pilkada. "Artinya pemerintah sendiri telah punya ide PJ kepala daerah yang menggantikan fungsi kepala daerah dalam waktu lama dan di banyak daerah," tutur dia.

Ketiga, KPU perlu memastikan lagi jajarannya di tingkat adhoc, apakah masih memenuhi syarat dan masih bersedia. Namun demikan, Nurul memandang pilkada yang ditunda dianggapnya jauh lebih aman. Karena dia melihat, penyelenggara pemilu itu sejatinya adalah pekerja. Ada yang merupakan pekerja formal, tapi lebih banyak lagi merupakan pekerja formal yang rentan dan terinformalisasi. Dia menyebut, PPK, PPS, KPPS, Panwas kecamatan, Panwas kelurahan dan pengawas TPS, mereka adalah pekerja formal karena diangkat dengan SK Pengangkatan dan menerima upah yang telah ditentukan. "Tapi, menjadi rentan karena tidak menerima hak-hak dasar sebagai pekerja seperti Jaminan Kesehatan (Jamkes)," ujar Nurul. (Baca juga: Giliran Muhammadiyah Minta Pilkada Serentak 2020 Ditunda)

Dari beberapa pemantauan yang dilakukan lembaganya seperti kepada penyelenggara pemilu di salah satu kabupaten/kota, didapatkan bahwa untuk pekerja adhoc, tidak ada aturan untuk memberikan Jaminan Kesehatan. Secara nomenklatur, hanya ada istilah santunan, bukan Jamkes. Padahal, masa kerja PPK dan PPS setelah Pilkada sempat ditunda adalah 7 bulan. "Jadi, sudah terinformalisasi, mereka juga rentan terpapar Covid-19 karena kerja mereka kontak langsung dengan banyak orang. Jika penyelenggara pemilu adhoc terpapar, siapa yang bertanggung jawab membiayai swab test?," tanya Nurul.
(cip)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1445 seconds (0.1#10.140)