Tunda Pilkada Demi Menjaga Hak Hidup Calon Pemilih

Senin, 21 September 2020 - 08:02 WIB
loading...
Tunda Pilkada Demi Menjaga...
Foto: dok/SINDOnews
A A A
JAKARTA - Desakan penundaan pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak 2020 kian nyaring terdengar. Penyebaran Covid-19 yang kian tak terkendali dan potensi tahapan pilkada yang padat massa, dinilai menjadi kombinasi tepat untuk kian memicu perluasan penularan wabah.

Desakan penundaan pilkada serentak 2020, terakhir disuarakan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Organisasi masyarakat (ormas) Islam terbesar di Tanah Air ini meminta kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU), pemerintah, dan DPR untuk menunda pelaksanaan tahapan pilkada serentak 2020 hingga tahap darurat kesehatan terlewati. (Baca: DPR Akan Bahas Perppu Pilkada Jilid II)

Dengan terus meningkatnya jumlah kasus positif dan tingkat kematian, PBNU menilai jika penularan Covid-19 mencapai tingkat darurat. Berdasarkan kondisi tersebut maka prioritas utama kebijakan negara dan pemerintah selayaknya diorientasikan untuk mengentaskan krisis kesehatan demi melindungi kelangsungan hidup (hifdz al-nafs) masyarakat.

Di tengah upaya menanggulangi dan memutus rantai penyebaran Covid-19, Indonesia tengah menghadapi agenda politik, yaitu pilkada serentak di 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota yang puncaknya direncanakan akan dilaksanakan pada 9 Desember 2020. Sebagaimana lazimnya perhelatan politik, momentum pesta demokrasi selalu identik dengan mobilisasi massa.

“Kendatipun ada pengetatan regulasi terkait pengerahan massa, telah terbukti dalam pendaftaran paslon terjadi konsentrasi massa yang rawan menjadi klaster penularan. Fakta bahwa sejumlah penyelenggara pemilu, baik di tingkat pusat maupun daerah, serta para calon kontestan pilkada di sejumlah daerah positif terjangkit Covid-19,” ujar Ketua Umum PBNU Said Aqil Siradj di Jakarta kemarin. (Baca juga: Sahabat Nabi Tidak Bermazhab, Benarkah?)

Desakan penundaan pilkada 2020 sebelumnya juga telah disuarakan oleh sejumlah elemen masyarakat yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pilkada Sehat. Elemen masyarakat sipil yang terdiri atas ICW, JPPR, KIPP Indonesia, Kopel, Net Grit, Netfid, Perludem, PUSaKO FH Unand, Puskapol UI, Rumah Kebangsaan, PPUA Disabilitas, dan Kemitraan, mendorong Komisi Pemilihan Umum (KPU), DPR, dan pemerintah untuk menunda pilkada serentak 2020 hingga 2021, paling lambat September 2021.

Alasannya, penyelenggaraan pilkada seyogianya juga memperhatikan unsur keselamatan dan kesehatan pihak-pihak yang terlibat di dalamnya. Memaksakan penyelenggaraan pilkada di masa pandemi berpotensi menimbulkan lebih banyak mudarat daripada manfaat, di antaranya terpaparnya banyak orang yang terlibat dalam penyelenggaraan pilkada dengan Covid-19, politisasi bantuan sosial, kontestasi yang tak setara bagi peserta pemilu petahana dan nonpetahana, dan turunnya partisipasi pemilih.

Direktur Eksekutif Perludem Khoirunnisa Nur Agustyati mengatakan, petisi tersebut sebenarnya dibuat di awal-awal munculnya Covid-19, namun kini dilanjutkan mengingat perkembangan yang terjadi. "Kita lihat beberapa praktiknya, misalnya pas pendaftaran kemarin, kan memprihatinkan. Kayanya nggak ada komitmen dan sulit untuk taat protokol kesehatan. Ya, sebaiknya kalau komitmennya rendah, daripada semakin membahayakan pemilih, opsinya ditunda," tuturnya. (Baca juga: 4 Jenis Olahraga Ini Efektif Turunkan Kadar Kolesterol)

Konsekuensi Politis dan Pemerintah Cukup Besar

Wacana pengunduran pelaksanaan pilkada serentak 2020 menyusul mengganasnya wabah Covid-19 di Indonesia dinilai bakal menimbulkan konsekuensi politis dan pemerintahan yang cukup besar. Hal itu dikatakan pakar politik dan pemerintahan dari Universitas Padjadjaran (Unpad), Firman Manan. Menurutnya, konsekuensi politis tersebut akan berdampak langsung terhadap peta politik yang telah rampung dibangun dan pemerintahan yang ujung-ujungnya menjadi beban masyarakat.

Firman mengakui, mengganasnya wabah Covid-19 menimbulkan kekhawatiran akan munculnya klaster-klaster pilkada. Meski begitu, dia mempertanyakan sampai kapan pilkada diundur di tengah ketidakjelasan kapan pandemi Covid-19 berakhir. "Wacana pengunduran pilkada ini kan sudah lama bergulir. Tapi kalau diundur, sampai kapan, karena kita pun tidak tahu kapan pandemi berakhir," ujar Firman.

"Menurut saya, saat ini persoalannya bukan mundur atau tidak, tapi bagaimana kesiapan protokol kesehatannya," sambung Firman menegaskan.

Firman menjelaskan, beban politis yang cukup besar dipastikan di depan mata saat pilkada serentak 2020 kembali diundur. Dia menyebut, peta politik yang telah rampung dibangun hingga melahirkan rekomendasi pasangan calon kepala daerah akan kembali mentah. (Baca juga: Koeman Sarankan Puig Segera Tinggalkan Barcelona)

"Bayangkan, ini proses politik yang sudah selesai hingga menghasilkan rekomendasi calon kepala daerah akan mentah lagi. Kalau diundur, peta politik bisa kembali berubah, tidak ada jaminan tidak berubah, apalagi politik itu sifatnya dinamis," katanya.

Tidak hanya itu, beban politis besar lainnya yang berdampak langsung terhadap masyarakat adalah jalannya roda pemerintahan. Pasalnya, saat masa jabatan kepala daerah habis, mau tidak mau daerah dipimpin oleh seorang pelaksana teknis (Plt) yang legitimasinya terbatas karena ditunjuk oleh pemerintah.

"Beda halnya dengan kepala daerah yang legitimasinya tinggi karena dipilih oleh rakyat. Seorang kepala daerah akan lebih leluasa memimpin daerahnya, beda halnya dengan Plt yang terbatas dalam menentukan kebijakan," ujarnya.

Apalagi, lanjut Firman, di tengah pandemi Covid-19 yang menyebabkan krisis kesehatan dan ekonomi, masyarakat membutuhkan seorang pemimpin yang berani mengambil keputusan dan risiko dalam mengatasi dampak pandemi.

"Kalau hanya sekadar Plt, saya kira mereka hanya akan menjadi safety player. Padahal, di situasi krisis seperti ini, masyarakat butuh pemimpin yang berani mengambil keputusan, termasuk risikonya," tegasnya lagi. (Baca juga: Lahan TPU Pondok Rangon Diperluas Sekitar 13.500 Meter Persegi)

Oleh karena itu, Firman kembali menekankan bukan soal pilkada diundur atau tidak, melainkan kesiapan penyelenggara pilkada serentak 2020 dalam penerapan protokol kesehatan ketat untuk menekan potensi penularan Covid-19.

"Apalagi, sejumlah negara pun sukses menggelar pesta demokrasi di tengah pandemi, seperti Korea Selatan. Jadi, yang penting protokol kesehatan karena kita tidak tahu sampai kapan pandemi ini berakhir," katanya.

Firman juga menekankan, pilkada serentak 2020 merupakan pesta demokrasi yang tidak normal karena digelar di tengah pandemi Covid-19. Oleh karena itu, seluruh tahapannya, termasuk kampanye, tidak dapat dilakukan seperti pada pilkada normal sebelumnya.

Selain itu, dibutuhkan aturan tegas agar protokol kesehatan benar-benar diterapkan dan ditaati dalam setiap tahapan pilkada. Pasalnya, persoalan yang dihadapi saat ini adalah rendahnya tingkat kedisiplinan masyarakat dalam menerapkan protokol kesehatan. "Persoalan yang dihadapi saat ini kan masalah kedisiplinan. Karena itu, perlu aturan dan sanksi harus lebih tegas lagi," tandasnya. (Baca juga: Siap-siap Resesi, Penduduk Miskin Bisa Bertambah 1,2 Juta)

Menunggu Sikap Pusat

Komisi Pemilihan Umum (KPU) tetap melaksanakan tahapan pilkada serentak 2020 di 270 daerah meski pandemi Covid-19 kian meluas. Bahkan, Ketua KPU Arief Budiman terinfeksi virus asal Wuhan, China tersebut.

Komisioner KPU Jawa Timur Insan Qoriawan mengaku tidak bisa mengambil sikap terkait desakan sejumlah elemen masyarakat agar pilkada serentak 2020 ditunda. Tujuannya agar wabah Covid-19 tidak semakin meluas. Bahkan, belakangan muncul klaster-klaster Covid-19 yang baru pada saat pendaftaran bakal calon kepala daerah. "Itu (penundaan) kewenangan pemerintah pusat. KPU daerah hanya menjalankan saja," katanya, Minggu (20/9/2020).

Sebelumnya, Presiden Joko Widodo saat membuka rapat kabinet paripurna di Istana Negara, Jakarta, Senin (7/9/2020) lalu, mengungkapkan bahwa kasus Covid-19 secara harian justru menunjukkan tren kenaikan. Presiden mengingatkan masyarakat agar mewaspadai tiga klaster penyebaran virus korona, yakni klaster pilkada, klaster perkantoran, dan klaster keluarga. (Lihat videonya: Bom Pesawat Sukhoi TNI AU Jatuh ke Permukiman Warga di Takalar)

"Yang memutuskan pilkada ditunda atau tidak, itu terserah Presiden, DPR, dan KPU Pusat. Kita di bawah melaksanakan saja keputusan dari pusat," tandas Insan. (Abdul Rochim/Agung Bakti Sarasa/Lukman Hakim)
(ysw)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1016 seconds (0.1#10.140)