Keindahan, Disorder, dan Keadilan
loading...
A
A
A
Sudjito Atmoredjo
Guru Besar Ilmu Hukum UGM
KEGUNDAHAN jiwa, dapat terekspresikan menjadi seni nan indah, bila diolah oleh seniman. Estetika. Itulah kata kuncinya. Seniman –temasuk di dalamnya penyair– amat peka, sensitif perasaan keindahannya. Berbekal kamahirannya dalam memilih kata-kata, merangkainya, dan menuangkannya dalam bentuk syair, maka terwujudlah puisi-puisi indah. Kandungan nilai moralnya tinggi. Logika pun tak sulit mencernanya.
Adalah Kahlil Gibran (1883-1931), seorang pujangga dan penyair tersohor, telah menulis ribuan puisi-puisinya. Salah-satunya berjudul “Bangsa Kasihan”. Di situ antara lain, ditulis: Kasihan, bangsa yang mengenakan pakaian yang ia tidak menenunnya, memakan roti dari gandum yang ia tidak memanennya, dan meminum anggur yang ia tidak memerasnya. Kasihan bangsa yang menjadikan orang dungu sebagai pahlawan, dan menganggap penindasan penjajah sebagai hadiah.
Pastilah, Kahlil Gibran tidak sedang melihat Indonesia saja. Pasti pula, sindiran yang terkandung dalam puisi itu berlaku umum. Maka, tidaklah tepat bila kita sebagai bangsa tersinggung. Amat naif pula, bila di antara kita justru ikut-ikutan mengolok-olok bangsa sendiri. Jauh lebih bijak, bila kita mau dan sanggup introspeksi, evaluasi diri, diikuti komitmen berbenah, agar bangsa ini mampu menepis sindiran-sindiran Kahlil Gibran tersebut.
Bangsa Indonesia, dalam perspektif politik, yuridis, dan sosiologis, lahir lebih dulu daripada lahirnya negara. Momentum Soempah Pemoeda, 28 Oktober 1928, menjadi bukti sejarah. Saat itu, putera dan puteri Indonesai mengaku “berbangsa satu, bangsa Indonesia”. Mereka bisa bersatu karena ada komitmen kuat untuk bernegara. Bahasa persatuan, yakni bahasa Indonesia, dijadikan sarana pemersatu. Dengan tekad dan semangat tinggi, pada saat tak terencanakan, yakni ketika ada kekosongan kekuasaan, kemerdekaan pun diproklamasikan, tanggal 17 Agustus 1945. Dengan rahmat Allah SWT, dan didorong keinginan luhur maka bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaannya.
Sehari setelah momentum proklamasi kemerdekaan, segeralah disahkan UUD 1945. Eksplisit tersurat pada Pasal 33, ayat (1): Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan, ayat (2): Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara, ayat (3): Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Pemerintahan di awal kemerdekaan, tampaknya sadar bahwa demi kesejahteraan bangsanya, maka amanah konstitusi dalam pasal tersebut perlu segera diterjemahkan ke dalam Undang-undang, serta dilaksanan dan ditegakkan secara konsisten. Tahun 1948, mulailah dirancang Undang-undang bidang agraria. Melalui proses panjang dan berliku, berhasil disahkan UU Nomor 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA).
UUPA ini amat bagus. Luar biasa. Kandungan nilai-nilai Pancasila, amat sarat/kental pada semua pasal dan ayat-ayatnya. Amanah konstitusi - Pasal 33 ayat (3) - mampu diterjemahkan secara utuh, detail, dan komprehensif, dalam teks-teks nan indah dan lugas. Itulah makanya, wajar bila hingga detik ini, UUPA mampu bertahan dalam keutuhan, tanpa perubahan sedikitpun.
Kiranya perlu dipahami bahwa UUPA bukanlah undang-undang yang bersifat operasional. Baru mengatur pokok-pokok, azas-azas, atau prinsi-prinsip. Seterusnya diperlukan penjabaran dan operasionalisasi dalam bentuk peraturan perundangan di bawahnya. Mestinya, siapapun yang tampil sebagai penyelenggara negara, paham dan komitmen terhadap amanah UUPA itu. Artinya, segera dirancang dan diwujudkan berbagai peraturan pelaksanaan UUPA yang benar-benar sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.
Sumberdaya alam di negeri ini melimpah. Tanahnya subur. Lautnya luas, bak kolam susu. Tambangnya beraneka ragam, dalam kuantitas banyak dan kualitas prima. Bila saja, bangsa ini mampu mengolahnya sendiri dengan bijak, proporsional, tertib dan teratur, pastilah, bangsa ini akan hidup dalam kemakmuran, kesejahteraan, dan keadilan. Tak perlu impor pakaian, gandum, makanan, dan minuman. Semuanya dapat diproduksi sendiri. Itulah bangsa berdikari (berdiri di atas kaki sendiri).
Kalau hari-hari ini, kenyataannya berbalik dari uraian di atas, tentu ada sesuatu yang salah. Kalau kesalahan itu muncul karena kedunguan, rasanya kok tidak mungkin. Otak bangsa ini cerdas. Tak berbeda dengan otak bangsa lain. Bahkan dalam berbagai hal, justru unggul. Walau demikian, sejujurnya, suatu kenyataan bahwa bangsa ini dungu ketika memilih pemimpin. Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) atau Pemilihan Anggota Legislatif (Pileg), misalnya, senantiasa jatuh pada pilihan yang salah, yakni terpilih orang-orang berintegritas rendah. Mereka hanya memiliki popularitas dan daya beli tinggi terhadap suara rakyat. Profesionalitas dan moralitasnya dipertanyakan. Berapa banyak Kepala Daerah dan politisi terjerat korupsi? Apa yang telah mereka kontribusikan kepada bangsa dan negara. Dihadapkan pada realitas demikian, rasanya pas sekali sindiran Kahlil Gibran. Orang-orang dungu dijadikan pemimpin, pahlawan atau pemberi hadiah.
Bukanlah isu baru, bahwa Pilkada dan Pileg senantiasa sarat dengan money politic. Dalam bingkai oligarkhi kekuasaan, dibalik tampilnya calon-calon Kepala Daerah ataupun anggota legislatif, ada cukong-cukong. Merekalah pendorong, pengarah dan pengendali segala aktivitas pesta-pesta demokrasi. Dalam perspektif Kahlil Gibran, di situ ada penindasan bahkan penjajahan. Cukong-cukong itu tak bedanya dengan sosok penindas dan penjajah. Baginya ada perhitungan-perhitungan politik, bisnis, dan kekuasaan. Suatu ketika, jagonya terpilih, maka janji-janji politik yang telah disepakati dan ditandatangani, mesti direalisasikan. Lahirlah kebijakan-kebijakan dan regulasi berkarakter elitis-kapitalis-kolonialistik, jauh dari karakter populis-humanis-nasionalistik. Itulah bentuk penindasan cukong-cukong di alam demokrasi-liberal-kapitalistik.
Nyatalah, demokrasi di era reformasi telah berubah bentuk menjadi monster pemicu terciptanya jurang pemisah, gap, anomali kehidupan berbangsa. Situasi demikian, walaupun bisa ditampilkan sebagai keindahan puisi, namun masalah kedaulatan dan keadilan menjadi genting. Bangsa ini tidak lagi berposisi sebagai entitas maupun komunitas berdaulat, melainkan terjebak, terperangkap, bahkan terjerumus ke dalam struktur kehidupan bernegara yang diskriminatif dan eksploitatif.
Kedaulatan dan keadilan dalam pembagian kesempatan berusaha, pemilikan dan penguasaan sumber daya alam, pengupahan buruh, sungguh sangat timpang. Dimana-mana, pada hampir semua aspek kehidupan, muncul potret-potret ketidakadilan sosial. “The haves come out ahead, the poor pay more”. Slogan-slogan sarkartis demikian menemukan pembenarannya.
Dalam suasana disorder tersebut, terasa semakin mendesak hadirnya kebijakan dan regulasi berkarakter akomodatif dan fasilitatif terhadap aspirasi bangsa. Orientasi penyelenggaraan negara mestinya ke arah terwujudnya “verzorgingsstaat” atau “walfare state”, yakni tipe negara yang menjamin kesejahteraan bangsanya, dengan cara menyusun kebijakan, regulasi, dan program kesejahteraan sosial (Schuyt & Veen, 1986). Sungguh sayang, arah politik hukum dalam penyusunan sistem hukum nasional, bukan demi terwujudnya kebijakan dan regulasi populis-humanis-nasionalistik, melainkan elitis-kapitalis-kolonialistik. Wallahu’alam.
Guru Besar Ilmu Hukum UGM
KEGUNDAHAN jiwa, dapat terekspresikan menjadi seni nan indah, bila diolah oleh seniman. Estetika. Itulah kata kuncinya. Seniman –temasuk di dalamnya penyair– amat peka, sensitif perasaan keindahannya. Berbekal kamahirannya dalam memilih kata-kata, merangkainya, dan menuangkannya dalam bentuk syair, maka terwujudlah puisi-puisi indah. Kandungan nilai moralnya tinggi. Logika pun tak sulit mencernanya.
Adalah Kahlil Gibran (1883-1931), seorang pujangga dan penyair tersohor, telah menulis ribuan puisi-puisinya. Salah-satunya berjudul “Bangsa Kasihan”. Di situ antara lain, ditulis: Kasihan, bangsa yang mengenakan pakaian yang ia tidak menenunnya, memakan roti dari gandum yang ia tidak memanennya, dan meminum anggur yang ia tidak memerasnya. Kasihan bangsa yang menjadikan orang dungu sebagai pahlawan, dan menganggap penindasan penjajah sebagai hadiah.
Pastilah, Kahlil Gibran tidak sedang melihat Indonesia saja. Pasti pula, sindiran yang terkandung dalam puisi itu berlaku umum. Maka, tidaklah tepat bila kita sebagai bangsa tersinggung. Amat naif pula, bila di antara kita justru ikut-ikutan mengolok-olok bangsa sendiri. Jauh lebih bijak, bila kita mau dan sanggup introspeksi, evaluasi diri, diikuti komitmen berbenah, agar bangsa ini mampu menepis sindiran-sindiran Kahlil Gibran tersebut.
Bangsa Indonesia, dalam perspektif politik, yuridis, dan sosiologis, lahir lebih dulu daripada lahirnya negara. Momentum Soempah Pemoeda, 28 Oktober 1928, menjadi bukti sejarah. Saat itu, putera dan puteri Indonesai mengaku “berbangsa satu, bangsa Indonesia”. Mereka bisa bersatu karena ada komitmen kuat untuk bernegara. Bahasa persatuan, yakni bahasa Indonesia, dijadikan sarana pemersatu. Dengan tekad dan semangat tinggi, pada saat tak terencanakan, yakni ketika ada kekosongan kekuasaan, kemerdekaan pun diproklamasikan, tanggal 17 Agustus 1945. Dengan rahmat Allah SWT, dan didorong keinginan luhur maka bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaannya.
Sehari setelah momentum proklamasi kemerdekaan, segeralah disahkan UUD 1945. Eksplisit tersurat pada Pasal 33, ayat (1): Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan, ayat (2): Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara, ayat (3): Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Pemerintahan di awal kemerdekaan, tampaknya sadar bahwa demi kesejahteraan bangsanya, maka amanah konstitusi dalam pasal tersebut perlu segera diterjemahkan ke dalam Undang-undang, serta dilaksanan dan ditegakkan secara konsisten. Tahun 1948, mulailah dirancang Undang-undang bidang agraria. Melalui proses panjang dan berliku, berhasil disahkan UU Nomor 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA).
UUPA ini amat bagus. Luar biasa. Kandungan nilai-nilai Pancasila, amat sarat/kental pada semua pasal dan ayat-ayatnya. Amanah konstitusi - Pasal 33 ayat (3) - mampu diterjemahkan secara utuh, detail, dan komprehensif, dalam teks-teks nan indah dan lugas. Itulah makanya, wajar bila hingga detik ini, UUPA mampu bertahan dalam keutuhan, tanpa perubahan sedikitpun.
Kiranya perlu dipahami bahwa UUPA bukanlah undang-undang yang bersifat operasional. Baru mengatur pokok-pokok, azas-azas, atau prinsi-prinsip. Seterusnya diperlukan penjabaran dan operasionalisasi dalam bentuk peraturan perundangan di bawahnya. Mestinya, siapapun yang tampil sebagai penyelenggara negara, paham dan komitmen terhadap amanah UUPA itu. Artinya, segera dirancang dan diwujudkan berbagai peraturan pelaksanaan UUPA yang benar-benar sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.
Sumberdaya alam di negeri ini melimpah. Tanahnya subur. Lautnya luas, bak kolam susu. Tambangnya beraneka ragam, dalam kuantitas banyak dan kualitas prima. Bila saja, bangsa ini mampu mengolahnya sendiri dengan bijak, proporsional, tertib dan teratur, pastilah, bangsa ini akan hidup dalam kemakmuran, kesejahteraan, dan keadilan. Tak perlu impor pakaian, gandum, makanan, dan minuman. Semuanya dapat diproduksi sendiri. Itulah bangsa berdikari (berdiri di atas kaki sendiri).
Kalau hari-hari ini, kenyataannya berbalik dari uraian di atas, tentu ada sesuatu yang salah. Kalau kesalahan itu muncul karena kedunguan, rasanya kok tidak mungkin. Otak bangsa ini cerdas. Tak berbeda dengan otak bangsa lain. Bahkan dalam berbagai hal, justru unggul. Walau demikian, sejujurnya, suatu kenyataan bahwa bangsa ini dungu ketika memilih pemimpin. Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) atau Pemilihan Anggota Legislatif (Pileg), misalnya, senantiasa jatuh pada pilihan yang salah, yakni terpilih orang-orang berintegritas rendah. Mereka hanya memiliki popularitas dan daya beli tinggi terhadap suara rakyat. Profesionalitas dan moralitasnya dipertanyakan. Berapa banyak Kepala Daerah dan politisi terjerat korupsi? Apa yang telah mereka kontribusikan kepada bangsa dan negara. Dihadapkan pada realitas demikian, rasanya pas sekali sindiran Kahlil Gibran. Orang-orang dungu dijadikan pemimpin, pahlawan atau pemberi hadiah.
Bukanlah isu baru, bahwa Pilkada dan Pileg senantiasa sarat dengan money politic. Dalam bingkai oligarkhi kekuasaan, dibalik tampilnya calon-calon Kepala Daerah ataupun anggota legislatif, ada cukong-cukong. Merekalah pendorong, pengarah dan pengendali segala aktivitas pesta-pesta demokrasi. Dalam perspektif Kahlil Gibran, di situ ada penindasan bahkan penjajahan. Cukong-cukong itu tak bedanya dengan sosok penindas dan penjajah. Baginya ada perhitungan-perhitungan politik, bisnis, dan kekuasaan. Suatu ketika, jagonya terpilih, maka janji-janji politik yang telah disepakati dan ditandatangani, mesti direalisasikan. Lahirlah kebijakan-kebijakan dan regulasi berkarakter elitis-kapitalis-kolonialistik, jauh dari karakter populis-humanis-nasionalistik. Itulah bentuk penindasan cukong-cukong di alam demokrasi-liberal-kapitalistik.
Nyatalah, demokrasi di era reformasi telah berubah bentuk menjadi monster pemicu terciptanya jurang pemisah, gap, anomali kehidupan berbangsa. Situasi demikian, walaupun bisa ditampilkan sebagai keindahan puisi, namun masalah kedaulatan dan keadilan menjadi genting. Bangsa ini tidak lagi berposisi sebagai entitas maupun komunitas berdaulat, melainkan terjebak, terperangkap, bahkan terjerumus ke dalam struktur kehidupan bernegara yang diskriminatif dan eksploitatif.
Kedaulatan dan keadilan dalam pembagian kesempatan berusaha, pemilikan dan penguasaan sumber daya alam, pengupahan buruh, sungguh sangat timpang. Dimana-mana, pada hampir semua aspek kehidupan, muncul potret-potret ketidakadilan sosial. “The haves come out ahead, the poor pay more”. Slogan-slogan sarkartis demikian menemukan pembenarannya.
Dalam suasana disorder tersebut, terasa semakin mendesak hadirnya kebijakan dan regulasi berkarakter akomodatif dan fasilitatif terhadap aspirasi bangsa. Orientasi penyelenggaraan negara mestinya ke arah terwujudnya “verzorgingsstaat” atau “walfare state”, yakni tipe negara yang menjamin kesejahteraan bangsanya, dengan cara menyusun kebijakan, regulasi, dan program kesejahteraan sosial (Schuyt & Veen, 1986). Sungguh sayang, arah politik hukum dalam penyusunan sistem hukum nasional, bukan demi terwujudnya kebijakan dan regulasi populis-humanis-nasionalistik, melainkan elitis-kapitalis-kolonialistik. Wallahu’alam.
(ras)