Keindahan, Disorder, dan Keadilan
loading...
A
A
A
Kalau hari-hari ini, kenyataannya berbalik dari uraian di atas, tentu ada sesuatu yang salah. Kalau kesalahan itu muncul karena kedunguan, rasanya kok tidak mungkin. Otak bangsa ini cerdas. Tak berbeda dengan otak bangsa lain. Bahkan dalam berbagai hal, justru unggul. Walau demikian, sejujurnya, suatu kenyataan bahwa bangsa ini dungu ketika memilih pemimpin. Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) atau Pemilihan Anggota Legislatif (Pileg), misalnya, senantiasa jatuh pada pilihan yang salah, yakni terpilih orang-orang berintegritas rendah. Mereka hanya memiliki popularitas dan daya beli tinggi terhadap suara rakyat. Profesionalitas dan moralitasnya dipertanyakan. Berapa banyak Kepala Daerah dan politisi terjerat korupsi? Apa yang telah mereka kontribusikan kepada bangsa dan negara. Dihadapkan pada realitas demikian, rasanya pas sekali sindiran Kahlil Gibran. Orang-orang dungu dijadikan pemimpin, pahlawan atau pemberi hadiah.
Bukanlah isu baru, bahwa Pilkada dan Pileg senantiasa sarat dengan money politic. Dalam bingkai oligarkhi kekuasaan, dibalik tampilnya calon-calon Kepala Daerah ataupun anggota legislatif, ada cukong-cukong. Merekalah pendorong, pengarah dan pengendali segala aktivitas pesta-pesta demokrasi. Dalam perspektif Kahlil Gibran, di situ ada penindasan bahkan penjajahan. Cukong-cukong itu tak bedanya dengan sosok penindas dan penjajah. Baginya ada perhitungan-perhitungan politik, bisnis, dan kekuasaan. Suatu ketika, jagonya terpilih, maka janji-janji politik yang telah disepakati dan ditandatangani, mesti direalisasikan. Lahirlah kebijakan-kebijakan dan regulasi berkarakter elitis-kapitalis-kolonialistik, jauh dari karakter populis-humanis-nasionalistik. Itulah bentuk penindasan cukong-cukong di alam demokrasi-liberal-kapitalistik.
Nyatalah, demokrasi di era reformasi telah berubah bentuk menjadi monster pemicu terciptanya jurang pemisah, gap, anomali kehidupan berbangsa. Situasi demikian, walaupun bisa ditampilkan sebagai keindahan puisi, namun masalah kedaulatan dan keadilan menjadi genting. Bangsa ini tidak lagi berposisi sebagai entitas maupun komunitas berdaulat, melainkan terjebak, terperangkap, bahkan terjerumus ke dalam struktur kehidupan bernegara yang diskriminatif dan eksploitatif.
Kedaulatan dan keadilan dalam pembagian kesempatan berusaha, pemilikan dan penguasaan sumber daya alam, pengupahan buruh, sungguh sangat timpang. Dimana-mana, pada hampir semua aspek kehidupan, muncul potret-potret ketidakadilan sosial. “The haves come out ahead, the poor pay more”. Slogan-slogan sarkartis demikian menemukan pembenarannya.
Dalam suasana disorder tersebut, terasa semakin mendesak hadirnya kebijakan dan regulasi berkarakter akomodatif dan fasilitatif terhadap aspirasi bangsa. Orientasi penyelenggaraan negara mestinya ke arah terwujudnya “verzorgingsstaat” atau “walfare state”, yakni tipe negara yang menjamin kesejahteraan bangsanya, dengan cara menyusun kebijakan, regulasi, dan program kesejahteraan sosial (Schuyt & Veen, 1986). Sungguh sayang, arah politik hukum dalam penyusunan sistem hukum nasional, bukan demi terwujudnya kebijakan dan regulasi populis-humanis-nasionalistik, melainkan elitis-kapitalis-kolonialistik. Wallahu’alam.
Bukanlah isu baru, bahwa Pilkada dan Pileg senantiasa sarat dengan money politic. Dalam bingkai oligarkhi kekuasaan, dibalik tampilnya calon-calon Kepala Daerah ataupun anggota legislatif, ada cukong-cukong. Merekalah pendorong, pengarah dan pengendali segala aktivitas pesta-pesta demokrasi. Dalam perspektif Kahlil Gibran, di situ ada penindasan bahkan penjajahan. Cukong-cukong itu tak bedanya dengan sosok penindas dan penjajah. Baginya ada perhitungan-perhitungan politik, bisnis, dan kekuasaan. Suatu ketika, jagonya terpilih, maka janji-janji politik yang telah disepakati dan ditandatangani, mesti direalisasikan. Lahirlah kebijakan-kebijakan dan regulasi berkarakter elitis-kapitalis-kolonialistik, jauh dari karakter populis-humanis-nasionalistik. Itulah bentuk penindasan cukong-cukong di alam demokrasi-liberal-kapitalistik.
Nyatalah, demokrasi di era reformasi telah berubah bentuk menjadi monster pemicu terciptanya jurang pemisah, gap, anomali kehidupan berbangsa. Situasi demikian, walaupun bisa ditampilkan sebagai keindahan puisi, namun masalah kedaulatan dan keadilan menjadi genting. Bangsa ini tidak lagi berposisi sebagai entitas maupun komunitas berdaulat, melainkan terjebak, terperangkap, bahkan terjerumus ke dalam struktur kehidupan bernegara yang diskriminatif dan eksploitatif.
Kedaulatan dan keadilan dalam pembagian kesempatan berusaha, pemilikan dan penguasaan sumber daya alam, pengupahan buruh, sungguh sangat timpang. Dimana-mana, pada hampir semua aspek kehidupan, muncul potret-potret ketidakadilan sosial. “The haves come out ahead, the poor pay more”. Slogan-slogan sarkartis demikian menemukan pembenarannya.
Dalam suasana disorder tersebut, terasa semakin mendesak hadirnya kebijakan dan regulasi berkarakter akomodatif dan fasilitatif terhadap aspirasi bangsa. Orientasi penyelenggaraan negara mestinya ke arah terwujudnya “verzorgingsstaat” atau “walfare state”, yakni tipe negara yang menjamin kesejahteraan bangsanya, dengan cara menyusun kebijakan, regulasi, dan program kesejahteraan sosial (Schuyt & Veen, 1986). Sungguh sayang, arah politik hukum dalam penyusunan sistem hukum nasional, bukan demi terwujudnya kebijakan dan regulasi populis-humanis-nasionalistik, melainkan elitis-kapitalis-kolonialistik. Wallahu’alam.
(ras)