Pilkada Medan, Masyarakat Tak Ingin Cakada Terindikasi Korupsi
loading...
A
A
A
JAKARTA - Lembaga survei Medan Institute For Democracy (MIDE) memaparkan hasil survei Pilkada Medan 2020 yang diambil datanya saat awal Agustus lalu. Lembaga yang diinisiasi oleh sejumlah peneliti muda ini mensurvei 1.000 responden serta menggunakan metode multistage random sampling dengan margin of error 3 persen.
Survei dilakukan tepatnya dalam periode 12-16 Agustus di seluruh kecamatan di Kota Medan. (Baca juga: KPU Usul Pilkada Serentak 2020 Terapkan Kotak Suara Keliling)
Dalam hasil survei tersebut permasalahan Kota Medan yang dikeluhkan oleh masyarakat yakni korupsi 17,3 persen; jalan rusak 11,1 persen; banjir 10,9 persen; susah lapangan pekerjaan 10,3 persen; kriminalitas 10,1 persen, dan kemacetan 9,3 persen.
(Baca juga: Ramai Desakan Penundaan Pilkada, Ini Respons KPU)
Menanggapi hal itu pengamat Politik Universitas Sumatera Utara (USU) Dadang Darmawan Pasaribu mengatakan wajar jika masalah warga Kota Medan menjadikan masalah-masalah tersebut menjadi hal utama yang harus diperbaiki ke depannya, terutama permasalahan kasus korupsi yang menyeret nama tiga Wali kota Medan tiga periode berturut-turut.
"Masalah korupsi tentu mencoreng Kota Medan dimana tiga periode kepala daerah, ketiganya berurusan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)," katanya.
Menurutnya, hal ini membuat masyarakat mengalami seakan trauma kepada kepala dan mengancam tingkat partisipasi pemilih pada Pilkada Medan 2020 semakin berkurang.
"Karena trauma jadi tingkat kepercayaan masyarakat juga semakin menurun pada pemerintahan Kota Medan yang bersih. Saya juga merasa bisa jadi tingkat golput di Pilkada nanti semakin tinggi," ujarnya.
Meskipun demikian, tingkat golput bisa diantisipasi jika para pasangan calon kepala daerah (Cakada) bisa meyakinkan masyarakat bahwa mereka benar-benar bersih dan tidak pernah tersandung kasus korupsi.
"Jelas dengan rentetan kasus korupsi di Pemkot Medan masyarakat menginginkan figur yang tidak memiliki indikasi korupsi agar bisa membangun pemerintahan yang bersih dan bebas korupsi," imbuhnya.
Senada dengan Darmawan, Peneliti Litbang Kompas Yohan Wahyu menilai sorotan masyarakat kepada kasus korupsi di Kota Medan wajar. Sebab, Yohan menjelaskan, berdasarkan data dari KPK terkait hasil capaian Monitoring Centre for Preventation (MCP) 16 Pemerintah Daerah (Pemda) di Provinsi Sumatera Utara per 30 Juni 2020, Kota Medan berada di urutan 13 dari 16 kabupaten/kota atau nomor empat urutan akhir daerah yang rawan korupsi di Sumatera Utara.
"Berdasarkan data KPK Kota Medan yang berada di urutan 13 dari 16 kabupaten/kota di Sumut yang artinya Kota Medan masuk zona merah atau masuk dalam daerah yang rawan terjadi korupsi. Dan sangat wajar jika warganya ingin memilih atau memiliki pemimpin yang bersih dari indikasi korupsi," ucapnya.
Yohan menjelaskan Capaian MCP diukur dari 8 area intervensi, meliputi perencanaan dan penganggaran APBD, pengadaan barang dan jasa, pelayanan terpadu satu pintu, kapabilitas APIP, manajemen ASN, optimalisasi pendapatan daerah, manajemen aset daerah, tata kelola dana desa.
Survei dilakukan tepatnya dalam periode 12-16 Agustus di seluruh kecamatan di Kota Medan. (Baca juga: KPU Usul Pilkada Serentak 2020 Terapkan Kotak Suara Keliling)
Dalam hasil survei tersebut permasalahan Kota Medan yang dikeluhkan oleh masyarakat yakni korupsi 17,3 persen; jalan rusak 11,1 persen; banjir 10,9 persen; susah lapangan pekerjaan 10,3 persen; kriminalitas 10,1 persen, dan kemacetan 9,3 persen.
(Baca juga: Ramai Desakan Penundaan Pilkada, Ini Respons KPU)
Menanggapi hal itu pengamat Politik Universitas Sumatera Utara (USU) Dadang Darmawan Pasaribu mengatakan wajar jika masalah warga Kota Medan menjadikan masalah-masalah tersebut menjadi hal utama yang harus diperbaiki ke depannya, terutama permasalahan kasus korupsi yang menyeret nama tiga Wali kota Medan tiga periode berturut-turut.
"Masalah korupsi tentu mencoreng Kota Medan dimana tiga periode kepala daerah, ketiganya berurusan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)," katanya.
Menurutnya, hal ini membuat masyarakat mengalami seakan trauma kepada kepala dan mengancam tingkat partisipasi pemilih pada Pilkada Medan 2020 semakin berkurang.
"Karena trauma jadi tingkat kepercayaan masyarakat juga semakin menurun pada pemerintahan Kota Medan yang bersih. Saya juga merasa bisa jadi tingkat golput di Pilkada nanti semakin tinggi," ujarnya.
Meskipun demikian, tingkat golput bisa diantisipasi jika para pasangan calon kepala daerah (Cakada) bisa meyakinkan masyarakat bahwa mereka benar-benar bersih dan tidak pernah tersandung kasus korupsi.
"Jelas dengan rentetan kasus korupsi di Pemkot Medan masyarakat menginginkan figur yang tidak memiliki indikasi korupsi agar bisa membangun pemerintahan yang bersih dan bebas korupsi," imbuhnya.
Senada dengan Darmawan, Peneliti Litbang Kompas Yohan Wahyu menilai sorotan masyarakat kepada kasus korupsi di Kota Medan wajar. Sebab, Yohan menjelaskan, berdasarkan data dari KPK terkait hasil capaian Monitoring Centre for Preventation (MCP) 16 Pemerintah Daerah (Pemda) di Provinsi Sumatera Utara per 30 Juni 2020, Kota Medan berada di urutan 13 dari 16 kabupaten/kota atau nomor empat urutan akhir daerah yang rawan korupsi di Sumatera Utara.
"Berdasarkan data KPK Kota Medan yang berada di urutan 13 dari 16 kabupaten/kota di Sumut yang artinya Kota Medan masuk zona merah atau masuk dalam daerah yang rawan terjadi korupsi. Dan sangat wajar jika warganya ingin memilih atau memiliki pemimpin yang bersih dari indikasi korupsi," ucapnya.
Yohan menjelaskan Capaian MCP diukur dari 8 area intervensi, meliputi perencanaan dan penganggaran APBD, pengadaan barang dan jasa, pelayanan terpadu satu pintu, kapabilitas APIP, manajemen ASN, optimalisasi pendapatan daerah, manajemen aset daerah, tata kelola dana desa.
(maf)