Apa Kabar Relaksasi Kredit UMKM?
loading...
A
A
A
Fajar S Pramono
Peminat tema sosial ekonomi, Alumnus UNS Surakarta
SEJAK awal pandemi Covid-19 di Maret 2020 hingga hari ini, otoritas dan lembaga keuangan terus bergerak cepat untuk memastikan nasib UMKM Indonesia tidak terpuruk ke level dasar. Salah satunya jelas, yakni dengan relaksasi tipe struktur dan kewajiban kredit UMKM.
Sejauh mana dampak relaksasi kredit yang sudah dan masih terus dilakukan ini terhadap perkembangan UMKM itu hari ini? Bagaimana produktivitas restrukturisasi kredit dampak pandemi yang sudah dilakukan? Apakah sudah terukur dengan baik?
Pertanyaan ini layak terlontar ketika akhir Agustus 2020 lalu kita mendengar Otoritas Jasa Keuangan (OJK) akan memperpanjang program restrukturisasi kredit dalam POJK 11/2020. Keputusan perpanjangan program restrukturisasi ini tampaknya sedang dianalisa, dan keputusannya akan disampaikan Oktober 2020 atau maksimal sebelum akhir tahun.
Produktivitas Restrukturisasi
Sejak awal program restrukturisasi kredit terdampak Covid-19 digelontorkan, rasanya belum pernah terekspos secara detail apa saja indikator yang pada periode tertentu setelahnya bisa digunakan untuk memberi kesimpulan soal produktivitas dan efektivitas pola restrukturisasi kredit yang telah dilakukan.
Sejauh mana keberlangsungan serta kebangkitan UMKM yang diharapkan dengan relaksasi kredit harus bisa dijawab. Kalaupun ada kebangkitan, apakah itu memang merupakan buah relaksasi, atau lebih karena pelonggaran protokol kesehatan berikut permisivitas aktivitas yang makin tinggi di dalam keseharian hidup masyarakat saat ini? Belum jelas.
Pada sebuah kesempatan, penulis pernah mencoba merumuskan beberapa indikator produktivitas restrukturisasi kredit dampak pandemi, baik dari aspek kuantitas maupun kualitas. Dari aspek kuantitas, harus terukur perbandingan antara potensi restrukturisasi (dalam hal ini jumlah debitur terdampak Covid-19 yang masih punya prospek usaha) dengan jumlah restrukturisasi kredit yang telah dilakukan. Semakin besar prosentasenya, berarti kecepattanggapan lembaga keuangan terkait semakin baik. Semakin tinggi produktivitasnya.
Beberapa evaluasi terkait kuantitas inilah yang kadang salah kaprah, karena seringkali yang dilihat semata adalah banyaknya jumlah kredit yang direstrukturisasi, tanpa melihat potensi dan kondisi riil yang membutuhkan restrukturisasi. Ketika hanya jumlah restrukturisasi yang menjadi tolok ukur, terbuka kemungkinan akan terjadinya “malpraktik” restrukturisasi kredit terdampak pandemi. Yang tidak atau belum butuh restrukturisasi malah direstrukturisasi, dan bisa jadi, yang membutuhkan justru terlewat direstrukturisasi. Ini tentu sangat tidak diharapkan.
Kendati diyakini asumsi ini (semoga benar) tidak terjadi, sampai hari ini, data mengenai produktivitas aspek kuantitas ini belum terekspos secara gamblang. Angka yang ditampilkan masih saja seputar jumlah debitur UMKM dan nominal kredit yang direstrukturisasi. Misal seperti yang disampaikan OJK bahwa per 20 Juli 2020, sudah ada 6,73 juta debitur yang mendapatkan restrukturisasi. Dengan perincian 5,38 juta debitur di sektor UMKM dan sisanya atau 1,34 juta debitur di kategori non-UMKM. Untuk nominalnya, Rp330,27 triliun di sektor UMKM, dan Rp454,09 triliun di kategori non-UMKM.
Namun, seperti apa kondisi saat ini dari begitu banyak UMKM yang direstrukturisasi, belum ada potret yang ditampilkan. Tentu saja kita berdoa bahwa sesuai asumsi dan tujuan relaksasi, bahwa UMKM yang kepadanya telah dilakukan restrukturisasi saat ini kondisinya stabil baik dan bahkan sudah mulai kembali merangkak naik produktivitas usahanya.
Peminat tema sosial ekonomi, Alumnus UNS Surakarta
SEJAK awal pandemi Covid-19 di Maret 2020 hingga hari ini, otoritas dan lembaga keuangan terus bergerak cepat untuk memastikan nasib UMKM Indonesia tidak terpuruk ke level dasar. Salah satunya jelas, yakni dengan relaksasi tipe struktur dan kewajiban kredit UMKM.
Sejauh mana dampak relaksasi kredit yang sudah dan masih terus dilakukan ini terhadap perkembangan UMKM itu hari ini? Bagaimana produktivitas restrukturisasi kredit dampak pandemi yang sudah dilakukan? Apakah sudah terukur dengan baik?
Pertanyaan ini layak terlontar ketika akhir Agustus 2020 lalu kita mendengar Otoritas Jasa Keuangan (OJK) akan memperpanjang program restrukturisasi kredit dalam POJK 11/2020. Keputusan perpanjangan program restrukturisasi ini tampaknya sedang dianalisa, dan keputusannya akan disampaikan Oktober 2020 atau maksimal sebelum akhir tahun.
Produktivitas Restrukturisasi
Sejak awal program restrukturisasi kredit terdampak Covid-19 digelontorkan, rasanya belum pernah terekspos secara detail apa saja indikator yang pada periode tertentu setelahnya bisa digunakan untuk memberi kesimpulan soal produktivitas dan efektivitas pola restrukturisasi kredit yang telah dilakukan.
Sejauh mana keberlangsungan serta kebangkitan UMKM yang diharapkan dengan relaksasi kredit harus bisa dijawab. Kalaupun ada kebangkitan, apakah itu memang merupakan buah relaksasi, atau lebih karena pelonggaran protokol kesehatan berikut permisivitas aktivitas yang makin tinggi di dalam keseharian hidup masyarakat saat ini? Belum jelas.
Pada sebuah kesempatan, penulis pernah mencoba merumuskan beberapa indikator produktivitas restrukturisasi kredit dampak pandemi, baik dari aspek kuantitas maupun kualitas. Dari aspek kuantitas, harus terukur perbandingan antara potensi restrukturisasi (dalam hal ini jumlah debitur terdampak Covid-19 yang masih punya prospek usaha) dengan jumlah restrukturisasi kredit yang telah dilakukan. Semakin besar prosentasenya, berarti kecepattanggapan lembaga keuangan terkait semakin baik. Semakin tinggi produktivitasnya.
Beberapa evaluasi terkait kuantitas inilah yang kadang salah kaprah, karena seringkali yang dilihat semata adalah banyaknya jumlah kredit yang direstrukturisasi, tanpa melihat potensi dan kondisi riil yang membutuhkan restrukturisasi. Ketika hanya jumlah restrukturisasi yang menjadi tolok ukur, terbuka kemungkinan akan terjadinya “malpraktik” restrukturisasi kredit terdampak pandemi. Yang tidak atau belum butuh restrukturisasi malah direstrukturisasi, dan bisa jadi, yang membutuhkan justru terlewat direstrukturisasi. Ini tentu sangat tidak diharapkan.
Kendati diyakini asumsi ini (semoga benar) tidak terjadi, sampai hari ini, data mengenai produktivitas aspek kuantitas ini belum terekspos secara gamblang. Angka yang ditampilkan masih saja seputar jumlah debitur UMKM dan nominal kredit yang direstrukturisasi. Misal seperti yang disampaikan OJK bahwa per 20 Juli 2020, sudah ada 6,73 juta debitur yang mendapatkan restrukturisasi. Dengan perincian 5,38 juta debitur di sektor UMKM dan sisanya atau 1,34 juta debitur di kategori non-UMKM. Untuk nominalnya, Rp330,27 triliun di sektor UMKM, dan Rp454,09 triliun di kategori non-UMKM.
Namun, seperti apa kondisi saat ini dari begitu banyak UMKM yang direstrukturisasi, belum ada potret yang ditampilkan. Tentu saja kita berdoa bahwa sesuai asumsi dan tujuan relaksasi, bahwa UMKM yang kepadanya telah dilakukan restrukturisasi saat ini kondisinya stabil baik dan bahkan sudah mulai kembali merangkak naik produktivitas usahanya.