Kabut Asap dan Covid-19 Tingkatkan Risiko Kematian, Greenpeace Singgung RUU Cipta Kerja

Jum'at, 11 September 2020 - 00:38 WIB
loading...
Kabut Asap dan Covid-19...
Foto: Ilustrasi/SINDOnews/Dok
A A A
JAKARTA - Greenpeace Indonesia mengungkapkan sektor kesehatan dan kehutanan menjadi urgen untuk segera dibenahi. Baru-baru ini, Greenpeace melalui laporan ‘Membara’ mengungkapkan bahwa pencemaran kabut asap dari kebakaran hutan dan lahan (karhutla) dan deforestasi berimbas terhadap kesehatan manusia di daerah rawan karhutla.

Tak hanya itu, laporan tersebut juga menyajikan bukti-bukti kuat yang menunjukkan bahwa laju dan tingkat keparahan infeksi dari Covid-19 dapat meningkat secara signifikan di kalangan masyarakat yang terpapar polusi udara tingkat tinggi.(Baca juga: Pemerintah Pastikan Tak Ada Pergantian Sistem Upah dalam RUU Cipta Kerja)

Melihat kondisi itu, Ketua Tim Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia Rusmadya Maharuddin menilai respon pemerintah dan DPR justru bertolak belakang dengan kebutuhan masyarakat. Di saat pandemi Covid-19, mereka bersikukuh melahirkan RUU Cipta Kerja yang memberi kelonggaran tanggung jawab korporat atas kebakaran hutan dan lahan (karhutla).

Secara tegas, pihaknya meminta agar pembahasan RUU Cipta Kerja dihentikan karena akan melemahkan aturan pertanggungjawaban korporasi terkait kebakaran. Bila ini dilanjutkan, maka pemerintah dan DPR hanya berpihak kepada kepentingan perusahaan.

“Korporasi seolah-olah diberi karpet merah untuk merusak, dan kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan secara konsisten tidak menunjukan empati terhadap kebutuhan riil masyarakat untuk menghirup udara dan lingkungan yang sehat,” celetuk Rusmadya melalui keterangan tertulis yang diperoleh SINDOnews, Kamis (10/9/2020).

Lebih lanjut, ia menilai para pemegang kekuasaan terdahulu sampai sekarang telah sangat meremehkan skala dampak karhutla terhadap kesehatan manusia. (Baca juga: Kebakaran Lahan di Rembang Meluas, Asap Mengganggu Warga)

“Setelah musim kebakaran yang menghancurkan pada 2015, angka resmi untuk jumlah korban tewas mencapai 24 nyawa. Sebaliknya, ahli epidemiologi memperkirakan puluhan ribu orang mengalami kematian dini,” tukasnya.

Berdasarkan dua studi yang dilakukan para peneliti dari Universitas Harvard di Amerika Serikat dan peneliti dari Universitas Birmingham (Inggris) dan Universitas Bern (Belanda), ditemukan bahwa sedikit peningkatan polusi udara saja sudah cukup untuk menaikkan tingkat kematian akibat Covid-19.

Studi dari tahun-tahun sebelumnya juga menunjukkan bahwa asap kebakaran hutan telah membahayakan kesehatan anak-anak di Indonesia. Bahkan, Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) mengatakan bahwa buruknya kesehatan adalah penyebab tingginya kematian anak yang terinfeksi Covid-19.

Saat ini enam provinsi di Sumatera dan Kalimantan telah berstatus siaga darurat karhutla. Wabah Covid-19 dan karhutla berpotensi membawa penduduk di wilayah darurat tersebut ke jurang krisis kesehatan. (Baca juga: Jakarta Rem Darurat Covid-19, BPTJ: Transportasi Publik Tetap Berjalan Terbatas)

Guru Besar Universitas Indonesia bidang Epidemiologi Pencemaran Udara dan Surveilans Kesehatan Lingkungan, Budi Haryanto mengatakan, gangguan kesehatan yang disebabkan polusi udara dapat meningkatkan risiko kematian pada masa Covid-19.

“Masyarakat yang setiap tahun terpapar kabut asap karhutla akan berisiko menderita gangguan fungsi paru dan penyakit-penyakit saluran nafas kronis, yang dapat memperparah dan bahkan menjadi fatal saat tertular dan menjadi pasien Covid-19,” ujar Budi.

Kalimantan Tengah adalah salah satu langganan provinsi yang tiap tahun menetapkan status darurat karhutla. Ahli paru-paru dari RSUD Dr Doris Sylvanus Palangkaraya, Jeanette Siagian mengimbau agar masyarakat yang tinggal di wilayah rentan terpapar kabut asap karhutla untuk mengantisipasi bahaya polusi udara.

“Bila asap karhutla muncul lagi di situasi pandemi ini, sebaiknya kita tetap diam di rumah, jaga kesehatan paru dengan menggunakan masker. Menerapkan standar pencegahan Covid-19 serta mengkonsumsi makanan bergizi. Paru yang terinfeksi Covid-19 bisa menyebabkan kerusakan permanen,” terang Jeanette.
(thm)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1689 seconds (0.1#10.140)