PDIP Berharap Seluruh Fraksi DPR Loloskan RUU PKS
loading...
A
A
A
Selain itu, diusulkan juga sembilan jenis kekerasan seksual, yakni pelecehan seksual, pemaksaan perkawinan, pemaksaan kontrasepsi, perkosaan, pemaksaan aborsi, eksploitasi seksual, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual, dan penyiksaan seksual.
Jaringan Koalisi juga mengusulkan agar unsur-unsur tindak pidana kekerasan seksual dalam RUU ini lebih detail dibanding perumusan dalam RUU Hukum Pidana.
Contohnya, perkosaan dalam RUU Hukum Pidana mengatur unsur kekerasan atau ancaman kekerasan. "Sementara dalam RUU ini unsur-unsurnya diperluas menjadi kekerasan atau ancaman kekerasan, tipu daya, rangkaian kebohongan, atau penyalahgunaan kekuasaan, atau menggunakan kondisi seseorang yang tidak mampu memberikan persetujuan,” katanya.
Sementara soal pemidanaan, pihaknya mengusulkan pidana pokok dalam wujud penjara, denda, kerja sosial, hingga pidana pengawasan. Ditambah pidana tambahan berupa pencabutan hak asuh anak dan pengampuan, pengumuman identitas pelaku, perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana, pencabutan hak politik, pencabutan hak menjalankan pekerjaan, pencabutan jabatan atau profesi, pembayaran ganti rugi; dan pembinaan khusus. Juga ada usulan tindakan rehabilitas khusus.
"Kami juga mengusulkan ketentuan peralihan berisi pengaturan tindakan hukum yang sudah ada, yaitu perkara kekerasan seksual yang masih dalam proses penyelesaian di tingkat penyidikan, penuntutan, atau pemeriksaan di sidang pengadilan, tetap diperiksa berdasarkan undang-undang yang mengaturnya," kata Valentina.
Sementara KH Marzuki Wahid mengatakan setiap pemeluk Agama Islam pasti akan menolak kekerasan seksual. Dirinya merasa aneh jika ada WNI pemeluk Islam tak setuju pengesahan RUU PKS.
"Saya meragukan keislamannya. Karena semua orang Islam pasti mengharamkan kekerasan seksual, pasti. Kalau ada orang Islam tidak mengharamkan kekerasan seksual, saya malah mempertanyakan cara pandang keislamannya," tutur Marzuki.
Dirinya mengaku sudah membaca draf RUU PKS sejak yang dibuat tahun 2017 hingga yang ada saat ini. Baginya, substansi RUU itu sangat keren dan seharusnya segera disepakati lalu disahkan oleh Pemerintah dan DPR.
"Sebab RUU ini mengatur mulai dari hulu sampai hilir, mulai pencegahan sampai pemulihan, dan bahkan hak-hak korban ada disitu. Kemudian penindakan pelaku juga ada, bahkan hukum acaranya juga ada. Dan menurut saya ini yang kita butuhkan. Yakni sebuah undang-undang yang berpihak kepada korban," tuturnya.
Diskusi yang dibuka Ketua DPP PDIP Bidang Kesehatan, Perempuan, dan Anak, Sri Rahayu, tersebut juga menghadirkan Sulistyowati dari Aliansi Akademisi dan Susianah Affandi dari KOWANI.
Jaringan Koalisi juga mengusulkan agar unsur-unsur tindak pidana kekerasan seksual dalam RUU ini lebih detail dibanding perumusan dalam RUU Hukum Pidana.
Contohnya, perkosaan dalam RUU Hukum Pidana mengatur unsur kekerasan atau ancaman kekerasan. "Sementara dalam RUU ini unsur-unsurnya diperluas menjadi kekerasan atau ancaman kekerasan, tipu daya, rangkaian kebohongan, atau penyalahgunaan kekuasaan, atau menggunakan kondisi seseorang yang tidak mampu memberikan persetujuan,” katanya.
Sementara soal pemidanaan, pihaknya mengusulkan pidana pokok dalam wujud penjara, denda, kerja sosial, hingga pidana pengawasan. Ditambah pidana tambahan berupa pencabutan hak asuh anak dan pengampuan, pengumuman identitas pelaku, perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana, pencabutan hak politik, pencabutan hak menjalankan pekerjaan, pencabutan jabatan atau profesi, pembayaran ganti rugi; dan pembinaan khusus. Juga ada usulan tindakan rehabilitas khusus.
"Kami juga mengusulkan ketentuan peralihan berisi pengaturan tindakan hukum yang sudah ada, yaitu perkara kekerasan seksual yang masih dalam proses penyelesaian di tingkat penyidikan, penuntutan, atau pemeriksaan di sidang pengadilan, tetap diperiksa berdasarkan undang-undang yang mengaturnya," kata Valentina.
Sementara KH Marzuki Wahid mengatakan setiap pemeluk Agama Islam pasti akan menolak kekerasan seksual. Dirinya merasa aneh jika ada WNI pemeluk Islam tak setuju pengesahan RUU PKS.
"Saya meragukan keislamannya. Karena semua orang Islam pasti mengharamkan kekerasan seksual, pasti. Kalau ada orang Islam tidak mengharamkan kekerasan seksual, saya malah mempertanyakan cara pandang keislamannya," tutur Marzuki.
Dirinya mengaku sudah membaca draf RUU PKS sejak yang dibuat tahun 2017 hingga yang ada saat ini. Baginya, substansi RUU itu sangat keren dan seharusnya segera disepakati lalu disahkan oleh Pemerintah dan DPR.
"Sebab RUU ini mengatur mulai dari hulu sampai hilir, mulai pencegahan sampai pemulihan, dan bahkan hak-hak korban ada disitu. Kemudian penindakan pelaku juga ada, bahkan hukum acaranya juga ada. Dan menurut saya ini yang kita butuhkan. Yakni sebuah undang-undang yang berpihak kepada korban," tuturnya.
Diskusi yang dibuka Ketua DPP PDIP Bidang Kesehatan, Perempuan, dan Anak, Sri Rahayu, tersebut juga menghadirkan Sulistyowati dari Aliansi Akademisi dan Susianah Affandi dari KOWANI.