Tenaga Medis Kurang, Masyarakat Dinilai Perlu Belajar Isolasi Mandiri

Kamis, 26 Maret 2020 - 19:07 WIB
Tenaga Medis Kurang, Masyarakat Dinilai Perlu Belajar Isolasi Mandiri
Tenaga Medis Kurang, Masyarakat Dinilai Perlu Belajar Isolasi Mandiri
A A A
JAKARTA - Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 masih kekurangan tenaga medis untuk bergabung sebagai relawan guna membantu menangani pasien pandemi Corona.

Komisi IX DPR mengimbau tenaga medis di berbagai daerah untuk bergabung. Namun yang paling penting adalah masyarakat diedukasi untuk bisa melalukan isolasi mandiri, hidup sehat dan sebisa mungkin menghindari rumah sakit (RS).

“Saya mengimbau, sebetulnya mereka sendiri sudah secara otomatis. Setiap tenaga medis pastinya bekerja untuk faskes (fasilitas kesehatan),” kata Anggota Komisi IX DPR Intan Fitriana Fauzi kepada SINDOnews, Kamis (26/3/2020).

Tetapi, Intan melanjutkan, tentu saja jumlah tenaga medis yang ada tidak mencukupi. Komisi IX DPR sudah mengkhawatirkan kondisi ini sejak lama. Corona sudah menjadi pandemi sehingga jumlah kasus positif akan terus meningkat.

Ruang isolasi di RS pun sudah kekurangan, begitu juga dengan alat kesehatan (alkes) yang kian terbatas. “Termasuk juga sekolah keperawatan, kedokteran, semuanya dikerahkan,” tandasnya.

Menurut Intan, berapa pun kebutuhan tenaga medis tidak akan cukup jika tidak dibarengi dengan penerapan physical distancing berskala besar dan edukasi ke masyarakat untuk bisa melakukan isolasi mandiri.

Sebisa mungkin semua kantor dan fasilitas umum ditutup kecuali kantor pelayanan dan distribusi bahan kebutuhan pokok. “Kalau semua betul-betul menaati, ini kan yang bisa menurunkan penularan atau bahkan ekstremnya menyetop, kalau setiap orang melaukan isolasi mandiri, ODP ataupun PDP, bicaranya kan isolasi, itu akan sangat membantu,” ujar politikus PAN ini.

Untuk itu, Intan mengajak masyarakat untuk melakukan isolasi mandiri sebelum terlambat. Bayangkan kalau sampai ada salah satu anggota keluarga masuk rumah sakit, tentu keluarga tidak bisa melakukan kontak sama sekali dan APD-nya harus lengkap, keluarga juga tidak bisa menanyakan progress secara berkala kepada dokter ataupun perawat seperti penyakit lain.

“Jadi tetap harus ada pemahaman isolasi mandiri dan jangan sampai lengah. Harus belajar dari negara lain, jangan sampai grafiknya seperti di Italia, yang masih punya kesempatan layak hidup itu yang diselamatkan. Jangan sampai kita seperti itu,” tuturnya.

Intan menambahkan, jika eskalasinya terus meningkat maka bisa berbahaya dan apa yang terjadi di Italia kemungkinan bisa terjadi. Karena, bukan sekadar tenaga medis, alat isolasi juga alat medis juga tidak teratasi. Karena beberapa rumah sakit sudah menutup ruang operasi dan kamar mayat untuk dijadikan ruang isolasi.

“Hindari rumah sakit, kecuali jika memang sudah gawat penyakitnya. Jangan sampai berbondong-bondong ke rumah sakit. Tapi kepanikan itu harus diatasi pemerintah supaya tidak menjadi ekstrem,” imbaunya.

“Sekarang mau enggak mau harus melibatkan aparat secara persuasif karena kita bukan lockdown atau kekarantinaan wilayah, bukan rakyat yang harus diberikan pemahaman, tapi pimpinan termasuk unit terkecil RT harus diberikan pemahaman bahwa ini penyakit. Jangan sampai rapid test tapi warganya dikumpulkan di GOR,” tandas Intan.
(dam)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4330 seconds (0.1#10.140)