Warna

Sabtu, 05 September 2020 - 07:35 WIB
loading...
Warna
Foto/dok
A A A
Abdul Hakim
Jurnalis KORAN SINDO

Warna sejatinya tercipta sekadar untuk pembeda. Namun, di masa pandemi seperti saat ini warna begitu mengandung beragam makna. Definisi dan tafsir makna pun makin luas, semua bergantung melihatnya dari perspektif apa.

Soal warna ini juga menjadi udo roso Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian. Sebagai petinggi negara dengan tugas mengurusi pemerintahan daerah langsung, Tito risau dengan ulah sejumlah kepala daerah yang seolah bermain-main soal warna zona Covid-19 . Bukan lantaran gubernur, wali kota, atau bupati itu didera buta warna. Mereka justru disinyalir menjadikan warna zona sebagai tunggangan atau semacam strategi politiknya.

Ada kepala daerah yang begitu lantang mengabarkan wilayahnya aman Covid-19 karena tergolong zona hijau. Aktivitas warga pun diubah senormal mungkin. Mal dibuka, sekolah jadi tatap muka, hingga objek wisata dan tempat hiburan kembali operasi seperti semula. Namun, setelah di-tracing, pengetesan (testing) rapid atau swab di wilayah tersebut sengaja diminimalkan. Alhasil, data-data riil tak terungkap. Zona hijau pun hakikatnya semu. Muaranya satu, agar sang kepala daerah tetap mendapat restu dan simpati warga. Image positif jelang pilkada pun terbangun. (Baca: memanas, Rusia Bakal Gelar Latihan di Laut Mediterania)

Pernyataan Tito ini tentu bukan sembarangan. Artinya, fenomena rekayasa warna seolah lumrah bagi kepala daerah yang ingin maju di pilkada. Mantan Kapolri ini tak menyebut daerah mana saja, namun jika tahun ini ada 270 gelaran pilkada dan 10% di antaranya melakukan strategi licik demikian, tentu berbahaya. Bahkan celaka yang lebih besar kian dekat di depan mata.

Di sisi lain, testing Covid-19 dalam skala luas menjadi pekerjaan rumah besar bagi bangsa ini. Merujuk data global Worldometers pada Jumat (4/9), angka rata-rata testing di Indonesia tergolong sangat rendah. Dengan jumlah penduduk mencapai 274 juta jiwa, saat ini Indonesia baru mampu testing per 1 juta jiwa sebanyak 8.500-an. Bandingkan dengan Inggris atau Italia yang penduduknya 60 jutaan, namun testing per 1 juta jiwa mencapai 150.000-260.000 orang.

Semakin lemah angka testing, maka hakikatnya semakin tinggi jumlah kasus semu yang tersembunyi di masyarakat. Data teranyar menunjukkan, dari 34 provinsi yang terdampak Covid-19, Satgas mencatat baru tiga, yakni DKI Jakarta, Yogyakarta, dan Kalimantan Selatan yang dianggap angka testing-nya sebanding dengan kasus riil. Ini tentu menggelikan sekaligus memprihatinkan. (Baca juga: Usai Diperika Oleh Dewan Pengawas KPK, Firli Bahuri Memilih Bungkam)

Begitu pentingnya warna zona bagi daerah itu, tak mengherankan belum lama ini sejumlah kabupaten/kota sampai bersitegang dengan provinsi karena data input Covid-19 selalu berbeda. Satu angka tentu tak bisa disepelekan karena tiap angka hakikatnya akan bertransformasi menjadi warna. Bagi kepala daerah, warna juga bagian dari citra.

Sebagai sebuah komunikasi penanda (sign) merujuk konsepsi semiotika Roland Barthes, sah-sah saja warna menjadi senjata di pilkada. Namun, dalam pilkada warna nyatanya bisa mengandung banyak makna.

Tak sekadar putih, hijau, merah, dan kuning sebagaimana diidentifikasi oleh Sir Issac Newton, Le Blon, hingga Sir David Brewter. Lebih miris lantaran ada kandidat kepala daerah tak memanfaatkan warna sebagai citra nyata atas kepribadian, kepemimpinan, dan prestasinya. Mereka layaknya anak TK, menjadikan warna sebagai sarana memoles lukisan abstraknya. (Lihat videonya: Pekerja Diduga Lalai, Dua Bangunan Ruko Roboh)

Sebagai pembeda, warna diciptakan untuk menjadi penerang karena secara fisika adalah pantulan dari cahaya dan penguat atas realitas. Namun, di sisi lain, bagi mereka yang sengaja memosisikan “buta warna”, warna diubah sekadar hiasan-hiasan. Warna itu bisa dipendarkan menjadi indah kapan pun sesuai selera.
(ysw)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.8079 seconds (0.1#10.140)