Vonis Banding Harvey Moeis Dinilai Tidak Tepat
loading...

Terdakwa Harvey Moeis mengikuti sidang lanjutan kasus dugaan korupsi tata niaga timah di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah tahun 2015-2022 di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (10/10/2024). FOTO/ARIF JULIANTO
A
A
A
JAKARTA - Pengadilan Tinggi (PT) Jakarta memperberat hukuman Harvey Moeis , terdakwa kasus korupsi tata kelola komoditas timah di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) di PT Timah Tbk 2015-2022. Majelis hakim menambah hukuman pidana Harvey Moeis dari 6,5 tahun menjadi 20 tahun penjara.
Selain itu, suami selebritas Sandra Dewi itu dikenai denda sebesar Rp1 miliar subsider 8 bulan kurungan dan wajib membayar uang pengganti Rp420 miliar subsider 10 tahun penjara.
Pakar Hukum Universitas Sahid, Saiful Anam menilai vonis Harvey Moeis tidak tepat. Vonis banding itu melanggar prinsip dasar hukum pidana, khususnya terkait kejelasan kerugian dan unsur tindak pidana yang dilakukan.
Menurut Saiful Anam, vonis 20 tahun penjara terhadap Harvey Moeis dinilai terlalu berat. Terlebih, kerugian yang dituduhkan masih bersifat potensial dan tidak riil.
"Jadi kerugian yang bersifat potensial tidak jelas berapa, jumlahnya pun tidak dapat ditentukan berapa, sehingga tidak adil jika yang bersangkutan dikenakan hukuman sampai dengan 20 tahun," katanya, Kamis (13/2/2025).
Ia menjelaskan, dalam hukum pidana terdapat prinsip Lex Scripta dan Lex Certa, yang mengharuskan rumusan delik pidana harus jelas dan tertulis. Saiful juga menegaskan bahwa pengadilan harus berimbang dalam mempertimbangkan kesalahan dan perbuatan yang dilakukan.
"Jangan sampai seseorang yang tidak melakukan tindak pidana dan tidak merugikan siapapun dipaksa untuk mempertanggungjawabkannya," tambahnya.
Menurutnya, Harvey Moeis seharusnya divonis bebas karena unsur-unsur tindak pidana tidak terpenuhi secara jelas.
"Jika tidak jelas nilai kerugiannya terlebih korporasi yang diduga menyebabkan kerusakan lingkungan masih berproses dalam persidangan, maka ada keadilan yang tidak dapat ditolerir. Mestinya Harvey Moeis dibebaskan dari segala tuntutan hukum," katanya.
Sementara itu, Penasihat Hukum Harvey Moeis, Junaedi Saibih menyayangkan putusan pengadilan yang dinilai tidak mempertimbangkan Ratio Legis (asas hukum) dan lebih mengedepankan Ratio Populis (kepentingan publik).
"Innalillahi wa inna ilaihi rajiun, telah wafat Rule of Law pada hari Kamis, 13 Februari 2025, setelah rilisnya bocoran putusan pengadilan tinggi," ujarnya dengan nada prihatin.
Junaedi berharap hukum dapat tegak kembali dan Ratio Legis tidak dikalahkan oleh Ratio Populis. "Akrobatik hukum atas penggunaan ketentuan hukum yang salah adalah pembangkangan atas legalitas," tegasnya.
Ia menerangkan, dalam kasus ini kliennya hanya berdiskusi terkait rencana bisnis PT Timah dengan swasta untuk meningkatkan produksi, dan hasilnya terbukti. "Terbukti produksi PT Timah meningkat dan perusahaan tersebut untung hingga Rp1 triliun," ujar Junaedi.
Selain itu, suami selebritas Sandra Dewi itu dikenai denda sebesar Rp1 miliar subsider 8 bulan kurungan dan wajib membayar uang pengganti Rp420 miliar subsider 10 tahun penjara.
Pakar Hukum Universitas Sahid, Saiful Anam menilai vonis Harvey Moeis tidak tepat. Vonis banding itu melanggar prinsip dasar hukum pidana, khususnya terkait kejelasan kerugian dan unsur tindak pidana yang dilakukan.
Menurut Saiful Anam, vonis 20 tahun penjara terhadap Harvey Moeis dinilai terlalu berat. Terlebih, kerugian yang dituduhkan masih bersifat potensial dan tidak riil.
"Jadi kerugian yang bersifat potensial tidak jelas berapa, jumlahnya pun tidak dapat ditentukan berapa, sehingga tidak adil jika yang bersangkutan dikenakan hukuman sampai dengan 20 tahun," katanya, Kamis (13/2/2025).
Ia menjelaskan, dalam hukum pidana terdapat prinsip Lex Scripta dan Lex Certa, yang mengharuskan rumusan delik pidana harus jelas dan tertulis. Saiful juga menegaskan bahwa pengadilan harus berimbang dalam mempertimbangkan kesalahan dan perbuatan yang dilakukan.
"Jangan sampai seseorang yang tidak melakukan tindak pidana dan tidak merugikan siapapun dipaksa untuk mempertanggungjawabkannya," tambahnya.
Menurutnya, Harvey Moeis seharusnya divonis bebas karena unsur-unsur tindak pidana tidak terpenuhi secara jelas.
"Jika tidak jelas nilai kerugiannya terlebih korporasi yang diduga menyebabkan kerusakan lingkungan masih berproses dalam persidangan, maka ada keadilan yang tidak dapat ditolerir. Mestinya Harvey Moeis dibebaskan dari segala tuntutan hukum," katanya.
Sementara itu, Penasihat Hukum Harvey Moeis, Junaedi Saibih menyayangkan putusan pengadilan yang dinilai tidak mempertimbangkan Ratio Legis (asas hukum) dan lebih mengedepankan Ratio Populis (kepentingan publik).
"Innalillahi wa inna ilaihi rajiun, telah wafat Rule of Law pada hari Kamis, 13 Februari 2025, setelah rilisnya bocoran putusan pengadilan tinggi," ujarnya dengan nada prihatin.
Junaedi berharap hukum dapat tegak kembali dan Ratio Legis tidak dikalahkan oleh Ratio Populis. "Akrobatik hukum atas penggunaan ketentuan hukum yang salah adalah pembangkangan atas legalitas," tegasnya.
Ia menerangkan, dalam kasus ini kliennya hanya berdiskusi terkait rencana bisnis PT Timah dengan swasta untuk meningkatkan produksi, dan hasilnya terbukti. "Terbukti produksi PT Timah meningkat dan perusahaan tersebut untung hingga Rp1 triliun," ujar Junaedi.
(abd)
Lihat Juga :