Jangan Kubur Mimpi Kita untuk Jadi Negara Maju

Kamis, 03 September 2020 - 06:43 WIB
loading...
Jangan Kubur Mimpi Kita untuk Jadi Negara Maju
Jony Oktavian Haryanto
A A A
Jony Haryanto
Guru Besar Manajemen Pemasaran, President University

BADAN Pusat Statistik merilis data bahwa kuartal II, ekonomi kita minus 5,32% year on year lebih rendah dari perkiraan sebelumnya yang minus 3,8%. Melihat data tersebut, menjadi penting untuk memikirkan bagaimana mengatasi ancaman resesi sekaligus menciptakan peta jalan menuju GDP USD7 triliun pada 2045.

Indonesia memerlukan terobosan dengan memberlakukan dua sistem perekonomian sekaligus. Pertama, ekonomi terpusat melalui BUMN. Kedua, free market ekonomi melalui dijadikannya semua kawasan industri menjadi 100 kawasan ekonomi khusus (KEK) yang dinaikkan kelasnya menjadi badanotorita sesuai UU Nomor 18 B yang mengizinkan presiden menunjuk satu daerah menjadi daerah otorita dengan persetujuan DPR. Untuk itu, seluruh badan otorita dikoordinasikan oleh kantor staf presiden yang bertanggung jawab langsung ke Presiden.

Kita, Indonesia, bermimpi pada 2045 akan menjadi negara ke-5 terbesar di dunia. Pada saat itu PDB Indonesia akan mencapai USD7 triliun dan tingkat kemiskinan 0%. Indonesia yang kita impikan bersama itu sudah berhasil naik kelas dari negara berpendapatan menengah menjadi negara maju.

Untuk sampai ke sana jelas tidak mudah. Syaratnya berat, yakni setiap tahun pertumbuhan ekonomi Indonesia harus mencapai rata-rata 9%. Kini, pertumbuhan ekonomi Indonesia rata-rata 5% baru mencapai. Ditambah dengan adanya pandemi Covid-19 yang membuat dunia berada dalam jurang resesi, haruskah kita mengubur dalam-dalam mimpi untuk menjadi salah satu negara kaya di dunia?

Jangan. Ada banyak jalan menuju Roma, kata Shakespeare. Jadi, jangan menyerah dulu. Gunakan segala cara. Bahkan, pandemi Covid-19 pun bisa kita gunakan sebagai cara, sebagai momentum, guna mewujudkan mimpi besar Indonesia Maju tadi. Bagaimana caranya?

Pertama, kita perlu sama-sama menyadari bahwa mimpi itu bukan hanya mimpi Presiden Joko Widodo. Bukan hanya mimpinya pemerintah. Mimpi itu harus menjadi mimpi bersama dari seluruh anak bangsa Indonesia. Baik mereka yang berada di Indonesia maupun di mancanegara.

Warga negara Indonesia yang berada di luar negeri pun harus ikut bertanggung jawab, bekerja keras, untuk mewujudkan mimpi tersebut. Caranya? Misalnya, dengan membuka akses pasar bagi produk-produk Indonesia, menguasai teknologi, dan lain sebagainya.

Kedua, kita tentu membutuhkan rencana. Kita perlu menyiapkan master plan dan berbagi tanggung jawab. Sangat tidak mungkin menyerahkan semua tanggung jawab untuk mewujudkan mimpi itu ke pundak pemerintah.

Indonesia tidak menganut ekonomi pasar bebas. Dalam banyak hal, pemerintah ikut terlibat dalam perekonomian, baik melalui mekanisme kebijakan maupun bisnis. Mekanisme kebijakan ditempuh dengan mengeluarkan berbagai regulasi, seperti UU, Keputusan Presiden, Peraturan Pemerintah, Keputusan Menteri, dan lainnya. Sementara mekanisme bisnis dilakukan dengan melibatkan Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Sebagai perpanjangan tangan negara, tugas BUMN adalah mewujudkan kesejahteraan melalui produk-produknya, seperti tenaga listrik, penyediaan air bersih, jalan-jalan raya dan jalan tol, termasuk layanan dasar seperti kesehatan dan pendidikan. Itu adalah tugas BUMN. Dan, itu pulalah yang dilakukan BUMN-BUMN kita selama ini dengan membangun jalan-jalan dan pelabuhan di berbagai daerah di seluruh Indonesia.

Namun, untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang 9% per tahun, mengandalkan BUMN saja tentu tidak cukup. Swasta harus terlibat untuk menangani bisnis-bisnis yang berkarakter free market . Urusan seperti ini sebaiknya tidak diserahkan ke BUMN, sebab bisa kalah bersaing. Contohnya, Sarinah terbukti kalah bersaing dengan department store swasta lainnya.

Lalu, bagaimana kita memanfaatkan momentum pandemi ini untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi? Atau setidak-tidaknya untuk mengeluarkan Indonesia dari bayang-bayang resesi ekonomi dunia? Momentum itu ada di luar dan di dalam.

Pentingnya Pemimpin
Selama hampir 40 tahun dunia dibuat terkagum-kagum oleh China. Pertumbuhan ekonomi negara itu rata-rata mencapai lebih dari 8% per tahun. Jika 40 tahun silam PDB China hanya 2% terhadap PDB dunia, kini sudah menjadi lebih dari 16%. China resmi bergabung dengan WTO pada 2001. Ketika itu volume perdagangan komoditas China baru 4% dari total perdagangan global. Kini, angka itu sudah meningkat lebih dari tiga kali lipatnya. Kontribusi China terhadap perekonomian dunia juga sudah menjadi 30%. Hanya kalah dari AS yang mencapai 40%.

Salah satu sukses China adalah keberhasilannya menjadi pusat supply chain industri manufaktur global. Banyak perusahaan multinasional dunia yang mengandalkan pasokan bahan bakunya dari China. Sebagai contoh, industri farmasi di AS mengandalkan 60% pasokan bahan bakunya dari China dan 30% dari India.

Namun, pandemi Covid-19 membuat pasokan bahan baku farmasi terhenti. Akibatnya, banyak pabrik obat di AS dan dunia, yang terancam berhenti berproduksi karena kelangkaan bahan baku.

Lebih dari itu, banyak perusahaan manufaktur global yang mulai sadar bahwa ketergantungan yang terlalu tinggi pada satu sumber pasokan ternyata membahayakan kelangsungan bisnis mereka. Maka, mereka harus mulai mengurangi ketergantungannya pada China. Bahkan tak berhenti sampai di situ. Sebagian perusahaan dari AS dan Jepang berencana merelokasi pabriknya dari China. PM Shinzo Abe sudah menawarkan bantuan setara USD2 miliar bagi pabrik-pabrik Jepang yang ingin kembali ke negaranya dan USD0,2 miliar bagi yang ingin merelokasi ke luar Jepang.

Momentum dari luar semacam ini tentu harus kita manfaatkan. Dan, kita perlu bergerak cepat karena momentum seperti ini tidak akan berlangsung sepanjang tahun. Di sinilah kita perlu hal yang ketiga, yakni kepemimpinan. Di sini kepemimpinan yang diperlukan adalah sosok yang bisa melakukan mobilisasi seluruh sumber daya di dalam dan luar negeri, mempunyai kemampuan salesmanship agar perusahaan-perusahaan yang ingin merelokasi pabriknya dari China tertarik untuk masuk ke Indonesia.

Siapa sosok pemimpin yang mampu melakukan hal itu? Ada beberapa kriteria. Di antaranya, dia mesti sosok yang mempunyai visi bisnis, berani, mampu bekerja cepat dan tegas. Pemimpin ini juga perlu ditunjuk, diberi kewenangan dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden sehingga mudah melakukan koordinasi dengan berbagai kementerian dan lembaga, serta para pemimpin daerah.

Keempat, pemimpin ini perlu memimpin sebuah badan khusus yang juga dibentuk dan bertanggung jawab kepada Presiden. Badan ini perlu diberi kewenangan untuk merancang regulasi yang terkait dengan kebutuhan untuk menarik perusahaan-perusahaan agar mau merelokasi pabrik-pabriknya dari China.

Regulasi semacam apa? Bayangkanlah pusat-pusat perbelanjaan yang ada di kawasan perkotaan di Indonesia. Begitu suatu perusahaan diberi izin untuk mendirikan dan mengelola sebuah pusat perbelanjaan, kepadanya diberi kewenangan penuh untuk menata pusat perbelanjaannya sedemikian rupa agar tenant dan konsumen mau datang. Oleh karena persaingan bisnis yang sangat ketat, masing-masing pusat belanja akan menata diri sedemikian rupa agar terlihat cantik dan atraktif.

Untuk menarik pabrik-pabrik dari China, kita sebetulnya sudah punya "pusat perbelanjaannya", yakni berupa kawasan-kawasan industri, termasuk pula kawasan ekonomi khusus (KEK), yang tersebar di seluruh Indonesia. Agar mampu menarik investor, kelak badan khusus ini perlu memberi kewenangan dan keleluasaan untuk menata dirinya sedemikian rupa. Ini penting, sebab kawasan industri atau KEK, yang berada di bawah pengelolaan badan ini, harus mampu bersaing dengan kawasan-kawasan industri lainnya yang ada di Asia Tenggara dan bahkan Asia. Kawasan-kawasan itu juga melakukan berbagai upaya agar menjadi pilihan sebagai tempat relokasi.

Dan, untuk mendapatkan model pengelolaan kawasan yang baik, kita tak perlu melakukan kajian atau studi banding sampai ke luar negeri. Di dalam negeri sudah ada contohnya. Misalnya, kawasan industri Cikarang di Kabupaten Bekasi, Jawa Barat. Di kawasan ini pengembangnya diberi kewenangan untuk membangun pembangkit tenaga listrik, menyediakan fasilitas pelabuhan kering (dry port), membangun jalan dan akses kereta, menyediakan air bersih dan pengelolaan air limbah, serta menyalurkan gas industri.

Selain itu, layanan investor di kawasan itu juga bersifat one stop service. Jadi, investor yang tertarik untuk membangun pabrik cukup datang ke pengembang. Segala urusan perizinan yang terkait dengan pembangunan pabrik selesai sampai di sana. Investor tak perlu datang ke kantor kelurahan, kecamatan, kabupaten, provinsi, dan bahkan Ibu Kota hanya untuk mengurus perizinan.

Di layanan yang bersifat one stop service ini pulalah investor bisa mendapatkan informasi tentang sumber daya yang ada di daerah. Baik itu yang menyangkut sumber daya alam maupun sumber daya manusianya. Jadi, investor betul-betul dipermudah. Hal-hal semacam itulah yang diperlukan jika kita ingin menarik investor agar mau merelokasi pabriknya dari China.

Kini, momentum yang muncul sebagai dampak pandemi Covid-19, itu ada di depan mata. Kita tak boleh membiarkannya berlalu begitu saja. Peluang itu harus direbut, sehingga pandemi Covid-19 tidak membuat mimpi-mimpi besar kita untuk menjadi negara maju terkubur begitu saja.
(ras)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.0785 seconds (0.1#10.140)