Transparansi dan Akuntabilitas Pemberian Amnesti Massal Bukan Hanya soal Publikasi Data
loading...
A
A
A
JAKARTA - Peneliti Institute for Criminal Justice Reform ( ICJR ) Girlie L.A. Ginting merespons Menteri Hukum Supratman Andi Agtas yang berjanji membuka data 44.000 narapidana yang hendak diberikan amnesti. Kementerian Hukum sedang menanti finalisasi data dari Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan selaku pihak yang bertugas melakukan asesmen terhadap narapidana.
Girlie mengatakan, menurut Menteri Hukum hal ini bertujuan agar terdapat kontrol publik untuk melihat siapa saja yang akan menerima amnesti. Setelah data didistribusikan oleh Kementerian Imigrasi, maka Kementerian Hukum akan meneliti untuk kemudian diserahkan kepada presiden.
Dia menuturkan, pemberian amnesti nantinya akan ditujukan terhadap para terpidana makar tidak bersenjata di Papua, penghinaan terhadap kepala negara melalui UU ITE, warga binaan pengidap sakit berkepanjangan seperti gangguan kejiwaan maupun HIV-AIDS, dan pengguna narkotika yang seharusnya menjalani rehabilitasi.
“Dalam rilis sebelumnya terkait amnesti 44.000 narapidana, pada dasarnya ICJR sepakat terhadap kebijakan yang dilakukan atas dasar kemanusiaan dan hak asasi manusia. Namun terhadap proses pemberian amnesti 44.000 narapidana, ICJR memiliki sejumlah catatan soal transparansi dan akuntabilitas proses ini,” kata Girlie dalam keterangan tertulisnya, Rabu (8/1/2025).
Pertama, kata dia, pemerintah seharusnya tidak hanya fokus pada soal kepentingan untuk mempublikasi data Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) yang akan diberikan amnesti, tetapi juga perlu memperhatikan lebih besar pada legitimasi pemberian amnesti ini. Menurut dia, perlu ada kebijakan dasar amnesti agar terdapat pertimbangan yang adil bagi potensial 44.000 terpidana yang akan diberikan amnesti.
“Kami memahami bahwa pemerintah akan beragumen bahwa amnesti bagian dari hak presiden, namun kami mengingatkan bahwa dasar amnesti diberikan karena kelebihan penghuni lapas yang terjadi bertahun,” tuturnya.
Terhadap hal ini, lanjut dia, pemerintah harus berfokus pada WBP yang sedari awal tidak layak dipenjara karena kerangka hukum yang bermasalah. Dia melanjutkan, untuk menjamin bahwa amnesti ini benar dilakukan pada WBP tersebut, maka harus ada dasar aturan kepada siapa amnesti tersebut diberlakukan.
“Kebijakan ini harus dikeluarkan, setidaknya dalam peraturan menteri untuk menjamin standardisasi pelaksanaan penilaian dan pemberian amnesti, sampai dengan diusulkan ke presiden dan dipertimbangkan oleh DPR,” ujarnya.
Dia menilai tanpa adanya kebijakan yang mengatur mengenai mekanisme pemberian amnesti, maka akan ada ketidakjelasan mekanisme uji ataupun komplain yang dapat ditempuh jika ada pelanggaran dalam pelaksanaan penilaian dan pemberiaan amnesti tersebut.
Baca Juga: Presidential Threshold Dihapus, Capres Tunggal Pupus
Kedua, lanjut dia, mengenai data pribadi, data penerima amnesti yang akan dipublikasikan oleh Kementerian Hukum harus memperhatikan perlindungan data pribadi di mana para WBP pun memiliki hak privasi yang tidak sepenuhnya dapat diketahui oleh khalayak umum.
“Pun yang kami minta soal transparansi adalah adanya aturan yang dapat diakses publik, proses penilaian yang ada aturan standarnya, serta mekanisme uji/komplain yang tersedia, bukan informasi pribadi WBP,” imbuhnya.
Untuk juga mendorong konsistennya sikap pemerintah terkait amnesti ini, ICJR mendorong komitmen pemerintah untuk menghapuskan kerangka hukum yang tidak sejalan dengan upaya penghindaran overkriminalisasi dan penggunaan penjara secara eksesif.
Dia berpendapat, respons perubahan legislasi tersebut dengan dekriminalisasi pengguna narkotika untuk kepentingan pribadi dalam Revisi UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Pengguna narkotika dalam jumlah tertentu direspons dengan intervensi kesehatan oleh lembaga kesehatan, bukan dengan rehabilitasi berbasis hukuman.
Selain itu, lanjut dia, pemerintah juga akan memberikan amnesti pada terpidana penghinaan presiden, maka kriminalisasi penghinaan presiden harus juga dihapuskan dalam UU Nomor 1/2023 tentang KUHP yang baru.
“Yang perlu ditekankan bahwa hal ini harus menjadi komitmen pemerintah untuk menghentikan ketergantungan dengan pemenjaraan. Pemerintah harus melakukan penguatan terhadap persiapan implementasi KUHP Baru yang mendorong respons non penjara melalui pidana pengawasan, pidana kerja sosial, dan pidana denda,” pungkasnya.
Girlie mengatakan, menurut Menteri Hukum hal ini bertujuan agar terdapat kontrol publik untuk melihat siapa saja yang akan menerima amnesti. Setelah data didistribusikan oleh Kementerian Imigrasi, maka Kementerian Hukum akan meneliti untuk kemudian diserahkan kepada presiden.
Dia menuturkan, pemberian amnesti nantinya akan ditujukan terhadap para terpidana makar tidak bersenjata di Papua, penghinaan terhadap kepala negara melalui UU ITE, warga binaan pengidap sakit berkepanjangan seperti gangguan kejiwaan maupun HIV-AIDS, dan pengguna narkotika yang seharusnya menjalani rehabilitasi.
“Dalam rilis sebelumnya terkait amnesti 44.000 narapidana, pada dasarnya ICJR sepakat terhadap kebijakan yang dilakukan atas dasar kemanusiaan dan hak asasi manusia. Namun terhadap proses pemberian amnesti 44.000 narapidana, ICJR memiliki sejumlah catatan soal transparansi dan akuntabilitas proses ini,” kata Girlie dalam keterangan tertulisnya, Rabu (8/1/2025).
Pertama, kata dia, pemerintah seharusnya tidak hanya fokus pada soal kepentingan untuk mempublikasi data Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) yang akan diberikan amnesti, tetapi juga perlu memperhatikan lebih besar pada legitimasi pemberian amnesti ini. Menurut dia, perlu ada kebijakan dasar amnesti agar terdapat pertimbangan yang adil bagi potensial 44.000 terpidana yang akan diberikan amnesti.
“Kami memahami bahwa pemerintah akan beragumen bahwa amnesti bagian dari hak presiden, namun kami mengingatkan bahwa dasar amnesti diberikan karena kelebihan penghuni lapas yang terjadi bertahun,” tuturnya.
Terhadap hal ini, lanjut dia, pemerintah harus berfokus pada WBP yang sedari awal tidak layak dipenjara karena kerangka hukum yang bermasalah. Dia melanjutkan, untuk menjamin bahwa amnesti ini benar dilakukan pada WBP tersebut, maka harus ada dasar aturan kepada siapa amnesti tersebut diberlakukan.
“Kebijakan ini harus dikeluarkan, setidaknya dalam peraturan menteri untuk menjamin standardisasi pelaksanaan penilaian dan pemberian amnesti, sampai dengan diusulkan ke presiden dan dipertimbangkan oleh DPR,” ujarnya.
Dia menilai tanpa adanya kebijakan yang mengatur mengenai mekanisme pemberian amnesti, maka akan ada ketidakjelasan mekanisme uji ataupun komplain yang dapat ditempuh jika ada pelanggaran dalam pelaksanaan penilaian dan pemberiaan amnesti tersebut.
Baca Juga: Presidential Threshold Dihapus, Capres Tunggal Pupus
Kedua, lanjut dia, mengenai data pribadi, data penerima amnesti yang akan dipublikasikan oleh Kementerian Hukum harus memperhatikan perlindungan data pribadi di mana para WBP pun memiliki hak privasi yang tidak sepenuhnya dapat diketahui oleh khalayak umum.
“Pun yang kami minta soal transparansi adalah adanya aturan yang dapat diakses publik, proses penilaian yang ada aturan standarnya, serta mekanisme uji/komplain yang tersedia, bukan informasi pribadi WBP,” imbuhnya.
Untuk juga mendorong konsistennya sikap pemerintah terkait amnesti ini, ICJR mendorong komitmen pemerintah untuk menghapuskan kerangka hukum yang tidak sejalan dengan upaya penghindaran overkriminalisasi dan penggunaan penjara secara eksesif.
Dia berpendapat, respons perubahan legislasi tersebut dengan dekriminalisasi pengguna narkotika untuk kepentingan pribadi dalam Revisi UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Pengguna narkotika dalam jumlah tertentu direspons dengan intervensi kesehatan oleh lembaga kesehatan, bukan dengan rehabilitasi berbasis hukuman.
Selain itu, lanjut dia, pemerintah juga akan memberikan amnesti pada terpidana penghinaan presiden, maka kriminalisasi penghinaan presiden harus juga dihapuskan dalam UU Nomor 1/2023 tentang KUHP yang baru.
“Yang perlu ditekankan bahwa hal ini harus menjadi komitmen pemerintah untuk menghentikan ketergantungan dengan pemenjaraan. Pemerintah harus melakukan penguatan terhadap persiapan implementasi KUHP Baru yang mendorong respons non penjara melalui pidana pengawasan, pidana kerja sosial, dan pidana denda,” pungkasnya.
(rca)