Fraksi PKS DPR Desak Kejagung dan BPK Sita Duit Judi Oline Rp187,2 Triliun

Selasa, 24 Desember 2024 - 11:17 WIB
loading...
Fraksi PKS DPR Desak...
Anggota Komisi III DPR Habib Aboe Bakar Al-Habsyi mendesak Kejagung dan BPK menyita duit judi online senilai Rp187,2 triliun. Foto/istimewa
A A A
JAKARTA - Fraksi PKS DPR mendesak Kejaksaan Agung (Kejagung) bersama Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) segera mengambil langkah tegas menyita serta melacak aliran dana judi online (judol) senilai Rp187,2 triliun yang diduga dinikmati perbankan, e-wallet, dan operator seluler. Hal itu berkaca dari kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang menyisakan banyak persoalan hingga kini.

Anggota Komisi III DPR Habib Aboe Bakar Al-Habsyi menilai kasus seperti BLBI menjadi pelajaran penting agar penanganan aliran dana judol di lembaga keuangan dan non bank dilakukan lebih cepat dan akuntabel.

Politikus PKS ini pun mendorong Presiden Prabowo memerintahkan Kejagung dan BPK segera menyita duit judol yang dinikmati perbankan,e-wallet, serta operator seluler.



"Penyitaan duit judol di perbankan, e-wallet dan operator seluler oleh Kejagung bekerja sama dengan BPK di luar pengadilan adalah solusi yang cepat dan tepat," ujarnya di Jakarta, Selasa (24/12/2024).

Sekjen PKS ini mengatakan penyitaan duit judol bakal memberikan efek jera kepada lembaga penyelenggara sistem pembayaran baik perbankan, e-wallet, dan operator seluler yang terkoneksi dengan merchant judi online.



Pelakunya, katanya, terancam pidana penjara hingga 6 tahun dan denda maksimal Rp1 miliar berdasarkan UU ITE Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 45 ayat (2). Selain itu, Pasal 303 KUHP juga mengatur hukuman hingga 10 tahun penjara atau denda Rp25 juta bagi pelaku perjudian.

Dijelaskan, bank, e-wallet, dan operator seluler dapat kehilangan dana hasil judol yang dianggap sebagai hak pemerintah dan pendapatan dari aktivitas ilegal ini akan disita. Reputasi dan operasional perusahaan bakal terancam.

"Jadi judol merupakan wabah yang sangat serius yang telah menyebabkan risiko sistemik di sistem pembayaran kita. Di sisi lain, ada yang menikmati dari tiap rupiah transaksi judol. Yakni perbankan, e-wallet, operator seluler dan lembaga non bank lainnya," jelasnya.

Sementara, Presiden Center for Banking Crisis (CBC), Achmad Deni Daruri menyayangkan melemahnya pengawasan Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Akibatnya, judol dimanfaatkan perbankan dan lembaga keuangan non-bank mengeruk cuan. Padahal, praktik judol dilarang negara.

Meluasnya sistem pembayaran judol lewat bank, e-wallet, dan operator seluler, bukti lemahnya pengawasan perbankan melalui OJK dan pengawasan sistem pembayaran oleh BI.

Mudahnya koneksi pembayaran melalui Gerbang Pembayaran Nasional (GPN), kata Deni, Application Programming Interface (API) dari perbankan, e-wallet ke penyedia system pembayaran (PJP), berdampak kepada melemahnya Elecronic Know Your Costumer (E-KYC), dan Electronic Know Your Business (E-KYB).

Dalam hal ini, perbankan dan e-wallet pura-pura tidak tahu adanya koneksi dalam sistem pembayaran merchant judol. Di mana, PJP yang mendapat izin operasi dari BI sesuai dengan PBI No.22/23/PBI/2020 dan juga PJP yang mendapat izin PSE (Penyelenggara Sistem Elektronik) lewat PP No 71/2019 dari Menkodigi akhirnya berevolusi menjadi media transaksi pembayaran dan merchant judol. "Inilah yang menyebabkan maraknya judol semakin berkembang pesat," ucapnya.

Dia melanjutkan baik perbankan, e-wallet, maupun operator seluler adalah media yang digunakan untuk melakukan pembayaran judol secara digital. Ketiga lembaga itu meraup keuntungan atau cuan berupa Fee based income (pendapatan) yang cukup jumbo.

Berdasarkan catatan CBC, sejak 2017 hingga 2024, terjadi transaksi judol lewat perbankan, e-wallet, dan operator seluler sebesar Rp1.416 triliun. Kemudian sistem pembayaran yang membantu judol , di mana, perbankan mendapat Rp3.000 per transaksi, e-wallet Rp1.500 per transaksi dan operator seluler di kisaran Rp2.500-Rp5.000 per top up.

Sehingga, pendapatan perbankan, e-wallet dan operator seluler dari praktik judol selama 8 tahun (2017-2024) sebesar fee based income perbankan Rp70,5 triliun, e-wallet Rp11,5 triliun, operator seluler Rp4,2 triliun. Sedangkan nilai transaksi yang diblokir PPATK sebesar Rp101 triliun.

"Jumlah pendapatan bank, e-wallet dan operator seluler dari judol dalam 8 tahun, sebesar Rp86,2 triliun dan yang diblokir Rp101 triliun dapat diambil oleh BPK bekerja sama dengan Kejagung dengan cara dicicil selama setahun," ungkapnya.

Jika besarnya pengembalian tidak sesuai dengan angka sebenarnya, kata dia, BPK dapat melakukan investigasi audit, IT audit, di mana biaya audit ditanggung lembaga yang bersangkutan.

(cip)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1277 seconds (0.1#10.140)