Cerita Perang Fakland Pengantar ke Pulau Pisang (12)

Minggu, 26 Januari 2020 - 06:32 WIB
Cerita Perang Fakland Pengantar ke Pulau Pisang (12)
Cerita Perang Fakland Pengantar ke Pulau Pisang (12)
A A A
Habiba menahan pusing alang kepalang dan mual, tanda mabuk laut. Tak lama berselang dia naik ke geladak dan terduduk di pinggir pagar pembatas untuk memuntahkan makan siangnya barusan, yakni falafel. “Uhhhk Habiba ‘memberi makan ikan’,” seru Philip kepada Maran.

Maran segera memberi obat anti mabuk. Tapi terlambat. Apapun yang ditelan Habiba tak bertahan lama di perutnya. Pusat keseimbangan otaknya sudah kacau sehingga hanya bisa berbaring dan muntah. ”Jangan makan dengan porsi biasa, tapi makan sedikit demi sedikit untuk menjinakkan asam lambung mu,” saran Sudirman.

Lagi-lagi saran itu hanya enak didengar, tapi penderitaan mabuk laut yang dirasakan General Manager Total untuk Tunisia ini, makin tak terbendung. Padahal, keinginan wanita ini untuk mengikuti ekspedisi ini dari Gammarth, Chartage sangat besar. Pada hari keberangkatan dari Gammarth, ia bahkan diantar oleh ibu, tante dan keluarga besarnya, serta lengkap dengan membawa lukisan satu meter.

Sayangnya, pihak imigrasi menahan Habiba, karena tujuan keberangkatan kami saat itu ke Gibraltar. Sementara ia tidak memiliki visa Uni Eropa. Padahal, sudah ada perjanjian setiap warga Tunisia ke Eropa harus memiliki visa terlebih dahulu, walaupun menggunakan kapal layar pesiar atau yatch.

Selama menunggu kapal Phoenicia sampai di Essouira, Habiba mengurus visa Amerika Serikat, sebagai tujuan akhir ekspedisi ini. “Habiba… baru pertama kali belayar dan tidak bisa berenang juga,” ujar seorang anggota Club Didon, sebuah organisasi pelestarian kebudayaan Chartagian, saat mengantar Habiba bergabung dengan kru Phoenicia.

Selain itu, Habiba juga tidak bisa berbahasa Inggris, tapi bisa bahasa Arab dan Perancis. Hal itu tentunya membuat susah berkomunikasi dengan benar. Beruntung Maran bisa berbahasa Perancis, sehingga jadilah Maran teman berbincang Habiba. Sementara kru yang lain, harus pandai-pandai berbahasa Tarzan dengan Habiba, agar membuat dia nyaman dan bisa mengurangi sedikit penderitaan mabuk lautnya.

Kembali ke cerita mabuk laut Habiba, rupanya Dirman juga memberi memberi ‘resep’ mengurangi gejala mabuk laut dengan selendang yang dikenakan Habiba. “Ikat perut mu kencang-kencang dengan selendang mu,” pinta Dirman. Pelaut tradisional asal Indonesia ini juga menghibur Habiba dengan menyanyikan “Canary.. Canary..Canary Tomorrow Canary,” lantun Dirman mengibur.

Berbeda dengan kondisi, Habiba, David yang sudah sepuh justru tak mau diam. Walau sudah pensiun lama dan berkepala enam, tapi dia terus hilir mudik dari haluan ke buritan untuk sekadar memberitahu sewaktu-waktu ada kapal lain di haluan. “Perhatikan… satu kapal di haluan kanan dan dua kapal di haluan kiri…,” teriak dia.

Bahkan sehabis makan, walau belum pergantian jam jaga, David sudah bersedia memegang kemudi untuk memberi kesempatan temannya menikmati hidangan. “Kapan kita belayar, sudah satu harian kita hanya menggunakan mesin,” umpat David.

“Setelah kita menjauh 70 NM arah barat dari daratan Maroko, tunggu angin dari timur laut,” balas Philip. Sayangnya, hingga hari kedua angin timur laut tidak kunjung datang. Padahal, Sudirman telah menyarankan untuk menggunakan layar sejak hari pertama. Tapi Philip khawatir kapalnya akan hanyut ke Selatan melewati timur pulau Tenerife.

Tepat hari ketiga, kami menaikkan layar dan suasana hening tanpa gangguan mesin pemekat telingga. Saat itu, mendengarkan cerita David saat dia bertugas di perang Fakland, menjadi sangat menarik. ”Kami terampung-ampung di laut selama lima hari setelah terkena exocet Argentina. Selama itu, kami hanya minum seteguk air setiap empat jam, dan biskuit survival dari rakit penyelamat. Yang lucunya, makanan pertama kami adalah kornet yang berasal dari kapal perang Argentina, yang terkena terpedo kapal Fregat kami lainnya,” kenang dia.

Cerita David yang rajin membagi pengalamannya kepada kami semua, tak terasa sudah lima hari di laut. Dan pada hari keenam, tepatnya dini hari, Kamis 6 November 2019, kami sudah berada di depan Marina San Miquel, Tenerife. Pagi harinya, puncak gunung Del Tiede setinggi 3.718 meter di atas permukaan laut (MDPL) terlihat jelas. Calderanya disepuh oleh awan tipis.

Selain puncak gunung tersebut, terlihat kelompok pemukiman menyebar seantero pulau, dan di tengahnya ada semacam kubah plastik dalam ukuran besar hingga5 kilometer persegi. Setelah ditanya kanan kiri, ternyata kubah plastik itu merupakan perkebunan pisang. ”Selamat datang di pulau pisang,”ujar penjaga Cafetaria Marina San Miquel Tenerife.
(kri)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.9133 seconds (0.1#10.140)