Polemik PPN 12%, Legislator Gerindra: PDIP Sedang Memainkan Wacana Politik Kemunafikan
loading...
A
A
A
“Alasannya pada setiap prosesnya RUU tersebut bisa dihadirkan melalui usulan DPR (PDI Perjuangan) yang didukung oleh fraksi-fraksi partai koalisi pemerintah atau bisa pula dimunculkan lewat usulan pemerintah,” jelasnya.
Sugiat membeberkan kembali risalah lahirnya UU HPP didasarkan pada Surat Keputusan Pimpinan DPR RI Nomor PW/08529/DPR RI/VI/2021 tanggal 22 Juni 2021 yang memutuskan pembahasan RUU dilakukan bersama Komisi XI bersama pemerintah.
“Kala itu sidang pertama diputuskan dimulai tanggal 28 Juni 2021 dengan rapat kerja bersama Menteri Keuangan, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly yang juga kader PDIP dengan agenda pembentukan Panja RUU dengan terpilihnya Dolfie Othniel menjadi ketua Panja RUU HPP,” ungkapnya.
Dia mengatakan, pada kesempatan yang sama PDIP memberikan pandangannya dengan argumentasi bahwa pembahasan RUU HPP didasari oleh kesadarakan akan pentingnya penguatan sistem perpajakan agar adil, sehat, efektif, dan akuntabel agar APBN semakin mandiri dan bertahan di tengah kondisi yang tidak pasti.
“Pada konteks ketidakpastian ini tentu berkaitan dengan kondisi ekonomi Indonesia yang kurang baik dan pertumbuhan ekonomi yang negatif sebagai dampak dari Pandemi Covid-19 yang banyak memukul ekonomi banyak negara di dunia termasuk Indonesia,” ungkapnya.
Adapun pandangan mini Fraksi Partai Gerindra di DPR waktu itu, kata dia, menegaskan bahwa RUU HPP yang akan dibahas harus memperhatikan kepentingan masyarakat bawah dan pelaku UMKM sebagai basis penguatan ekonomi kerakyatan.
Alasannya, lanjut dia, tentu berkaitan dengan upaya peningkatan penerimaan pajak tidak boleh mengorbankan ekonomi rakyat kecil, namun mengedepankan pengungkapan sukarela wajib pajak mampu memfasilitasi para wajib pajak yang memiliki iktikad baik untuk patuh dan terintegrasi dalam sistem perpajakan berbasis mutual trust, sehingga berdampak signifikan terhadap penerimaan perpajakan yang berkelanjutan.
Lebih lanjut dia mengatakan, pada perjalanan pengesahan RUU HPP yang diinisasi oleh PDIP tersebut didukung oleh hampir semua fraksi di DPR (di luar PKS) serta menyatakan persetujuan terhadap pengesahan menjadi undang-undang.
Bahkan, ujar dia, di saat pengesahan pada rapat paripurna pengambilan keputusan Ketua Panja Dolfie Othniel memberikan pidato penegasan bahwa bahwa undang-undang ini terdiri dari 9 Bab dan 19 Pasal yang mengatur secara komprehensif terkait Pajak Penghasilan (PPh) dan ketentuan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 11 persen di 2022 dan 12 persen di 2025.
Lebih lanjut, pengesahaan RUU HPP menjadi UU HPP yang disahkan pada 29 Oktober 2021. “Merujuk pada seluruh rangkaian atas pra-kondisi kebijakan kenaikan PPN 12 persen yang didasarkan pada UU HPP penting dipahami bahwa saat ini PDIP sedang memainkan wacana politik kemunafikan,” tegasnya.
Risalah Sidang RUU HPP
Sugiat membeberkan kembali risalah lahirnya UU HPP didasarkan pada Surat Keputusan Pimpinan DPR RI Nomor PW/08529/DPR RI/VI/2021 tanggal 22 Juni 2021 yang memutuskan pembahasan RUU dilakukan bersama Komisi XI bersama pemerintah.
“Kala itu sidang pertama diputuskan dimulai tanggal 28 Juni 2021 dengan rapat kerja bersama Menteri Keuangan, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly yang juga kader PDIP dengan agenda pembentukan Panja RUU dengan terpilihnya Dolfie Othniel menjadi ketua Panja RUU HPP,” ungkapnya.
Dia mengatakan, pada kesempatan yang sama PDIP memberikan pandangannya dengan argumentasi bahwa pembahasan RUU HPP didasari oleh kesadarakan akan pentingnya penguatan sistem perpajakan agar adil, sehat, efektif, dan akuntabel agar APBN semakin mandiri dan bertahan di tengah kondisi yang tidak pasti.
“Pada konteks ketidakpastian ini tentu berkaitan dengan kondisi ekonomi Indonesia yang kurang baik dan pertumbuhan ekonomi yang negatif sebagai dampak dari Pandemi Covid-19 yang banyak memukul ekonomi banyak negara di dunia termasuk Indonesia,” ungkapnya.
Adapun pandangan mini Fraksi Partai Gerindra di DPR waktu itu, kata dia, menegaskan bahwa RUU HPP yang akan dibahas harus memperhatikan kepentingan masyarakat bawah dan pelaku UMKM sebagai basis penguatan ekonomi kerakyatan.
Alasannya, lanjut dia, tentu berkaitan dengan upaya peningkatan penerimaan pajak tidak boleh mengorbankan ekonomi rakyat kecil, namun mengedepankan pengungkapan sukarela wajib pajak mampu memfasilitasi para wajib pajak yang memiliki iktikad baik untuk patuh dan terintegrasi dalam sistem perpajakan berbasis mutual trust, sehingga berdampak signifikan terhadap penerimaan perpajakan yang berkelanjutan.
Lebih lanjut dia mengatakan, pada perjalanan pengesahan RUU HPP yang diinisasi oleh PDIP tersebut didukung oleh hampir semua fraksi di DPR (di luar PKS) serta menyatakan persetujuan terhadap pengesahan menjadi undang-undang.
Bahkan, ujar dia, di saat pengesahan pada rapat paripurna pengambilan keputusan Ketua Panja Dolfie Othniel memberikan pidato penegasan bahwa bahwa undang-undang ini terdiri dari 9 Bab dan 19 Pasal yang mengatur secara komprehensif terkait Pajak Penghasilan (PPh) dan ketentuan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 11 persen di 2022 dan 12 persen di 2025.
Lebih lanjut, pengesahaan RUU HPP menjadi UU HPP yang disahkan pada 29 Oktober 2021. “Merujuk pada seluruh rangkaian atas pra-kondisi kebijakan kenaikan PPN 12 persen yang didasarkan pada UU HPP penting dipahami bahwa saat ini PDIP sedang memainkan wacana politik kemunafikan,” tegasnya.