Kisah Guru Honorer: Tinggal di Sekolah hingga Menjadi Pedagang Asongan
A
A
A
JAKARTA - Sehari-harinya, Abu mengampu mata pelajaran agama Islam di Yayasan Pendidikan Islam Mathlah’ul Anwar. Abu yang berpenghasilan Rp300 ribu per bulan memilih tinggal di yayasan tempatnya mengajar untuk menghemat biaya hidup sejak tiga bulan lalu.
Di balik sosoknya yang menyenangkan, Abu menyimpan beberapa kisah yang ia hadapi selama mengajar. Abu mengaku akan lebih menghemat ongkos jika tinggal di sekolah. Ia berpenghasilan Rp300 ribu selama satu bulan. Sementara untuk ongkos sehari-hari, ia bisa menghabiskan Rp15 ribu.
Pihak sekolah juga tidak merasa keberatan dengan permintaan Abu untuk tinggal di sekolah. Pada awal tahun, rumah Abu pun terkena banjir besar dan hingga kini lumpur masih menggenang di dalam dan di kebun depan rumahnya.
“Pak Abu memang tinggal di sini karena memang juga beliau tinggal sendiri di rumah. Meskipun ia punya 7 anak, tapi mereka tinggal dengan ibunya. Berhubung karena jarak dari sekolah ke rumah juga jauh dan ingin menghemat, jadi beliau tinggal di sini. Untuk makan ditanggung sekolah,” ujar Aminudin sebagai Kepala Sekolah di Yayasan Pendidikan Islam Mathlah’ul Anwar.
Meski begitu, Abu masih terus bersemangat mengampu mata pelajaran agama di lembaga-lembaga formal Mathlah’ul Anwar serta pondok pesantrennya. Ia telah masuk ke dunia pendidikan dan mengajar agama sejak 1987 dan terus berstatus honorer karena ijazah SMP-nya bermasalah.
“Harapan bapak cuma satu saja, ingin mengharapkan ridha Allah. Kalau masalah harta, seperti itu ada ya saya syukuri saja. Memang tidak munafik juga, terkadang kalau kita tidak punya doktrin agama, tentu timbulnya putus asa dan akibatnya buruk,” kata Abu.
Abu sedang mengajar para santri. Foto/ACT
Sementara itu, perjuangan Sukarman salah seorang guru di Kebumen juga penuh kisah. Sedari pagi, Sukarman sudah membawa sekantong plastik menuju sebuah pasar. Plastik itu penuh dengan tambal panci dan pegangan tutup panci.
Ia menjajakan dagangannya di tengah orang yang lalu lalang hingga jam 7 pagi. Setelah berjualan di pagi hari, ia berhenti sejenak untuk mengajar di TPQ sebuah SD di Desa Kawedusan, dan kemudian kembali ke pasar pada siang hari.
Pada sore hari, Sukarman pun kembali mengajar anak-anak. Di Masjid Agung Kauman, Kota Kebumen, ia adalah guru mengaji dari belasan murid yang telah dilakukannya sejak tahun 2012. Sukarman tetap melakoni pekerjaannya sebagai guru mengaji, sekalipun dengan penghasilan yang minim. Penghasilan sebagai guru adalah Rp100 ribu dalam satu bulan dan dibayarkan setiap 3 bulan sekali.
“Seperti itulah kehidupan saya. Kami hanya pasrah kepada Allah. Juga mohon doanya kepada masyarakat, semoga kehidupan kami selalu dicukupkan. Saya berjuang itu bukan karena materi. Kadang saya melihat guru-guru mengaji saya terdahulu. Beliau-beliau itu mengajar tanpa pernah diberi biaya. Semua gratis. Makanya kadang saya juga malu, saya setiap bulan dapat amplop. Guru-guru saya tidak ada yang diberi amplop,” ujar Sukarman.
Untuk menutupi kebutuhan sehari-hari, ia menjual bermacam-macam barang, seperti tambal dan pegangan tutup panci, juga terkadang mainan anak-anak. Dalam satu hari, penghasilannya tidak pasti, berkisar antara Rp30 ribu hingga Rp50 ribu per hari.
“Sebetulnya sebelum saya pergi mengajar itu, di bulan-bulan libur seperti akhir tahun atau setelah Lebaran, saya sering menargetkan. Harus untung sehari sekian karena dikejar aktivitas mengajar juga sehari-harinya. Tapi memang itu sudah panggilan, ya saya percaya kepada Allah pasti ada gantinya,” jelas Sukarman.
Sukarman sedang berdagang di salah satu pasar di Kebumen. Foto/ACT
Berkah kepedulian menghampiri Sukarman dan Abu serta guru-guru lainnya melalui kedermawanan masyarakat Indonesia melalui program Sahabat Guru Indonesia Global Zakat-ACT. Sebuah program yang mengapresiasi para guru prasejahtera melalui bantuan biaya hidup.
“Kalau ada yang menggerakannya (kepedulian mayarakat) seperti Global Zakat-ACT ini, sangat bagus. Jadi bisa terangkat dan penerima manfaat merasa terbantu. Mendapatkan angin segar. Alhamdulillah, ada (apresiasi) untuk membangkitkan semangat,” kata Abu.
Faktanya, 1.070.622 guru honorer masih harus terus berjuang dalam ketidakpastian. Status mereka yang tidak dijamin dengan baik, mengakibatkan mereka tak mendapatkan gaji yang pantas.
Sudah banyak kisah yang kita dengar tentang guru honorer yang gajinya dibawah UMR (Upah Minimum Rata-rata), atau bahkan tidak dibayar selama berbulan-bulan. Bagi mereka mungkin uang bukan segalanya, tapi tetap saja mereka pantas untuk dihargai secara materi. Mari ikut berpartisipasi memajukan pendidikan bangsa Indonesia dengan menyediakan biaya hidup guru honorer pra sejahtera melalui www.indonesiadermawan.id/SahabatGuruIndonesia.
Di balik sosoknya yang menyenangkan, Abu menyimpan beberapa kisah yang ia hadapi selama mengajar. Abu mengaku akan lebih menghemat ongkos jika tinggal di sekolah. Ia berpenghasilan Rp300 ribu selama satu bulan. Sementara untuk ongkos sehari-hari, ia bisa menghabiskan Rp15 ribu.
Pihak sekolah juga tidak merasa keberatan dengan permintaan Abu untuk tinggal di sekolah. Pada awal tahun, rumah Abu pun terkena banjir besar dan hingga kini lumpur masih menggenang di dalam dan di kebun depan rumahnya.
“Pak Abu memang tinggal di sini karena memang juga beliau tinggal sendiri di rumah. Meskipun ia punya 7 anak, tapi mereka tinggal dengan ibunya. Berhubung karena jarak dari sekolah ke rumah juga jauh dan ingin menghemat, jadi beliau tinggal di sini. Untuk makan ditanggung sekolah,” ujar Aminudin sebagai Kepala Sekolah di Yayasan Pendidikan Islam Mathlah’ul Anwar.
Meski begitu, Abu masih terus bersemangat mengampu mata pelajaran agama di lembaga-lembaga formal Mathlah’ul Anwar serta pondok pesantrennya. Ia telah masuk ke dunia pendidikan dan mengajar agama sejak 1987 dan terus berstatus honorer karena ijazah SMP-nya bermasalah.
“Harapan bapak cuma satu saja, ingin mengharapkan ridha Allah. Kalau masalah harta, seperti itu ada ya saya syukuri saja. Memang tidak munafik juga, terkadang kalau kita tidak punya doktrin agama, tentu timbulnya putus asa dan akibatnya buruk,” kata Abu.
Abu sedang mengajar para santri. Foto/ACT
Sementara itu, perjuangan Sukarman salah seorang guru di Kebumen juga penuh kisah. Sedari pagi, Sukarman sudah membawa sekantong plastik menuju sebuah pasar. Plastik itu penuh dengan tambal panci dan pegangan tutup panci.
Ia menjajakan dagangannya di tengah orang yang lalu lalang hingga jam 7 pagi. Setelah berjualan di pagi hari, ia berhenti sejenak untuk mengajar di TPQ sebuah SD di Desa Kawedusan, dan kemudian kembali ke pasar pada siang hari.
Pada sore hari, Sukarman pun kembali mengajar anak-anak. Di Masjid Agung Kauman, Kota Kebumen, ia adalah guru mengaji dari belasan murid yang telah dilakukannya sejak tahun 2012. Sukarman tetap melakoni pekerjaannya sebagai guru mengaji, sekalipun dengan penghasilan yang minim. Penghasilan sebagai guru adalah Rp100 ribu dalam satu bulan dan dibayarkan setiap 3 bulan sekali.
“Seperti itulah kehidupan saya. Kami hanya pasrah kepada Allah. Juga mohon doanya kepada masyarakat, semoga kehidupan kami selalu dicukupkan. Saya berjuang itu bukan karena materi. Kadang saya melihat guru-guru mengaji saya terdahulu. Beliau-beliau itu mengajar tanpa pernah diberi biaya. Semua gratis. Makanya kadang saya juga malu, saya setiap bulan dapat amplop. Guru-guru saya tidak ada yang diberi amplop,” ujar Sukarman.
Untuk menutupi kebutuhan sehari-hari, ia menjual bermacam-macam barang, seperti tambal dan pegangan tutup panci, juga terkadang mainan anak-anak. Dalam satu hari, penghasilannya tidak pasti, berkisar antara Rp30 ribu hingga Rp50 ribu per hari.
“Sebetulnya sebelum saya pergi mengajar itu, di bulan-bulan libur seperti akhir tahun atau setelah Lebaran, saya sering menargetkan. Harus untung sehari sekian karena dikejar aktivitas mengajar juga sehari-harinya. Tapi memang itu sudah panggilan, ya saya percaya kepada Allah pasti ada gantinya,” jelas Sukarman.
Sukarman sedang berdagang di salah satu pasar di Kebumen. Foto/ACT
Berkah kepedulian menghampiri Sukarman dan Abu serta guru-guru lainnya melalui kedermawanan masyarakat Indonesia melalui program Sahabat Guru Indonesia Global Zakat-ACT. Sebuah program yang mengapresiasi para guru prasejahtera melalui bantuan biaya hidup.
“Kalau ada yang menggerakannya (kepedulian mayarakat) seperti Global Zakat-ACT ini, sangat bagus. Jadi bisa terangkat dan penerima manfaat merasa terbantu. Mendapatkan angin segar. Alhamdulillah, ada (apresiasi) untuk membangkitkan semangat,” kata Abu.
Faktanya, 1.070.622 guru honorer masih harus terus berjuang dalam ketidakpastian. Status mereka yang tidak dijamin dengan baik, mengakibatkan mereka tak mendapatkan gaji yang pantas.
Sudah banyak kisah yang kita dengar tentang guru honorer yang gajinya dibawah UMR (Upah Minimum Rata-rata), atau bahkan tidak dibayar selama berbulan-bulan. Bagi mereka mungkin uang bukan segalanya, tapi tetap saja mereka pantas untuk dihargai secara materi. Mari ikut berpartisipasi memajukan pendidikan bangsa Indonesia dengan menyediakan biaya hidup guru honorer pra sejahtera melalui www.indonesiadermawan.id/SahabatGuruIndonesia.
(kri)