Masalah Tafsir Hukum atas UU Tipikor Tahun 1999
loading...
A
A
A
Kerugian keuangan negara secara hukum titik beratnya adalah adanya kerugian yang nyata dan pasti; yang dimaksud dengan kerugian yang nyata dan pasti berdasarkan Putusan MKRI, adalah, kerugian yang dapat dihitung ialah kerugian aktual (actual loss) bukan hanya diperkirakan atau indikasi semata-mata. Kerugian keuangan yang tidak dapat dihitung secara nyata dan pasti tidak memenuhi asas kepastian hukum yang rentan terhadap perlindungan hak asasi terdakwa selama dan dalam proses permeriksaan di sidang pengadilan.
Tiga masalah tafsir hukum sebagaimana diuraikan merupakan hambatan yang menghadapi jalan buntu untuk menemukan kebenaran materiel yang merupakan landasan mencapai kepastian hukum,mkeadilan dan kemanfaatan dengan alasan bahwa, ketiga tujuan hukum pidana tersebut tidak sekali-kali dimaksudkan hanya berpihak untuk Negara melainkan juga bagi terdakwa. Hanya mengandalkan kekuatan keyakinan hakim saja dalam sistem pembuktian negatif (negative wettelijke beginsel) tidak memadai karena keberhasilan bekerjanya sistem peradilan pidana dikembalikan kepada (keyakinan) hakim yang rentan terhadap subjektivitas.
Selain faktor tersebut, dapat dikemukakan bahwa, pemahaman Undang-Undang Tipikor terutama ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 yang merupakan momok pencari keadilan juga penasihat hukumnya adalah disebabkan kedua pasal aquo memuat 4 (empat) aspek hukum yang memang sulit dipisahkan satu sama lain sekalipun dapat dibeda-bedakan sehingga tidak mudah dipahami oleh APH maupun hakim.
Keempat aspek hukum tersebut adalah aspek hukum pidana , aspek hukum perdata, aspek hukum tata usaha negara, dan aspek hukum keuangan. Keberadaan keempat aspek hukum di dalam ketentuan UU TIpikor tersebut mengakibatkan proses peradilan tindak pidana tipikor tidak dapat diselesaikan secara efisien dan efektif kecuali menggunakan tenaga jasa ahli dalam bidang hukum masing-masing.
Tiga masalah tafsir hukum sebagaimana diuraikan merupakan hambatan yang menghadapi jalan buntu untuk menemukan kebenaran materiel yang merupakan landasan mencapai kepastian hukum,mkeadilan dan kemanfaatan dengan alasan bahwa, ketiga tujuan hukum pidana tersebut tidak sekali-kali dimaksudkan hanya berpihak untuk Negara melainkan juga bagi terdakwa. Hanya mengandalkan kekuatan keyakinan hakim saja dalam sistem pembuktian negatif (negative wettelijke beginsel) tidak memadai karena keberhasilan bekerjanya sistem peradilan pidana dikembalikan kepada (keyakinan) hakim yang rentan terhadap subjektivitas.
Selain faktor tersebut, dapat dikemukakan bahwa, pemahaman Undang-Undang Tipikor terutama ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 yang merupakan momok pencari keadilan juga penasihat hukumnya adalah disebabkan kedua pasal aquo memuat 4 (empat) aspek hukum yang memang sulit dipisahkan satu sama lain sekalipun dapat dibeda-bedakan sehingga tidak mudah dipahami oleh APH maupun hakim.
Keempat aspek hukum tersebut adalah aspek hukum pidana , aspek hukum perdata, aspek hukum tata usaha negara, dan aspek hukum keuangan. Keberadaan keempat aspek hukum di dalam ketentuan UU TIpikor tersebut mengakibatkan proses peradilan tindak pidana tipikor tidak dapat diselesaikan secara efisien dan efektif kecuali menggunakan tenaga jasa ahli dalam bidang hukum masing-masing.
(zik)