Prabowo Subianto: Pergeseran Orientasi Kebijakan Luar Negeri dan Strategi Diplomasi
loading...
A
A
A
Walaupun Indonesia selama ini menganut prinsip kebijakan luar negeri bebas aktif, pergeseran yang terjadi sekarang menunjukkan pendekatan yang lebih pragmatis. Mirip dengan era Sukarno, ketika Indonesia lebih dekat dengan blok Timur, dan era Suharto yang lebih condong ke Barat, negara ini sekarang tampaknya memilih mitra berdasarkan keuntungan strategis yang mereka tawarkan, bukan lagi sekadar mempertahankan kebijakan non-blok. Pragmatisme ini tampaknya akan berlanjut di bawah kepemimpinan Prabowo.
Strategi Diplomasi dan Non-Blok
Terlepas dari perubahan orientasi yang mungkin terjadi, platform Prabowo-Gibran tetap mendukung kebijakan "tetangga yang baik" yang berakar pada prinsip non-intervensi. Ini konsisten dengan doktrin kebijakan non-blok aktif Indonesia yang telah dipertahankan sejak era Perang Dingin.
Pendekatan ini memungkinkan Indonesia untuk tetap netral di tengah meningkatnya ketegangan geopolitik, terutama di kawasan Asia Tenggara yang kompleks. Namun, netralitas ini tidak berarti pasif. Prabowo menyadari pentingnya menjaga hubungan strategis dengan kekuatan global utama seperti Tiongkok, Rusia, dan Amerika Serikat.
Dalam menghadapi konflik regional seperti krisis di Myanmar dan ketegangan di Laut Tiongkok Selatan, Prabowo berupaya mempertahankan fleksibilitas diplomatik Indonesia, dengan menggabungkan kesiapan militer dan diplomasi yang cermat. Pendekatan ini menyoroti upayanya untuk menyeimbangkan kepentingan nasional dengan keterlibatan Indonesia di kancah internasional.
Konteks Geopolitik Asia Tenggara
Di lanskap geopolitik Asia Tenggara yang dinamis, Indonesia menghadapi tantangan yang besar. Prabowo berkomitmen untuk memperkuat kapasitas militer Indonesia guna memastikan bahwa negara ini memiliki daya tawar yang cukup untuk melindungi kepentingannya tanpa terlibat langsung dalam konflik antar kekuatan besar.
Meskipun mempertahankan netralitas dan sikap non-blok, Prabowo juga menyatakan pandangan tegasnya dalam isu-isu moral, seperti dukungannya terhadap kemerdekaan Palestina. Sikap ini mungkin akan mempersulit hubungan Indonesia dengan negara-negara yang mendukung Israel, namun hal ini mencerminkan kemampuan Indonesia untuk menyeimbangkan kebijakan luar negeri yang netral dengan posisi prinsipil dalam isu-isu global.
Dalam praktiknya, pendekatan ganda ini — memperkuat kemampuan militer sambil menjalin hubungan diplomatik — selaras dengan konsep strategic hedging (perlindungan strategis). Strategi ini memungkinkan Indonesia untuk menavigasi antara kekuatan global yang bersaing, menghindari aliansi penuh dengan salah satu blok, sambil memastikan bahwa kepentingan nasionalnya tetap terlindungi.
Upaya Prabowo dalam membangun hubungan baik dengan kekuatan Timur maupun Barat mencerminkan strategi ini, yang memposisikan Indonesia sebagai pemain fleksibel dan netral dalam geopolitik global.
Hubungan dengan China: Model Soeharto atau Jokowi?
Dalam sejarah Indonesia, hubungan dengan China selalu memiliki keunikan tersendiri. Di satu sisi, kata "China" dan "China" sering digunakan dalam kampanye negatif selama pemilu. China dan komunitas Tionghoa sering kali digambarkan sebagai ancaman bagi rakyat Indonesia.
Ini mengapa, dalam setiap pemilu, ada kandidat yang menyerang lawannya dengan menuduh bahwa mereka pro-asing atau pro-aseng, istilah yang mengacu pada dukungan terhadap China atau komunitas Tionghoa Indonesia. Namun, ironisnya, begitu mereka terpilih, para pemimpin ini justru cenderung mendekatkan diri dengan China dan komunitas Tionghoa.
Strategi Diplomasi dan Non-Blok
Terlepas dari perubahan orientasi yang mungkin terjadi, platform Prabowo-Gibran tetap mendukung kebijakan "tetangga yang baik" yang berakar pada prinsip non-intervensi. Ini konsisten dengan doktrin kebijakan non-blok aktif Indonesia yang telah dipertahankan sejak era Perang Dingin.
Pendekatan ini memungkinkan Indonesia untuk tetap netral di tengah meningkatnya ketegangan geopolitik, terutama di kawasan Asia Tenggara yang kompleks. Namun, netralitas ini tidak berarti pasif. Prabowo menyadari pentingnya menjaga hubungan strategis dengan kekuatan global utama seperti Tiongkok, Rusia, dan Amerika Serikat.
Dalam menghadapi konflik regional seperti krisis di Myanmar dan ketegangan di Laut Tiongkok Selatan, Prabowo berupaya mempertahankan fleksibilitas diplomatik Indonesia, dengan menggabungkan kesiapan militer dan diplomasi yang cermat. Pendekatan ini menyoroti upayanya untuk menyeimbangkan kepentingan nasional dengan keterlibatan Indonesia di kancah internasional.
Konteks Geopolitik Asia Tenggara
Di lanskap geopolitik Asia Tenggara yang dinamis, Indonesia menghadapi tantangan yang besar. Prabowo berkomitmen untuk memperkuat kapasitas militer Indonesia guna memastikan bahwa negara ini memiliki daya tawar yang cukup untuk melindungi kepentingannya tanpa terlibat langsung dalam konflik antar kekuatan besar.
Meskipun mempertahankan netralitas dan sikap non-blok, Prabowo juga menyatakan pandangan tegasnya dalam isu-isu moral, seperti dukungannya terhadap kemerdekaan Palestina. Sikap ini mungkin akan mempersulit hubungan Indonesia dengan negara-negara yang mendukung Israel, namun hal ini mencerminkan kemampuan Indonesia untuk menyeimbangkan kebijakan luar negeri yang netral dengan posisi prinsipil dalam isu-isu global.
Dalam praktiknya, pendekatan ganda ini — memperkuat kemampuan militer sambil menjalin hubungan diplomatik — selaras dengan konsep strategic hedging (perlindungan strategis). Strategi ini memungkinkan Indonesia untuk menavigasi antara kekuatan global yang bersaing, menghindari aliansi penuh dengan salah satu blok, sambil memastikan bahwa kepentingan nasionalnya tetap terlindungi.
Upaya Prabowo dalam membangun hubungan baik dengan kekuatan Timur maupun Barat mencerminkan strategi ini, yang memposisikan Indonesia sebagai pemain fleksibel dan netral dalam geopolitik global.
Hubungan dengan China: Model Soeharto atau Jokowi?
Dalam sejarah Indonesia, hubungan dengan China selalu memiliki keunikan tersendiri. Di satu sisi, kata "China" dan "China" sering digunakan dalam kampanye negatif selama pemilu. China dan komunitas Tionghoa sering kali digambarkan sebagai ancaman bagi rakyat Indonesia.
Ini mengapa, dalam setiap pemilu, ada kandidat yang menyerang lawannya dengan menuduh bahwa mereka pro-asing atau pro-aseng, istilah yang mengacu pada dukungan terhadap China atau komunitas Tionghoa Indonesia. Namun, ironisnya, begitu mereka terpilih, para pemimpin ini justru cenderung mendekatkan diri dengan China dan komunitas Tionghoa.