Polisi Ditantang Ungkap Otak Pembubaran Jeda Iklim Global dan Diskusi Din Syamsuddin Cs
loading...
A
A
A
Menurut Usman, polisi seharusnya bertugas melindungi warga yang mengekspresikan hak berpendapatnya secara damai. “Sepekan terakhir, mengapa polisi terkesan justru melindungi penyerang? Siapa dalang pelaku penyerangan pertemuan dan ekspresi damai itu?” katanya.
Dia mengingatkan bahwa konstitusi dan hukum-hukum lain Indonesia menjamin warganya untuk menikmati hak-hak asasi manusia, baik kebebasan sipil seperti hak berkumpul serta berpendapat, maupun kebebasan sosial seperti bercocok tanam dan menikmati hasilnya. “Itu dijamin pula oleh hukum internasional. Tindakan intimidasi seperti ini tidak boleh dibiarkan begitu saja,” imbuhnya.
Pihaknya mendesak Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo segera mengusut tuntas dalang dan semua pelaku intimidasi maupun aksi main hakim sendiri tersebut. Kapolri, kata dia, wajib memastikan adanya tindakan hukum yang tegas terutama terhadap otak pelaku aksi main hakim sendiri.
“Usut pula polisi yang bukannya mencegah dan menindak pelaku intimidasi, justru cenderung melakukan pembiaran, malah berangkulan dan berjabat tangan dengan mereka, seperti yang terlihat pada insiden sabotase acara diskusi Forum Tanah Air,” jelasnya.
Pihaknya juga mendesak Komisi III DPR segera mengevaluasi kinerja kepemimpinan kepolisian di bawah Jenderal Listyo Sigit Prabowo secara menyeluruh. Evaluasi dinilai sangat penting agar negara serius menjaga hak asasi manusia secara keseluruhan.
Dia mengungkapkan, dua aksi damai yang berlangsung di Jakarta pada 27 dan 28 September 2024 diganggu oleh sekelompok orang tidak dikenal secara represif dan intimidatif. “Ironisnya, dua kejadian tersebut disaksikan langsung oleh para aparat kepolisian yang berjaga,” ujarnya.
Dia melanjutkan, serangan pertama terjadi pada aksi damai Global Climate Strike atau Jeda Iklim Global yang dimulai di Taman Menteng pada Jumat siang 27 September 2024. Aksi ini merupakan gerakan nonpartisan dan dikelola oleh orang muda dengan metode aksi nirkekerasan yang mengangkat permasalahan perubahan iklim.
“Sejumlah rekaman video yang dipantau Amnesty dan informasi dari Koalisi Global Climate Strike Jakarta menunjukkan sekelompok orang tak dikenal pukul 13.30 WIB merampas alat-alat peraga aksi, termasuk patung manekin Raja Jawa, poster, banner dan alat pengeras suara milik penyelenggara aksi,” ucap dia.
Dia membeberkan, massa aksi yang saat itu belum memulai acara, lalu protes ke sekumpulan polisi yang berkumpul di dekat lokasi kejadian karena tidak menindak insiden tersebut. Lalu saat aksi damai berlangsung di Jalan Sudirman pukul 14.00 WIB, massa aksi dikepung sekelompok orang tak dikenal, yang lagi-lagi merampas spanduk, poster, dan pengeras suara milik peserta aksi sambil berkali-kali meneriakkan kata “bubar!”.
“Namun para polisi yang berjaga-jaga di dekat massa aksi membiarkan insiden itu terjadi walau ada peserta aksi meneriakkan minta tolong kepada polisi,” kata dia.
Dia mengingatkan bahwa konstitusi dan hukum-hukum lain Indonesia menjamin warganya untuk menikmati hak-hak asasi manusia, baik kebebasan sipil seperti hak berkumpul serta berpendapat, maupun kebebasan sosial seperti bercocok tanam dan menikmati hasilnya. “Itu dijamin pula oleh hukum internasional. Tindakan intimidasi seperti ini tidak boleh dibiarkan begitu saja,” imbuhnya.
Pihaknya mendesak Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo segera mengusut tuntas dalang dan semua pelaku intimidasi maupun aksi main hakim sendiri tersebut. Kapolri, kata dia, wajib memastikan adanya tindakan hukum yang tegas terutama terhadap otak pelaku aksi main hakim sendiri.
“Usut pula polisi yang bukannya mencegah dan menindak pelaku intimidasi, justru cenderung melakukan pembiaran, malah berangkulan dan berjabat tangan dengan mereka, seperti yang terlihat pada insiden sabotase acara diskusi Forum Tanah Air,” jelasnya.
Pihaknya juga mendesak Komisi III DPR segera mengevaluasi kinerja kepemimpinan kepolisian di bawah Jenderal Listyo Sigit Prabowo secara menyeluruh. Evaluasi dinilai sangat penting agar negara serius menjaga hak asasi manusia secara keseluruhan.
Dia mengungkapkan, dua aksi damai yang berlangsung di Jakarta pada 27 dan 28 September 2024 diganggu oleh sekelompok orang tidak dikenal secara represif dan intimidatif. “Ironisnya, dua kejadian tersebut disaksikan langsung oleh para aparat kepolisian yang berjaga,” ujarnya.
Dia melanjutkan, serangan pertama terjadi pada aksi damai Global Climate Strike atau Jeda Iklim Global yang dimulai di Taman Menteng pada Jumat siang 27 September 2024. Aksi ini merupakan gerakan nonpartisan dan dikelola oleh orang muda dengan metode aksi nirkekerasan yang mengangkat permasalahan perubahan iklim.
“Sejumlah rekaman video yang dipantau Amnesty dan informasi dari Koalisi Global Climate Strike Jakarta menunjukkan sekelompok orang tak dikenal pukul 13.30 WIB merampas alat-alat peraga aksi, termasuk patung manekin Raja Jawa, poster, banner dan alat pengeras suara milik penyelenggara aksi,” ucap dia.
Dia membeberkan, massa aksi yang saat itu belum memulai acara, lalu protes ke sekumpulan polisi yang berkumpul di dekat lokasi kejadian karena tidak menindak insiden tersebut. Lalu saat aksi damai berlangsung di Jalan Sudirman pukul 14.00 WIB, massa aksi dikepung sekelompok orang tak dikenal, yang lagi-lagi merampas spanduk, poster, dan pengeras suara milik peserta aksi sambil berkali-kali meneriakkan kata “bubar!”.
“Namun para polisi yang berjaga-jaga di dekat massa aksi membiarkan insiden itu terjadi walau ada peserta aksi meneriakkan minta tolong kepada polisi,” kata dia.