Soal Gempa Megathrust di Selat Sunda dan Mentawai-Siberut, BMKG: Tinggal Menunggu Waktu

Kamis, 15 Agustus 2024 - 09:31 WIB
loading...
Soal Gempa Megathrust...
BMKG menyebutkan pembahasan mengenai potensi gempa di zona Megathrust Selat Sunda dan Mentawai-Siberut sebenarnya bukanlah hal baru. Foto/SINDOnews
A A A
JAKARTA - Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyebutkan pembahasan mengenai potensi gempa di zona Megathrust Selat Sunda dan Mentawai-Siberut sebenarnya bukanlah hal baru. Sudah lama, bahkan sudah ada sejak sebelum terjadi gempa dan tsunami Aceh tahun 2024.

“Munculnya kembali pembahasan potensi gempa di zona megathrust saat ini bukanlah bentuk peringatan dini (warning) yang seolah-olah dalam waktu dekat akan segera terjadi gempa besar. Tidak demikian,” ujar Kepala Pusat Gempabumi dan Tsunami BMKG, Daryono dalam keterangannya, Kamis (15/8/2024).



Daryono mengatakan bahwa BMKG hanya mengingatkan kembali keberadaan Zona Megathrust Selat Sunda dan Mentawai-Siberut sebagai sebuah potensi yang diduga oleh para ahli sebagai zona kekosongan gempa besar (seismic gap) yang sudah berlangsung selama ratusan tahun. “Seismic gap ini memang harus kita waspadai karena dapat melepaskan energi gempa signifikan yang dapat terjadi sewaktu-waktu,” katanya.

Munculnya kembali pembahasan potensi gempa di zona Megathrust Selat Sunda dan Mentawai-Siberut, kata Daryono, sebenarnya tidak ada kaitannya secara langsung dengan peristiwa gempa kuat M7,1 yang berpusat di Tunjaman Nankai dan mengguncang Prefektur Miyazaki Jepang.

Menariknya, lanjut Daryono, gempa yang memicu tsunami kecil pada 8 Agustus 2024 beberapa hari lalu mampu menciptakan kekhawatiran bagi para ilmuwan, pejabat negara, dan publik di Jepang akan potensi terjadinya gempa dahsyat di Megathrust Nankai.

“Peristiwa semacam ini menjadi merupakan momen yang tepat untuk mengingatkan kita di Indonesia akan potensi gempa di zona seismic gap Selat Sunda dan Mentawai-Siberut,” jelasnya.

Daryono membeberkan bahwa sejarah mencatat, gempa besar terakhir di Tunjaman Nankai terjadi pada 1946 (usia seismic gap 78 tahun), sedangkan gempa besar terakhir di Selat Sunda terjadi pada 1757 (usia seismic gap 267 tahun), dan gempa besar terakhir di Mentawai-Siberut terjadi pada 1797 (usia seismic gap 227 tahun).

“Artinya kedua seismic gap kita periodisitasnya jauh lebih lama jika dibandingkan dengan seismic gap Nankai, sehingga mestinya kita jauh lebih serius dalam menyiapkan upaya-upaya mitigasinya,” tegasnya.

Pada kesempatan itu, Daryono pun menjelaskan terkait rilis gempa di Selat Sunda dan Mentawai-Siberut “tinggal menunggu waktu” yang telah disampaikan sebelumnya. Dia mengatakan hal ini dikarenakan kedua wilayah tersebut sudah ratusan tahun belum terjadi gempa besar, tetapi bukan berarti segera akan terjadi gempa dalam waktu dekat.

“Dikatakan “tinggal menunggu waktu” disebabkan karena segmen-segmen sumber gempa di sekitarnya sudah rilis gempa besar semua, sementara Selat Sunda dan Mentawai-Siberut hingga saat ini belum terjadi,” paparnya.

“Sudah kita pahami bersama, bahwa hingga saat ini belum ada ilmu pengetahuan dan teknologi yang dengan tepat dan akurat mampu memprediksi terjadinya gempa (kapan, di mana, dan berapa kekuatannya), sehingga kita semua juga tidak tahu kapan gempa akan terjadi, sekalipun tahu potensinya,” sambungnya.

Sekali lagi, Daryono menambahkan jika informasi potensi gempa megathrust yang berkembang saat ini sama sekali bukanlah prediksi atau peringatan dini sehingga jangan dimaknai secara keliru, seolah akan terjadi dalam waktu dekat.



“Untuk itu, kepada masyarakat diimbau untuk tetap tenang dan beraktivitas normal seperti biasa, seperti melaut, berdagang, dan berwisata di pantai. BMKG selalu siap memberikan informasi gempa bumi dan peringatan dini tsunami dengan cepat dan akurat,” pungkasnya.
(kri)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.0955 seconds (0.1#10.140)