Irjen Pol (Purn) Hamidin Aji Amin, Praktisi Terorisme yang Hobi Menulis dan Melukis
loading...
A
A
A
WAKTU menunjukkan pukul 23.45 Wib, kala serombongan pria membubarkan diri usai pertemuan malam itu, di salah satu sudut daerah Sepatan, Tangerang, Banten, persisnya di sebuah bangunan kayu terapung di atas kolam ikan dengan hamparan sawah nan hijau di belakangnya. Meski terlihat lelah, Irjen Pol (purn) Hamidin Aji Amin-si empu yang punya tempat masih bersemangat untuk bercerita.
“Kapan-kapan kita ngobrol lagi,” kata Hamidin menutup perbincangannya dan berpamitan. Di sela obrolan santai malam itu, ia berkesempatan memberi kenang-kenangan sebuah buku berjudul “Wajah Baru Terorisme”.
Sekilas buku bersampul merah setebal 252 halaman karyanya itu, menarik untuk dibaca. Ini karena judulnya yang menggoda dan membuat orang penasaran untuk bertanya tentang bagaimana sesungguhnya wajah baru terorisme itu. Rasa penasaran makin berkelindan lantaran Hamidin seorang praktisi penanganan terorisme, yang pastinya paham betul tentang persoalan terorisme.
“Mempelajari perkembangan terorisme tentu akan menjadi lebih menarik apabila kita ikut terlibat secara emosional dan ambil bagian dalam proses penanganannya, khususnya pada perspektif pendekatan lunak-nonpro justitia. Mendengar sebuah kuliah atau ceramah tentang terorisme tentu akan berbeda dengan mendengar langsung dari orang-orang yang pernah terlibat dalam tindakan mengerikan tersebut.”
Pengantar yang digoreskan Hamidin Aji Amin di bukunya tersebut secara eksplisit mengajak masyarakat Tanah Air, lebih luas lagi masyarakat dunia, untuk bersama-sama bergandengan tangan terlibat dalam penanganan terorisme . Keterlibatan itu bisa dimulai dari membaca dan memahami buku yang dihadirkannya ini.
baca juga: Membaca Terorisme Lewat Perspektif Pendekatan Lunak-Nonpro Justitia
Sebagai sosok yang memiliki basic penanganan terorisme, tentu Hamidin dengan mudah membedah dan memetakan persoalan terorisme Indonesia. Berkat pengalamannya itu pula, ia kerap bepergian keluar negeri untuk berbicara tentang penanganan terorisme di forum-forum besar internasional.
Hamidin Aji Amin menjadi pembicara di Rapat Koordinasi Fungsi Imigrasi
Perwakilan RI di Seoul, Korea Selatan tahun 2018.
“Cita-cita saya itu sebenarnya ingin jadi diplomat, bukan polisi. Waktu kecil saya terinspirasi Menlu Adam Malik yang dulu sering tampil di televisi. Waktu itu saya berpikir hebat sekali bapak ini, bisa bicara di forum-forum internasional, bisa ke luar negeri. Tapi walau tidak jadi diplomat, saya tetap bisa ke luar negeri, keliling ke banyak negara. Ini semua berkat jadi polisi. Dan ini sudah jalan Tuhan, tinggal kita bersyukur dan menjalaninya dengan baik,” ujar Hamidin.
Hamidin menceritakan, semasa aktif menjadi anggota polisi, hampir semua tugas dan tanggung jawabnya dilaksanakan pada tataran operasional. Lulusan Akpol 1987 ini lebih banyak berpengalaman dalam bidang Brigade Mobil (Brimob). Dari jabatan Kasat Brimob Polda Sulawesi Utara pada 2000 hingga Direktur Pencegahan BNPT pada 2015, dan Deputi III Bidang Kerja Sama Internasional BNPT pada 2017 ia laksanakan. Terakhir, sebelum menjabat Kapolda NTT pada 2 September 2019, Hamidin selama delapan bulan menjabat Kapolda Sulawesi Selatan (Sulsel).
Selama memegang jabatan-jabatan tersebut, banyak prestasi dan kasus besar yang ditangani. Mulai dari menjadi Kapolsek pertama untuk pos perbatasan di Entikong Kalimantan Barat saat ketegangan antara Indonesia dan Malaysia, memimpin operasi Poso saat menjabat Kasubden Penindak Densus 88, menangani kasus Antasari Azhar saat menjabat Kapolres Metro Tangerang, dan juga menangani demonstrasi Kerbau SiBuYa saat bertugas sebagai Kapolres Metro Jakarta Pusat di masa Presiden SBY.
Buku Wajah Baru Terorisme
Kembali ke soal penanganan terorisme, Hamidin mengatakan, penyebaran radikalisme dan terorisme dari waktu ke waktu mengalami perubahan, baik sejak zaman pasca kemerdekaan hingga zaman bom bali dan sampai zaman sekarang ini. Karenanya ia berharap media tidak melakukan glorifikasi dan produkasi terhadap isu radikalisme dan terorisme yang mengancam keutuhan bangsa.
Hamidin Aji Amin (kanan) menandatangi buku “Wajah Baru Terorisme”
yang diberikannya kepada seorang temannya.
"Bicara radikalisme dan terorisme hari ini, tidak hanya menimpa kelompok tertentu yang basically sudah radikal, tetapi ancaman ini bisa datang juga di tengah tengah keluarga dan kelompok," ujar pria kelahiran 17 Oktober 1962 ini.
Buku “Wajah Baru Terorisme” karya Hamidin, berisi kumpulan tulisan informatif dan edukatif yang juga didasari oleh pengalaman empiris Hamidin dalam berinteraksi langsung dengan napi serta mantan napi terorisme, yang ia kumpulkan dari Pusat Media Damai Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dan sebagian ia dibagikan di kolom opini media cetak selama bertugas di kewilayahan.
baca juga: Menjinakkan Terorisme
Hamidin menceritakan detil proses berikut hasil komunikasi dan dialog dengan pelaku terorisme, apalagi dengan pelaku yang kooperatif akan memberikan pemahaman utuh tentang lika-liku perjalanan terorisme. Namun sebaliknya, apabila terjadi penolakan dalam berdialog, kegigihan akan menjadi kata kunci. Itulah yang penulis alami dan lakukan selama bertahun-tahun.
Hamidin mengaku banyak berinteraksi dengan mantan pelaku dan orang-orang yang terlibat langsung dengan radikalisme di Indonesia serta beberapa negara lain yang sedang menangani orang-orang Indonesia yang terlibat radikalisme terorisme di negaranya. Setidaknya hampir seluruh lembaga permasyarakatan (lapas) di Tanah Air yang di dalamnya ada tahanan teroris pernah didatanginya. Begitu pula mereka yang telah kembali ke masyarakat setelah menjalani hukuman pidana.
Belajar dari pengalaman selama berinteraksi dengan napi dan mantan napi terorisme, didukung pengalamannya selama menjadi Kepala Unit dan Kepala Sub-Detasemen Penindakan di Densus 88 Anti-Teror Polri, serta menjadi Direktur Pencegahan di BNPT, ia lalu membulatkan hati menuangkan pengalamannya itu dalam buku ini.
Hamidin Aji Amin (tengah) dalam suatu kesempatan acara saat masih aktif di kepolisian.
Secara umum, buku ini banyak menceritakan bagaimana proses radikalisasi terjadi dalam lingkup lokal, regional, dan global. Proses-proses identifikasi, indoktrinasi, dan jihadisasi yang terjadi melalui proses interaksi dalam pertalian keluarga, ketokohan, patron guru dan murid, serta proses pertemanan, banyak juga disinggung. Begitu pula dengan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi yang faktanya telah turut mengambil peran dalam proses radikalisasi maya dan juga menjadi lahan subur penyebaran hoaks.
Polarisasi dan penyebaran radikalisme telah menjadi fakta yang tidak terbantahkan. Penggunaan cryptocurrency yang memiliki potensi dan pernah digunakan di Indonesia juga dikupas dalam buku ini. Untuk menambah wawasan tentang gerakan terorisme nasional, regional, dan global, penulis juga membahas organisasi terorisme masa lalu dan terorisme global kekinian, termasuk tentang tokoh-tokoh luar negeri dan tokoh sentral lokal.
Merawat Bakat Menulis dan Melukis
Buku “Wajah Baru Terortisme” ibarat tuturan yang menjelma tulisan. Nyata sekali, Hamidin begitu piawai menuangkan hasrat dan kegelisahannya berikut ilmu dan pengalamannya tentang persoalan terorisme dalam bentuk buku. Kelenturan menulis ini lebih karena ia begitu kukuh untuk tetap setia menulis, terus menjaga dan merawat bakat menulisnya di tengah seabrek kesibukannya.
baca juga: Mendekap Para Korban Terorisme Seutuhnya
Dalam menulis kita pasti pernah mengalami titik jenuh dan bosan. Tidak bisa menulis apa pun, tidak ada satu kalimat pun yang bisa terangkai. Namun sepertinya tidak demikian bagi Mahidin Aji Amin. Kentara sekali, kehadiran buku “Wajah Baru Terorisme” sebagai cerminan kegigihan dan gairah Mahidin dalam menulis. Sesibuk apapun, purnawirawan polisi yang juga praktisi penanganan terorisme ini enteng saja menulis. Menulis seperti sudah menjadi nafas hidup Hamidin.
“Dulu waktu masih muda, saya sering kirim tulisan cerpen ke majalah remaja, namanya Majalah Gadis. Dan sering dimuat. Itu senang sekali kalo tulisan kita dimuat, terus dapat bayaran. Dulu bayarannya masih lewat wesel (instrumen pembayaran yang digunakan dalam aktivitas perbankan),” kenang Hamidin tertawa renyah.
Ide menulis bisa datang dari mana saja, dari penglihatan, pendengaran, bahkan perasaan. Ide atau gagasan tersebut harus diikat dengan segera menuliskannya, atau kapan saja pada saat ada kesempatan agar gagasan yang melintas tidak menguap begitu saja. Sepertinya kebiasaan itulah yang kerap dilakukan Hamidin Aji Amin, hingga tak heran jika tulisan-tulisannya banyak bertebaran terutama di media massa dan ia bukukan.
Melukis salah satu hobi Hamidin Aji Amin di samping menulis dan membaca buku.
Menghasilkan sebuah karya berupa tulisan apalagi buku akan menjadi jejak sejarah. Dengan menulis seseorang dapat dikenal oleh masyarakat dan dikenang dalam sejarah keumatan manusia. Dan sejatinya kehidupan mulai dari bangun tidur sampai tidur lagi dapat menjadi cerita yang asyik untuk ditulis. Menulis adalah ungkapan jiwa, sarana mengekspresikan diri, dan menuangkan kegelisahan. Menulis juga tak harus baku, disesuaikan saja dengan kemampuan dan karakteristik kita.
Dalam sosiologi, ada istilah habitus, yakni cara orang memandang dan merespons dunia sosial yang mereka tinggali, melalui kebiasaan, keterampilan, dan watak pribadi mereka. Orang-orang dengan latar belakang budaya yang sama (kelas sosial, agama, dan kebangsaan, kelompok etnis, pendidikan, dan profesi) berbagi kebiasaan sebagai cara budaya kelompok dan sejarah pribadi membentuk pikiran seseorang; akibatnya, kebiasaan seseorang mempengaruhi dan membentuk tindakan sosial orang tersebut.
Menggunakan istilah filsuf Perancis, Pierre Boudiue, habitus adalah nilai-nilai sosial yang dihayati seseorang, terbentuk melalui pergulatan hidup yang panjang, lalu secara laten membentuk watak, ciri, dan perilaku orang tersebut. Habitus begitu kuat tertanam sehingga secara refleks akan mengarahkan bagaimana seseorang bersikap dan memandang permasalahan.
Sepertinya, habitus inilah yang menjelma di diri dan perilaku Hamidin Aji Amin, baik sebagai anggota polisi (meski sudah purnawirawan) maupun sebagai praktisi penanganan terorisme sekaligus sebagai seseorang yang senang menulis. Lewat buku yang ditulisnya ini, Hamidin memberi gambaran tentang bagaimana seorang mesti berkiprah, setelah tidak lagi menekuni profesinya (sebagai polisi). Apa yang mesti dilakukan?
Sejauh mana mentalitas dan sentuhan seorang yang dulunya pernah menjadi polisi tetap bisa menjaga mentalitasnya ketika ia bergerak di ruang-ruang baru. Intinya, bagaimana laku yang bertumpu pada kedisiplinan dan insting sebagai aparat penegak hukum tetap dipertahankan ketika melibatkan diri dalam perbincangan publik.
baca juga: Taliban dan Terorisme di Indonesia
Hamidin menyampaikan, bahwa buku “Wajah Baru Terorisme” merupakan kumpulan tulisan yang dihimpun dari catatan-catatannya. Waktu yang paling banyak digunakan untuk menyelesaikan buku ini adalah saat ia menduduki jabatan sebagai Deputi Kerjasama Internasional BNPT. Dalam perjalanan menuju dan pulang dari negara-negara Afrika, Eropa, Amerika, Asia, salah satunya Tiongkok, dan berbagai negara lain.
Kerap kali Hamidin menggunakan waktu di atas pesawat untuk menyelesaikan satu persatu tulisannya. Dan tentunya, bagi yang senang bepergian dan hobi menulis, terlebih yang rajin membuat catatan, kebiasaan Hamidin ini-yang senantiasa menyempatkan waktu untuk menulis positif sekali untuk ditiru.
“Menulis itu harus dijadikan kebiasaan. Tidak mesti menunggu lama dulu, baru menulis. Ide atau gagasan itu sudah ada di dalam pikiran kita, jadi tulis saja. Dan untuk menulis kita juga harus rajin membaca, supaya banyak referensi untuk bahan tulisan. Baca tentang apa saja sepanjang itu positif,” ujar Koordinator Para Ahli Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP) ini.
Selain menulis, mantan Kapolda Sulsel dan Kapolda NTT ini ternyata juga hobi melukis. Lebih dari seratusan lukisan beraliran natural hingga abstrak dihasilkan oleh pria kelahiran Muara Siban, Pagaralam, Sumatera Selatan ini. “Sama halnya dengan melukis, menulis itu juga ada seninya yang butuh sentuhan jiwa dan perasaan,” katanya.
Hamidin mengaku, hobi melukis sudah dilakoninya sejak kecil, saat duduk di bangku sekolah dasar (SD). Bahkan, saat menjabat Kapolda Sulsel, lukisannya pernah laku seharga Rp200 juta. “Waktu itu lukisan saya dilelang. Uang hasil lelang lukisan itu saya sumbangkan semuanya ke korban gempa Palu,” tandasnya.
Hamidin Aji Amin (topi koboi) panen jeruk di kampung halamannya,
Kota Pagaralam, Provinsi Sumatera Selatan.
Tentang hubungan antara profesi seseorang, seni dan keindahan, Hamidin pernah menulis di dinding IG-nya @hamidin_ajiamin. “Ada pertanyaan apakah profesi dan seni itu ada hubungannya? Pertanyaan yang unik, susah dijawab. Dan tentu, hanya seniman itu sendiri yang bisa menjawab. Bisa dibayangkan di Prancis dulu konon sebagian algojo pada era Raja Louis ke-16 dan Maria Antoinete, yang biasa menurunkan rantai gouletine, memenggal kepala orang yang divonis mati, sebagian mereka mempunyai hobby melukis dan berdansa,” tulis Hamidin.
“Mungkin kita juga masih ingat siapa Rembrant Harmenzoon van Rijn seorang seniman grafis asal Belanda. Kisah hidup dan cintanya bersama Saskia Nan Uylernburgh dengan romantisme mereka yang menikah tahun 1633. Setelah kematian Saskia yang berumur 29 tahun merubah karakter lukisannya Rembrant mengatakan dunia ini sadis. Tapi malah lukisannya kian terkenal.”
“Jadi seorang seniman tidak selalu identik dengan kelembutan. Tapi bagiku seni adalah seni, kehidupan yang keras tidak akan mempengaruhi kemampuan melakukan hal-hal seni. Malah kala galau, kala melihat dunia gonjang ganjing, profesimu dihujat…yang terindah adalah melakukan perbuatan yang penuh seni. Biarlah dunia keras, kekejaman di luar sana sadis, saling bunuh membunuh, saling fitnah, hoaking…yang penting kuas dan cat ini tetap bergoyang dan bergerak sesuai dengan naluri yang senantiasa indah…”
“Kapan-kapan kita ngobrol lagi,” kata Hamidin menutup perbincangannya dan berpamitan. Di sela obrolan santai malam itu, ia berkesempatan memberi kenang-kenangan sebuah buku berjudul “Wajah Baru Terorisme”.
Sekilas buku bersampul merah setebal 252 halaman karyanya itu, menarik untuk dibaca. Ini karena judulnya yang menggoda dan membuat orang penasaran untuk bertanya tentang bagaimana sesungguhnya wajah baru terorisme itu. Rasa penasaran makin berkelindan lantaran Hamidin seorang praktisi penanganan terorisme, yang pastinya paham betul tentang persoalan terorisme.
“Mempelajari perkembangan terorisme tentu akan menjadi lebih menarik apabila kita ikut terlibat secara emosional dan ambil bagian dalam proses penanganannya, khususnya pada perspektif pendekatan lunak-nonpro justitia. Mendengar sebuah kuliah atau ceramah tentang terorisme tentu akan berbeda dengan mendengar langsung dari orang-orang yang pernah terlibat dalam tindakan mengerikan tersebut.”
Pengantar yang digoreskan Hamidin Aji Amin di bukunya tersebut secara eksplisit mengajak masyarakat Tanah Air, lebih luas lagi masyarakat dunia, untuk bersama-sama bergandengan tangan terlibat dalam penanganan terorisme . Keterlibatan itu bisa dimulai dari membaca dan memahami buku yang dihadirkannya ini.
baca juga: Membaca Terorisme Lewat Perspektif Pendekatan Lunak-Nonpro Justitia
Sebagai sosok yang memiliki basic penanganan terorisme, tentu Hamidin dengan mudah membedah dan memetakan persoalan terorisme Indonesia. Berkat pengalamannya itu pula, ia kerap bepergian keluar negeri untuk berbicara tentang penanganan terorisme di forum-forum besar internasional.
Hamidin Aji Amin menjadi pembicara di Rapat Koordinasi Fungsi Imigrasi
Perwakilan RI di Seoul, Korea Selatan tahun 2018.
“Cita-cita saya itu sebenarnya ingin jadi diplomat, bukan polisi. Waktu kecil saya terinspirasi Menlu Adam Malik yang dulu sering tampil di televisi. Waktu itu saya berpikir hebat sekali bapak ini, bisa bicara di forum-forum internasional, bisa ke luar negeri. Tapi walau tidak jadi diplomat, saya tetap bisa ke luar negeri, keliling ke banyak negara. Ini semua berkat jadi polisi. Dan ini sudah jalan Tuhan, tinggal kita bersyukur dan menjalaninya dengan baik,” ujar Hamidin.
Hamidin menceritakan, semasa aktif menjadi anggota polisi, hampir semua tugas dan tanggung jawabnya dilaksanakan pada tataran operasional. Lulusan Akpol 1987 ini lebih banyak berpengalaman dalam bidang Brigade Mobil (Brimob). Dari jabatan Kasat Brimob Polda Sulawesi Utara pada 2000 hingga Direktur Pencegahan BNPT pada 2015, dan Deputi III Bidang Kerja Sama Internasional BNPT pada 2017 ia laksanakan. Terakhir, sebelum menjabat Kapolda NTT pada 2 September 2019, Hamidin selama delapan bulan menjabat Kapolda Sulawesi Selatan (Sulsel).
Selama memegang jabatan-jabatan tersebut, banyak prestasi dan kasus besar yang ditangani. Mulai dari menjadi Kapolsek pertama untuk pos perbatasan di Entikong Kalimantan Barat saat ketegangan antara Indonesia dan Malaysia, memimpin operasi Poso saat menjabat Kasubden Penindak Densus 88, menangani kasus Antasari Azhar saat menjabat Kapolres Metro Tangerang, dan juga menangani demonstrasi Kerbau SiBuYa saat bertugas sebagai Kapolres Metro Jakarta Pusat di masa Presiden SBY.
Buku Wajah Baru Terorisme
Kembali ke soal penanganan terorisme, Hamidin mengatakan, penyebaran radikalisme dan terorisme dari waktu ke waktu mengalami perubahan, baik sejak zaman pasca kemerdekaan hingga zaman bom bali dan sampai zaman sekarang ini. Karenanya ia berharap media tidak melakukan glorifikasi dan produkasi terhadap isu radikalisme dan terorisme yang mengancam keutuhan bangsa.
Hamidin Aji Amin (kanan) menandatangi buku “Wajah Baru Terorisme”
yang diberikannya kepada seorang temannya.
"Bicara radikalisme dan terorisme hari ini, tidak hanya menimpa kelompok tertentu yang basically sudah radikal, tetapi ancaman ini bisa datang juga di tengah tengah keluarga dan kelompok," ujar pria kelahiran 17 Oktober 1962 ini.
Buku “Wajah Baru Terorisme” karya Hamidin, berisi kumpulan tulisan informatif dan edukatif yang juga didasari oleh pengalaman empiris Hamidin dalam berinteraksi langsung dengan napi serta mantan napi terorisme, yang ia kumpulkan dari Pusat Media Damai Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dan sebagian ia dibagikan di kolom opini media cetak selama bertugas di kewilayahan.
baca juga: Menjinakkan Terorisme
Hamidin menceritakan detil proses berikut hasil komunikasi dan dialog dengan pelaku terorisme, apalagi dengan pelaku yang kooperatif akan memberikan pemahaman utuh tentang lika-liku perjalanan terorisme. Namun sebaliknya, apabila terjadi penolakan dalam berdialog, kegigihan akan menjadi kata kunci. Itulah yang penulis alami dan lakukan selama bertahun-tahun.
Hamidin mengaku banyak berinteraksi dengan mantan pelaku dan orang-orang yang terlibat langsung dengan radikalisme di Indonesia serta beberapa negara lain yang sedang menangani orang-orang Indonesia yang terlibat radikalisme terorisme di negaranya. Setidaknya hampir seluruh lembaga permasyarakatan (lapas) di Tanah Air yang di dalamnya ada tahanan teroris pernah didatanginya. Begitu pula mereka yang telah kembali ke masyarakat setelah menjalani hukuman pidana.
Belajar dari pengalaman selama berinteraksi dengan napi dan mantan napi terorisme, didukung pengalamannya selama menjadi Kepala Unit dan Kepala Sub-Detasemen Penindakan di Densus 88 Anti-Teror Polri, serta menjadi Direktur Pencegahan di BNPT, ia lalu membulatkan hati menuangkan pengalamannya itu dalam buku ini.
Hamidin Aji Amin (tengah) dalam suatu kesempatan acara saat masih aktif di kepolisian.
Secara umum, buku ini banyak menceritakan bagaimana proses radikalisasi terjadi dalam lingkup lokal, regional, dan global. Proses-proses identifikasi, indoktrinasi, dan jihadisasi yang terjadi melalui proses interaksi dalam pertalian keluarga, ketokohan, patron guru dan murid, serta proses pertemanan, banyak juga disinggung. Begitu pula dengan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi yang faktanya telah turut mengambil peran dalam proses radikalisasi maya dan juga menjadi lahan subur penyebaran hoaks.
Polarisasi dan penyebaran radikalisme telah menjadi fakta yang tidak terbantahkan. Penggunaan cryptocurrency yang memiliki potensi dan pernah digunakan di Indonesia juga dikupas dalam buku ini. Untuk menambah wawasan tentang gerakan terorisme nasional, regional, dan global, penulis juga membahas organisasi terorisme masa lalu dan terorisme global kekinian, termasuk tentang tokoh-tokoh luar negeri dan tokoh sentral lokal.
Merawat Bakat Menulis dan Melukis
Buku “Wajah Baru Terortisme” ibarat tuturan yang menjelma tulisan. Nyata sekali, Hamidin begitu piawai menuangkan hasrat dan kegelisahannya berikut ilmu dan pengalamannya tentang persoalan terorisme dalam bentuk buku. Kelenturan menulis ini lebih karena ia begitu kukuh untuk tetap setia menulis, terus menjaga dan merawat bakat menulisnya di tengah seabrek kesibukannya.
baca juga: Mendekap Para Korban Terorisme Seutuhnya
Dalam menulis kita pasti pernah mengalami titik jenuh dan bosan. Tidak bisa menulis apa pun, tidak ada satu kalimat pun yang bisa terangkai. Namun sepertinya tidak demikian bagi Mahidin Aji Amin. Kentara sekali, kehadiran buku “Wajah Baru Terorisme” sebagai cerminan kegigihan dan gairah Mahidin dalam menulis. Sesibuk apapun, purnawirawan polisi yang juga praktisi penanganan terorisme ini enteng saja menulis. Menulis seperti sudah menjadi nafas hidup Hamidin.
“Dulu waktu masih muda, saya sering kirim tulisan cerpen ke majalah remaja, namanya Majalah Gadis. Dan sering dimuat. Itu senang sekali kalo tulisan kita dimuat, terus dapat bayaran. Dulu bayarannya masih lewat wesel (instrumen pembayaran yang digunakan dalam aktivitas perbankan),” kenang Hamidin tertawa renyah.
Ide menulis bisa datang dari mana saja, dari penglihatan, pendengaran, bahkan perasaan. Ide atau gagasan tersebut harus diikat dengan segera menuliskannya, atau kapan saja pada saat ada kesempatan agar gagasan yang melintas tidak menguap begitu saja. Sepertinya kebiasaan itulah yang kerap dilakukan Hamidin Aji Amin, hingga tak heran jika tulisan-tulisannya banyak bertebaran terutama di media massa dan ia bukukan.
Melukis salah satu hobi Hamidin Aji Amin di samping menulis dan membaca buku.
Menghasilkan sebuah karya berupa tulisan apalagi buku akan menjadi jejak sejarah. Dengan menulis seseorang dapat dikenal oleh masyarakat dan dikenang dalam sejarah keumatan manusia. Dan sejatinya kehidupan mulai dari bangun tidur sampai tidur lagi dapat menjadi cerita yang asyik untuk ditulis. Menulis adalah ungkapan jiwa, sarana mengekspresikan diri, dan menuangkan kegelisahan. Menulis juga tak harus baku, disesuaikan saja dengan kemampuan dan karakteristik kita.
Dalam sosiologi, ada istilah habitus, yakni cara orang memandang dan merespons dunia sosial yang mereka tinggali, melalui kebiasaan, keterampilan, dan watak pribadi mereka. Orang-orang dengan latar belakang budaya yang sama (kelas sosial, agama, dan kebangsaan, kelompok etnis, pendidikan, dan profesi) berbagi kebiasaan sebagai cara budaya kelompok dan sejarah pribadi membentuk pikiran seseorang; akibatnya, kebiasaan seseorang mempengaruhi dan membentuk tindakan sosial orang tersebut.
Menggunakan istilah filsuf Perancis, Pierre Boudiue, habitus adalah nilai-nilai sosial yang dihayati seseorang, terbentuk melalui pergulatan hidup yang panjang, lalu secara laten membentuk watak, ciri, dan perilaku orang tersebut. Habitus begitu kuat tertanam sehingga secara refleks akan mengarahkan bagaimana seseorang bersikap dan memandang permasalahan.
Sepertinya, habitus inilah yang menjelma di diri dan perilaku Hamidin Aji Amin, baik sebagai anggota polisi (meski sudah purnawirawan) maupun sebagai praktisi penanganan terorisme sekaligus sebagai seseorang yang senang menulis. Lewat buku yang ditulisnya ini, Hamidin memberi gambaran tentang bagaimana seorang mesti berkiprah, setelah tidak lagi menekuni profesinya (sebagai polisi). Apa yang mesti dilakukan?
Sejauh mana mentalitas dan sentuhan seorang yang dulunya pernah menjadi polisi tetap bisa menjaga mentalitasnya ketika ia bergerak di ruang-ruang baru. Intinya, bagaimana laku yang bertumpu pada kedisiplinan dan insting sebagai aparat penegak hukum tetap dipertahankan ketika melibatkan diri dalam perbincangan publik.
baca juga: Taliban dan Terorisme di Indonesia
Hamidin menyampaikan, bahwa buku “Wajah Baru Terorisme” merupakan kumpulan tulisan yang dihimpun dari catatan-catatannya. Waktu yang paling banyak digunakan untuk menyelesaikan buku ini adalah saat ia menduduki jabatan sebagai Deputi Kerjasama Internasional BNPT. Dalam perjalanan menuju dan pulang dari negara-negara Afrika, Eropa, Amerika, Asia, salah satunya Tiongkok, dan berbagai negara lain.
Kerap kali Hamidin menggunakan waktu di atas pesawat untuk menyelesaikan satu persatu tulisannya. Dan tentunya, bagi yang senang bepergian dan hobi menulis, terlebih yang rajin membuat catatan, kebiasaan Hamidin ini-yang senantiasa menyempatkan waktu untuk menulis positif sekali untuk ditiru.
“Menulis itu harus dijadikan kebiasaan. Tidak mesti menunggu lama dulu, baru menulis. Ide atau gagasan itu sudah ada di dalam pikiran kita, jadi tulis saja. Dan untuk menulis kita juga harus rajin membaca, supaya banyak referensi untuk bahan tulisan. Baca tentang apa saja sepanjang itu positif,” ujar Koordinator Para Ahli Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP) ini.
Selain menulis, mantan Kapolda Sulsel dan Kapolda NTT ini ternyata juga hobi melukis. Lebih dari seratusan lukisan beraliran natural hingga abstrak dihasilkan oleh pria kelahiran Muara Siban, Pagaralam, Sumatera Selatan ini. “Sama halnya dengan melukis, menulis itu juga ada seninya yang butuh sentuhan jiwa dan perasaan,” katanya.
Hamidin mengaku, hobi melukis sudah dilakoninya sejak kecil, saat duduk di bangku sekolah dasar (SD). Bahkan, saat menjabat Kapolda Sulsel, lukisannya pernah laku seharga Rp200 juta. “Waktu itu lukisan saya dilelang. Uang hasil lelang lukisan itu saya sumbangkan semuanya ke korban gempa Palu,” tandasnya.
Hamidin Aji Amin (topi koboi) panen jeruk di kampung halamannya,
Kota Pagaralam, Provinsi Sumatera Selatan.
Tentang hubungan antara profesi seseorang, seni dan keindahan, Hamidin pernah menulis di dinding IG-nya @hamidin_ajiamin. “Ada pertanyaan apakah profesi dan seni itu ada hubungannya? Pertanyaan yang unik, susah dijawab. Dan tentu, hanya seniman itu sendiri yang bisa menjawab. Bisa dibayangkan di Prancis dulu konon sebagian algojo pada era Raja Louis ke-16 dan Maria Antoinete, yang biasa menurunkan rantai gouletine, memenggal kepala orang yang divonis mati, sebagian mereka mempunyai hobby melukis dan berdansa,” tulis Hamidin.
“Mungkin kita juga masih ingat siapa Rembrant Harmenzoon van Rijn seorang seniman grafis asal Belanda. Kisah hidup dan cintanya bersama Saskia Nan Uylernburgh dengan romantisme mereka yang menikah tahun 1633. Setelah kematian Saskia yang berumur 29 tahun merubah karakter lukisannya Rembrant mengatakan dunia ini sadis. Tapi malah lukisannya kian terkenal.”
“Jadi seorang seniman tidak selalu identik dengan kelembutan. Tapi bagiku seni adalah seni, kehidupan yang keras tidak akan mempengaruhi kemampuan melakukan hal-hal seni. Malah kala galau, kala melihat dunia gonjang ganjing, profesimu dihujat…yang terindah adalah melakukan perbuatan yang penuh seni. Biarlah dunia keras, kekejaman di luar sana sadis, saling bunuh membunuh, saling fitnah, hoaking…yang penting kuas dan cat ini tetap bergoyang dan bergerak sesuai dengan naluri yang senantiasa indah…”
(hdr)