Sempurnakan Pembelajaran Jarak Jauh dengan Gerakan Sosial
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pemerintah telah mengizinkan sekolah di zona hijau dan kuning melakukan pembelajaran tatap muka di sekolah. Kendati demikian, di lapangan masih banyak kendala, terutama minimnya infrastruktur untuk melindungi siswa dari virus corona. Pembelajaran jarak jauh (PJJ) pun masih menjadi opsi terbaik bagi para siswa selama musim pandemi Covid-19.
Belum siapnya sekolah membuka sekolah tatap muka dikemukakan oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Kesimpulan tersebut didapatkan setelah KPAI bekerja sama dengan KPAD dan jaringan guru melakukan pengawasan langsung di 27 sekolah-sekolah unggulan di berbagai wilayah di Indonesia.
KPAI mengawasi secara langsung sekolah-sekolah di wilayah DKI Jakarta, Kota Bogor, Kabupaten Bogor, Kota Depok, Kota Bekasi, Kota Tangerang, Kota Tangerang Selatan, dan lain-lain. Ada juga wilayah-wilayah yang pengawasannya dilakukan oleh KPAD seperti di Sumatera Selatan, dan ada juga menggunakan jaringan guru seperti di Bengkulu dan Mataram. (Baca: Konflik Belarusia Bisa Memicu Perang Eropa)
Hasil pengawasan langsung ke 27 sekolah menunjukkan bahwa mayoritas satuan pendidikan mulai dari jenjang SD sampai SMA/SMK belum siap melakukan proses pembelajaran tatap muka di era pandemi. Catatan-catatan kekurangan dari daftar periksa KPAI, di antaranya 74% Satuan pendidikan belum membentuk Tim Gugus Tugas Covid-19 di level satuan pendidikan dengan surat keputusan (sk) kepala sekolah, dilengkapi dengan pembagian tugas yang jelas dan rinci, seperti penyiapan infrastruktur, penyiapan berbagai SOP layanan di dalam masa kenormalan baru. "Ada 26% yang sudah membuat tim gugus tugas penanganan Covid-19 di level sekolah," ujar Komisioner KPAI Bidang Pendidikan Retno Listyarti.
Berbagai sarana untuk penunjang protokol kesehatan seperti alat cuci tangan seperti wastafel belum sebanding dengan jumlah siswa. Umumnya wastafel sudah lama, sedangkan wastafel yang baru dibangun dekat gerbang sekolah, rata-rata lima tambahan wastafel.
Ada sekitar 22,22% sekolah yang sudah menyiapkan wastafel di setiap depan ruang kelas. Selanjutnya, hanya 13% satuan pendidikan yang sudah menyiapkan bilik disinfektan, yaitu di SMKN 11 Kota Bandung, SMAN 1 Kota Subang, dan SMPN 2 Kota Bekasi.
Bahkan, untuk SMKN 11 disinfektan tidak hanya untuk manusia, tetapi juga kendaraan bermotor yang masuk gerbang sekolah. Adapun 87% satuan pendidikan yang diawasi belum menyediakan, padahal banyak anak menuju sekolah dengan kendaraan umum. (Baca juga: Biar Enggak Resesi, Sri Mulyani Kebut Belanja Pemerintah)
KPAI mendorong penyusunan meja kursi dan nomor absen anak ditempel di setiap meja sehingga anak tidak akan berpindah-pindah duduk. Selain itu, kursi meja sebaiknya dikurangi sesuai jumlahnya yaitu separuh siswa. Karena jika masih dibiarkan di kelas dan hanya di tandai silang, kemungkinan besar anak akan duduk berdekatan untuk berbincang dengan temannya akan terjadi, padahal wajib jaga jarak.
Dari hasil pengawasan, 44,44% sudah melakukan penyusunan meja kursi seperti itu, namun 55,56% belum. Bahkan, ada yang sama sekali belum mengubah posisi meja kursi seperti sebelum pandemi.
Selain itu, rapid test apalagi tes PCR, belum dilakukan oleh dinas pendidikan setempat, meskipun di beberapa sekolah yang diawasi para gurunya sudah masuk ke sekolah setiap hari sejak 13 Juli 2020. Para guru wajib absen dan memberikan pembelajaran jarak jauh (PJJ) secara daring dari sekolah. Misalnya SMPN 2 Kota Bekasi dan SMPN 7 Kota Bogor.
Kendala PJJ
PJJ sejauh ini masih menjadi pilihan terbaik untuk keamanan guru dan siswa selama musim pandemi. Kendati demikian, banyak kendala PJJ yang membuat para peserta didik kesulitan mengikuti proses belajar mengajar. Kendala-kendala tersebut terutama berupa kurangnya kuota data dan belum meratanya akses internet di Indonesia.
Belum lagi, tidak semua peserta didik mempunyai smartphone atau gawai yang menjadi media utama proses PJJ. Kendala ini disampaikan secara terus terang oleh Wali Kota Bogor Bima Arya saat melakukan sidak di beberapa sekolah di wilayahnya. (Baca juga: Demi Internet Gratis, Puluhan Siswa SD Belajar di Koramil 1402)
“Sidak hari ini mencerminkan realitas yang ada. Saya melihat secara langsung kondisi dan persoalan di lapangan seperti apa,” kata Bima seusai mengunjungi SDN Genteng yang berlokasi di Kelurahan Genteng, Kecamatan Bogor Selatan, Senin (24/08/2020) pagi.
Bima mengungkapkan temuan adanya siswa yang tidak punya gawai, keterbatasan kuota, hingga keterbatasan akses internet merupakan cerminan betapa pandemi Covid-19 begitu berdampak pada proses kelangsungan pendidikan di Indonesia. Dia menilai kondisi saat ini merupakan darurat pendidikan. Untuk itu dia menghimbau semua pihak untuk bergerak menyikapi kondisi tersebut.
"Ini di Kota Bogor, belum berbicara di daerah yang lebih jauh. Pemerintah Kota Bogor akan mempersiapkan langkah-langkah cepat untuk merespons persoalan dan kondisi yang ada," katanya.
Wakil Ketua Komisi X DPR Abdul Fikri mengatakan, tampaknya dengan anggaran yang dikelola Kemendikbud sebesar Rp70 triliun selama 2020 dan Rp75 triliun untuk 2021 tidak mampu mengakomodasi kesulitan belajar mengajar dengan PJJ. "Masalahnya masih sama gawai, kuota internet, jaringan dan listrik yang biarpet di daerah tertentu,” paparnya.
Politikus PKS ini menuturkan, ada anggaran pendidikan senilai Rp300 triliun tetapi anggaran itu ditransfer ke daerah. Sehingga untuk memaksimalkan anggaran itu maka harus ada sinergi yang baik antara pusat dan daerah. Terlebih pendidikan ini sesuai dengan UU 23/2014 adalah urusan wajib yang konkuren. "Karenanya problem pendidikan bila tak segera diatasi akan berakibat gaduh dan kisruhnya masyarakat Indonesia secara keseluruhan,” ujarnya. (Baca juga: Dua Sejoli yang Bunuh Diri di Sungai Musi Ditemukan Tak Bernyawa)
Maka dari itu, tegasnya, sektor pendidikan ini harus melibatkan masyarakat dalam segala hal. Apalagi jenis sekolah formal, hanya jenjang SD saja yang jumlah negeri lebih banyak dari swasta. Sedangkan jenjang lain untuk swasta jauh lebih banyak jumlahnya dari negeri.
Fikri mengusulkan agar Gugus Tugas Tim Percepatan Penanganan Covid-19 mengalokasikan anggaran untuk permasalahan pendidikan yang timbul karena pandemic ini dan bukan hanya mengatasi persoalan dari segi kesehatan dan perekonomian saja. Dia menuturkan, keterlibatan komunitas peduli pendidikan bisa dilakukan dengan menyediakan titik-titik Wi-Fi gratis untuk membantu siswa belajar. Namun, lokasi Wi-Fi ini tidak hanya disediakan oleh komunitas, namun juga pemerintah dan pemerintah daerah sehingga bisa mengurangi kerumunan.
Dia menjelaskan, titik Wi-Fi gratis bisa disediakan di tempat ibadah, poskamling, balai RT dan RW, rumah-rumah pejabat publik, bahkan kantor partai pun bisa jadi titik Wi-Fi gratis untuk mendukung PJJ. "Dan beban juga semakin ringan karena ditanggung bersama,” katanya.
Jika memungkinkan, tambahnya, bisa dibuka donasi untuk mengumpulkan bantuan telepon seluler yang akan dibagikan ke pihak yang membutuhkan. Fikri mengatakan, bantuan apa saja bisa dikumpulkan dan disalurkan kepada peserta didik yang saat ini kesulitan belajar agar pandemi ini tidak membuat mereka putus sekolah.
Sementara Ketua Umum PB PGRI Unifah Rosyidi setuju dengan konsep gotong royong untuk membantu peserta didik dalam menghadapi PJJ ini. Dia menuturkan, diperlukan relawan untuk mewujudkan gotong-royong dari seluruh lapisan masyarakat. Dengan begitu, ada pihak yang bisa membantu menyambungkan sinyal internet ke sekolah. Ataupun pihak-pihak yang bisa mengumpulkan donasi telepon seluler bekas layak pakai ke siswa yang tidak mempunyai gawai. (Lihat videonya: Pelaku Ganjal ATM Babak Belur Dihakimi Massa di Banten)
Unifah menuturkan, di beberapa desa di sejumlah daerah sudah banyak pihak yang membuat anjungan belajar untuk membantu siswa belajar. Dan dia sangat mengapresiasi program tersebut. Dia juga melihat CSR-CSR dari perusahaan bisa juga untuk membantu siswa dalam PJJ ini. (Neneng Zubaidah)
Belum siapnya sekolah membuka sekolah tatap muka dikemukakan oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Kesimpulan tersebut didapatkan setelah KPAI bekerja sama dengan KPAD dan jaringan guru melakukan pengawasan langsung di 27 sekolah-sekolah unggulan di berbagai wilayah di Indonesia.
KPAI mengawasi secara langsung sekolah-sekolah di wilayah DKI Jakarta, Kota Bogor, Kabupaten Bogor, Kota Depok, Kota Bekasi, Kota Tangerang, Kota Tangerang Selatan, dan lain-lain. Ada juga wilayah-wilayah yang pengawasannya dilakukan oleh KPAD seperti di Sumatera Selatan, dan ada juga menggunakan jaringan guru seperti di Bengkulu dan Mataram. (Baca: Konflik Belarusia Bisa Memicu Perang Eropa)
Hasil pengawasan langsung ke 27 sekolah menunjukkan bahwa mayoritas satuan pendidikan mulai dari jenjang SD sampai SMA/SMK belum siap melakukan proses pembelajaran tatap muka di era pandemi. Catatan-catatan kekurangan dari daftar periksa KPAI, di antaranya 74% Satuan pendidikan belum membentuk Tim Gugus Tugas Covid-19 di level satuan pendidikan dengan surat keputusan (sk) kepala sekolah, dilengkapi dengan pembagian tugas yang jelas dan rinci, seperti penyiapan infrastruktur, penyiapan berbagai SOP layanan di dalam masa kenormalan baru. "Ada 26% yang sudah membuat tim gugus tugas penanganan Covid-19 di level sekolah," ujar Komisioner KPAI Bidang Pendidikan Retno Listyarti.
Berbagai sarana untuk penunjang protokol kesehatan seperti alat cuci tangan seperti wastafel belum sebanding dengan jumlah siswa. Umumnya wastafel sudah lama, sedangkan wastafel yang baru dibangun dekat gerbang sekolah, rata-rata lima tambahan wastafel.
Ada sekitar 22,22% sekolah yang sudah menyiapkan wastafel di setiap depan ruang kelas. Selanjutnya, hanya 13% satuan pendidikan yang sudah menyiapkan bilik disinfektan, yaitu di SMKN 11 Kota Bandung, SMAN 1 Kota Subang, dan SMPN 2 Kota Bekasi.
Bahkan, untuk SMKN 11 disinfektan tidak hanya untuk manusia, tetapi juga kendaraan bermotor yang masuk gerbang sekolah. Adapun 87% satuan pendidikan yang diawasi belum menyediakan, padahal banyak anak menuju sekolah dengan kendaraan umum. (Baca juga: Biar Enggak Resesi, Sri Mulyani Kebut Belanja Pemerintah)
KPAI mendorong penyusunan meja kursi dan nomor absen anak ditempel di setiap meja sehingga anak tidak akan berpindah-pindah duduk. Selain itu, kursi meja sebaiknya dikurangi sesuai jumlahnya yaitu separuh siswa. Karena jika masih dibiarkan di kelas dan hanya di tandai silang, kemungkinan besar anak akan duduk berdekatan untuk berbincang dengan temannya akan terjadi, padahal wajib jaga jarak.
Dari hasil pengawasan, 44,44% sudah melakukan penyusunan meja kursi seperti itu, namun 55,56% belum. Bahkan, ada yang sama sekali belum mengubah posisi meja kursi seperti sebelum pandemi.
Selain itu, rapid test apalagi tes PCR, belum dilakukan oleh dinas pendidikan setempat, meskipun di beberapa sekolah yang diawasi para gurunya sudah masuk ke sekolah setiap hari sejak 13 Juli 2020. Para guru wajib absen dan memberikan pembelajaran jarak jauh (PJJ) secara daring dari sekolah. Misalnya SMPN 2 Kota Bekasi dan SMPN 7 Kota Bogor.
Kendala PJJ
PJJ sejauh ini masih menjadi pilihan terbaik untuk keamanan guru dan siswa selama musim pandemi. Kendati demikian, banyak kendala PJJ yang membuat para peserta didik kesulitan mengikuti proses belajar mengajar. Kendala-kendala tersebut terutama berupa kurangnya kuota data dan belum meratanya akses internet di Indonesia.
Belum lagi, tidak semua peserta didik mempunyai smartphone atau gawai yang menjadi media utama proses PJJ. Kendala ini disampaikan secara terus terang oleh Wali Kota Bogor Bima Arya saat melakukan sidak di beberapa sekolah di wilayahnya. (Baca juga: Demi Internet Gratis, Puluhan Siswa SD Belajar di Koramil 1402)
“Sidak hari ini mencerminkan realitas yang ada. Saya melihat secara langsung kondisi dan persoalan di lapangan seperti apa,” kata Bima seusai mengunjungi SDN Genteng yang berlokasi di Kelurahan Genteng, Kecamatan Bogor Selatan, Senin (24/08/2020) pagi.
Bima mengungkapkan temuan adanya siswa yang tidak punya gawai, keterbatasan kuota, hingga keterbatasan akses internet merupakan cerminan betapa pandemi Covid-19 begitu berdampak pada proses kelangsungan pendidikan di Indonesia. Dia menilai kondisi saat ini merupakan darurat pendidikan. Untuk itu dia menghimbau semua pihak untuk bergerak menyikapi kondisi tersebut.
"Ini di Kota Bogor, belum berbicara di daerah yang lebih jauh. Pemerintah Kota Bogor akan mempersiapkan langkah-langkah cepat untuk merespons persoalan dan kondisi yang ada," katanya.
Wakil Ketua Komisi X DPR Abdul Fikri mengatakan, tampaknya dengan anggaran yang dikelola Kemendikbud sebesar Rp70 triliun selama 2020 dan Rp75 triliun untuk 2021 tidak mampu mengakomodasi kesulitan belajar mengajar dengan PJJ. "Masalahnya masih sama gawai, kuota internet, jaringan dan listrik yang biarpet di daerah tertentu,” paparnya.
Politikus PKS ini menuturkan, ada anggaran pendidikan senilai Rp300 triliun tetapi anggaran itu ditransfer ke daerah. Sehingga untuk memaksimalkan anggaran itu maka harus ada sinergi yang baik antara pusat dan daerah. Terlebih pendidikan ini sesuai dengan UU 23/2014 adalah urusan wajib yang konkuren. "Karenanya problem pendidikan bila tak segera diatasi akan berakibat gaduh dan kisruhnya masyarakat Indonesia secara keseluruhan,” ujarnya. (Baca juga: Dua Sejoli yang Bunuh Diri di Sungai Musi Ditemukan Tak Bernyawa)
Maka dari itu, tegasnya, sektor pendidikan ini harus melibatkan masyarakat dalam segala hal. Apalagi jenis sekolah formal, hanya jenjang SD saja yang jumlah negeri lebih banyak dari swasta. Sedangkan jenjang lain untuk swasta jauh lebih banyak jumlahnya dari negeri.
Fikri mengusulkan agar Gugus Tugas Tim Percepatan Penanganan Covid-19 mengalokasikan anggaran untuk permasalahan pendidikan yang timbul karena pandemic ini dan bukan hanya mengatasi persoalan dari segi kesehatan dan perekonomian saja. Dia menuturkan, keterlibatan komunitas peduli pendidikan bisa dilakukan dengan menyediakan titik-titik Wi-Fi gratis untuk membantu siswa belajar. Namun, lokasi Wi-Fi ini tidak hanya disediakan oleh komunitas, namun juga pemerintah dan pemerintah daerah sehingga bisa mengurangi kerumunan.
Dia menjelaskan, titik Wi-Fi gratis bisa disediakan di tempat ibadah, poskamling, balai RT dan RW, rumah-rumah pejabat publik, bahkan kantor partai pun bisa jadi titik Wi-Fi gratis untuk mendukung PJJ. "Dan beban juga semakin ringan karena ditanggung bersama,” katanya.
Jika memungkinkan, tambahnya, bisa dibuka donasi untuk mengumpulkan bantuan telepon seluler yang akan dibagikan ke pihak yang membutuhkan. Fikri mengatakan, bantuan apa saja bisa dikumpulkan dan disalurkan kepada peserta didik yang saat ini kesulitan belajar agar pandemi ini tidak membuat mereka putus sekolah.
Sementara Ketua Umum PB PGRI Unifah Rosyidi setuju dengan konsep gotong royong untuk membantu peserta didik dalam menghadapi PJJ ini. Dia menuturkan, diperlukan relawan untuk mewujudkan gotong-royong dari seluruh lapisan masyarakat. Dengan begitu, ada pihak yang bisa membantu menyambungkan sinyal internet ke sekolah. Ataupun pihak-pihak yang bisa mengumpulkan donasi telepon seluler bekas layak pakai ke siswa yang tidak mempunyai gawai. (Lihat videonya: Pelaku Ganjal ATM Babak Belur Dihakimi Massa di Banten)
Unifah menuturkan, di beberapa desa di sejumlah daerah sudah banyak pihak yang membuat anjungan belajar untuk membantu siswa belajar. Dan dia sangat mengapresiasi program tersebut. Dia juga melihat CSR-CSR dari perusahaan bisa juga untuk membantu siswa dalam PJJ ini. (Neneng Zubaidah)
(ysw)