Refleksi 79 Tahun Kemerdekaan RI, Pieter Zulkifli: Korupsi Mewabah di Banyak Sektor
loading...
A
A
A
JAKARTA - Indonesia tepat menginjak usia 79 tahun pada 17 Agustus 2024. Sebagai negara berkembang dan memiliki sumber daya alam yang melimpah, Indonesia belum sepenuhnya menyadari potensi ekonominya.
Eks Ketua Komisi III DPR Pieter Cannys Zulkifli menilai, hal tersebut karena kombinasi berbagai faktor, termasuk korupsi, ketergantungan yang berlebihan pada ekspor komoditas, dan investasi yang tidak memadai dalam sumber daya manusia.
“Mengapa negara-negara kaya akan minyak seperti Venezuela justru mengalami krisis ekonomi yang berkepanjangan? Jawabannya mungkin lebih kompleks. Ketergantungan berlebihan pada satu komoditas, korupsi, dan kurangnya inovasi adalah beberapa faktor yang sering disebut sebagai kutukan sumber daya alam. Indonesia, dengan kekayaan alam yang melimpah, juga tidak luput dari ancaman kutukan ini,” kata Pieter, Sabtu (3/8/2024).
Selama beberapa dekade, kata Pieter, Indonesia telah bergulat dengan kutukan sumber daya, sebuah fenomena di mana negara-negara yang diberkahi dengan sumber daya alam yang melimpah sering kali gagal mencapai pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan pembangunan yang merata.
“Inilah paradoks Indonesia. Negeri yang diberkahi dengan sumber daya alam yang melimbah, namun relatif miskin dalam banyak hal lainnya. Seperti masih banyaknya penduduk berjuang melawan kemiskinan dan ketimpangan. Korupsi pun merajalela, tak terkecuali korupsi di sekotor sumber daya alam,” papar Pieter.
Pieter menjabarkan, kasus-kasus korupsi yang melibatkan sumber daya alam cukup banyak, mulai dari pertambangan ilegal, penyelundupan hasil hutan, hingga penyalahgunaan dana hutan untuk kepentingan pribadi. Hal ini menunjukkan betapa merajalelanya praktik korupsi di sektor ini.
“Korupsi di sektor sumber daya alam yang merajalela menyebabkan hilangnya potensi pendapatan negara dan merusak lingkungan,” kata Pieter.
Akar kutukan sumber daya alam Indonesia, lanjut Pieter, dapat ditelusuri kembali ke sejarah kolonialnya, ketika Belanda berfokus pada eksploitasi kekayaan alam Nusantara. Bahkan setelah merdeka, negara ini tetap sangat bergantung pada ekspor komoditas.
“Korupsi, yang mewabah di banyak sektor telah menyedot sebagian besar pendapatan dari sumber daya alam, sehingga negara kehilangan dana yang sangat dibutuhkan untuk infrastruktur, pendidikan, dan perawatan kesehatan. Selain itu, basis ekonomi yang sempit telah membuat Indonesia rentan terhadap fluktuasi harga komoditas global,” urai Pieter.
Pieter mengingatkan, apa yang pernah disampaikan oleh mantan PM Singapura Lee Kuan Yew, sosok yang sukses membangun Singapura menjadi negara maju, dia pernah mengkritik mentalitas masyarakat Indonesia yang terlalu bergantung pada sumber daya alam. “Mentalitas ini membuat kita kurang berinovasi dan kompetitif, terlena dalam rasa aman yang palsu,” ungkap Pieter.
Bagaimana agar terbebas dari kutukan sumber daya alam? Menurut Pieter, Indonesia harus melakukan diversifikasi ekonomi. Hal ini melibatkan pengembangan pertumbuhan di berbagai sektor seperti manufaktur, jasa, dan teknologi.
“Investasi besar-besaran dalam pendidikan dan pengembangan sumber daya manusia juga sangat penting untuk membangun tenaga kerja terampil yang mampu bersaing dalam ekonomi global. Memperkuat lembaga, mempromosikan transparansi, dan memerangi korupsi menjadi bagian penting lain yang wajib dilakukan,” beber Pieter.
Bagi Pieter, Indonesia seharusnya dapat mengambil inspirasi dari negara-negara seperti Norwegia, Singapura, dan bahkan Uni Emirat Arab yang telah berhasil mengelola sumber daya alam mereka dan mencapai tingkat pembangunan ekonomi yang tinggi.
Singapura, negara kota ini awalnya tidak memiliki sumber daya alam yang signifikan, namun berhasil menjadi salah satu pusat keuangan dan perdagangan terbesar di dunia melalui investasi besar-besaran dalam pendidikan, infrastruktur, dan teknologi.
Adapun Norwegia, meskipun memiliki cadangan minyak dan gas alam yang besar, namun berhasil memanfaatkan kekayaan alam tersebut untuk membangun dana pensiun terbesar di dunia, Sovereign Wealth Fund. Dana ini kemudian diinvestasikan dalam berbagai aset di seluruh dunia, sehingga mendiversifikasi perekonomian Norwegia dan mengurangi ketergantungan pada sektor energi.
Sedangkan Uni Emirat Arab (UEA) yang kaya minyak ini telah memulai diversifikasi ekonomi dengan serius. Abu Dhabi, misalnya, telah menginvestasikan dana minyaknya yang besar ke dalam sektor energi terbarukan, teknologi, dan pariwisata.
Lebih lanjut, Pieter menekankan, pada akhirnya, kemerdekaan adalah anugerah yang tak ternilai. Namun, kemerdekaan juga membawa tanggung jawab. Salah satunya, tangung jawab mengelola sumber daya alam sebaik-baiknya dan berkelanjutan.
“Jalan ke depan memang penuh tantangan, tetapi bukan berarti tidak dapat dilalui. Dengan perencanaan yang matang, kebijakan yang tepat, dan komitmen yang kuat, kita bisa keluar dari kutukan sumber daya alam dan membangun Indonesia yang lebih maju, adil, bermartabat, dan bebas dari korupsi,” pungkas Pieter.
Eks Ketua Komisi III DPR Pieter Cannys Zulkifli menilai, hal tersebut karena kombinasi berbagai faktor, termasuk korupsi, ketergantungan yang berlebihan pada ekspor komoditas, dan investasi yang tidak memadai dalam sumber daya manusia.
“Mengapa negara-negara kaya akan minyak seperti Venezuela justru mengalami krisis ekonomi yang berkepanjangan? Jawabannya mungkin lebih kompleks. Ketergantungan berlebihan pada satu komoditas, korupsi, dan kurangnya inovasi adalah beberapa faktor yang sering disebut sebagai kutukan sumber daya alam. Indonesia, dengan kekayaan alam yang melimpah, juga tidak luput dari ancaman kutukan ini,” kata Pieter, Sabtu (3/8/2024).
Selama beberapa dekade, kata Pieter, Indonesia telah bergulat dengan kutukan sumber daya, sebuah fenomena di mana negara-negara yang diberkahi dengan sumber daya alam yang melimpah sering kali gagal mencapai pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan pembangunan yang merata.
“Inilah paradoks Indonesia. Negeri yang diberkahi dengan sumber daya alam yang melimbah, namun relatif miskin dalam banyak hal lainnya. Seperti masih banyaknya penduduk berjuang melawan kemiskinan dan ketimpangan. Korupsi pun merajalela, tak terkecuali korupsi di sekotor sumber daya alam,” papar Pieter.
Pieter menjabarkan, kasus-kasus korupsi yang melibatkan sumber daya alam cukup banyak, mulai dari pertambangan ilegal, penyelundupan hasil hutan, hingga penyalahgunaan dana hutan untuk kepentingan pribadi. Hal ini menunjukkan betapa merajalelanya praktik korupsi di sektor ini.
“Korupsi di sektor sumber daya alam yang merajalela menyebabkan hilangnya potensi pendapatan negara dan merusak lingkungan,” kata Pieter.
Akar kutukan sumber daya alam Indonesia, lanjut Pieter, dapat ditelusuri kembali ke sejarah kolonialnya, ketika Belanda berfokus pada eksploitasi kekayaan alam Nusantara. Bahkan setelah merdeka, negara ini tetap sangat bergantung pada ekspor komoditas.
“Korupsi, yang mewabah di banyak sektor telah menyedot sebagian besar pendapatan dari sumber daya alam, sehingga negara kehilangan dana yang sangat dibutuhkan untuk infrastruktur, pendidikan, dan perawatan kesehatan. Selain itu, basis ekonomi yang sempit telah membuat Indonesia rentan terhadap fluktuasi harga komoditas global,” urai Pieter.
Pieter mengingatkan, apa yang pernah disampaikan oleh mantan PM Singapura Lee Kuan Yew, sosok yang sukses membangun Singapura menjadi negara maju, dia pernah mengkritik mentalitas masyarakat Indonesia yang terlalu bergantung pada sumber daya alam. “Mentalitas ini membuat kita kurang berinovasi dan kompetitif, terlena dalam rasa aman yang palsu,” ungkap Pieter.
Bagaimana agar terbebas dari kutukan sumber daya alam? Menurut Pieter, Indonesia harus melakukan diversifikasi ekonomi. Hal ini melibatkan pengembangan pertumbuhan di berbagai sektor seperti manufaktur, jasa, dan teknologi.
“Investasi besar-besaran dalam pendidikan dan pengembangan sumber daya manusia juga sangat penting untuk membangun tenaga kerja terampil yang mampu bersaing dalam ekonomi global. Memperkuat lembaga, mempromosikan transparansi, dan memerangi korupsi menjadi bagian penting lain yang wajib dilakukan,” beber Pieter.
Bagi Pieter, Indonesia seharusnya dapat mengambil inspirasi dari negara-negara seperti Norwegia, Singapura, dan bahkan Uni Emirat Arab yang telah berhasil mengelola sumber daya alam mereka dan mencapai tingkat pembangunan ekonomi yang tinggi.
Singapura, negara kota ini awalnya tidak memiliki sumber daya alam yang signifikan, namun berhasil menjadi salah satu pusat keuangan dan perdagangan terbesar di dunia melalui investasi besar-besaran dalam pendidikan, infrastruktur, dan teknologi.
Adapun Norwegia, meskipun memiliki cadangan minyak dan gas alam yang besar, namun berhasil memanfaatkan kekayaan alam tersebut untuk membangun dana pensiun terbesar di dunia, Sovereign Wealth Fund. Dana ini kemudian diinvestasikan dalam berbagai aset di seluruh dunia, sehingga mendiversifikasi perekonomian Norwegia dan mengurangi ketergantungan pada sektor energi.
Sedangkan Uni Emirat Arab (UEA) yang kaya minyak ini telah memulai diversifikasi ekonomi dengan serius. Abu Dhabi, misalnya, telah menginvestasikan dana minyaknya yang besar ke dalam sektor energi terbarukan, teknologi, dan pariwisata.
Lebih lanjut, Pieter menekankan, pada akhirnya, kemerdekaan adalah anugerah yang tak ternilai. Namun, kemerdekaan juga membawa tanggung jawab. Salah satunya, tangung jawab mengelola sumber daya alam sebaik-baiknya dan berkelanjutan.
“Jalan ke depan memang penuh tantangan, tetapi bukan berarti tidak dapat dilalui. Dengan perencanaan yang matang, kebijakan yang tepat, dan komitmen yang kuat, kita bisa keluar dari kutukan sumber daya alam dan membangun Indonesia yang lebih maju, adil, bermartabat, dan bebas dari korupsi,” pungkas Pieter.
(cip)