Ahmad Gaus Luncurkan 10 Video Pemikiran Denny JA tentang Agama di Era AI
loading...
A
A
A
JAKARTA - Penulis Buku, Ahmad Gaus membuat 10 video yang diadaptasi dari buku karyanya berjudul "Era Ketika Agama Menjadi Warisan Kultural Milik Bersama: Sembilan Pemikiran Denny JA soal Agama di Era Google". Sebanyak 10 video itu berdurasi 10-27 menit.
Video buku ini merupakan sebuah upaya untuk menjawab pertanyaan tentang bagaimana menempatkan agama di era Google dan Artificial Intelligence (AI).
“Berbeda dengan pemikir lain, Denny JA membahas agama dengan perspektif baru: Neuro Science, Positive Psychology, Arkeologi, dan data statistik,” ujar Gaus dalam keterangannya, Jumat (2/8/2024).
“Misalnya diungkapkan data. Di negara yang menganggap agama sangat penting oleh lebih dari 90 persen penduduknya (India: Hindu, Indonesia: Islam, Thailand: Budha, Filipina: Katolik), tingkat korupsi di negara itu justru tinggi," sambungnya.
Sebaliknya, lanjut dia, di negara yang tak lagi menganggap agama penting oleh mayoritas penduduknya (negara Skandinavia), korupsi di negara itu justru rendah.
Gaus juga mengungkapkan riset arkeologi atas Nabi Musa dan Nabi Nuh. Riset itu menyatakan eksodus Nabi Musa dan kisah banjir bandang Nabi Nuh tak pernah terjadi dalam sejarah. Kisah ini sebuah moral teaching untuk kesalehan perilaku.
"10 video itu juga memastikan bahwa agama tetap relevan dan berfungsi dalam kehidupan umat manusia di era Google dan AI," kata dia.
Faktanya, aktivitas keagamaan dewasa ini telah terhubung erat dengan teknologi seperti aplikasi dan platform digital, situs web, dan platform media sosial. Bahkan AI dapat digunakan untuk membuat konten yang lebih personal dan interaktif, seperti chatbot yang bisa menjawab pertanyaan tentang agama.
AI saat ini telah masuk ke gereja Protestan, kuil Buddha di Jepang, dan Masjid Agung di Arab Saudi. Di Gereja Protestan Paul Church pada musim panas 2023, sekitar 300 umat dengan khusyuk mendengarkan khotbah dari pendeta yang berupa robot AI.
Hal serupa juga terjadi di Kuil Kodai-ji Buddhist Temple di Jepang, di mana sejak tahun 2019 AI telah hadir. Umat di kuil ini dapat meminta nasihat dari Biksu Kannon Mindar yang didukung oleh AI, kapan saja berdasarkan doktrin Buddha.
Di Masjid Agung di Saudi Arabia sejak tahun 2023 juga telah ditempatkan robot AI untuk melayani pertanyaan umat dalam 11 bahasa. Umat dapat meminta informasi tentang siapa yang menjadi imam atau meminta siraman rohani melalui pembacaan ayat-ayat Al-Qur'an.
"Mereka juga dapat berinteraksi melalui video dengan ulama lokal yang ada dalam daftar.Video buku ini juga hadir dengan penjelasan yang mendalam bahwa agama harus dilihat melalui lensa Neuro-science, Positive Psychology, Arkeologi, dan Data Statistik, sebagaimana tuntutan sains modern," tuturnya.
Dia menjelaskan Neuro-science dimanfaatkan untuk menjelaskan aspek spiritualitas dan pengalaman keagamaan. Ini bisa membantu memperdalam pemahaman tentang bagaimana praktik keagamaan mempengaruhi otak dan kesejahteraan mental.
"Begitu juga Positive Psychology. Video buku ini menjelaskan prinsip-prinsip psikologi positif untuk menunjukkan bagaimana praktik keagamaan bisa meningkatkan kebahagiaan dan kualitas hidup," terang Gaus.
Menurutnya, salah satu bagian penting dalam video buku ini adalah pendekatan kultural dan humanis dalam memandang agama. Denny JA, lanjutnya, mengajak kita untuk melihat agama sebagai warisan kultural yang bisa dihargai oleh semua orang, bukan lagi sebagai kebenaran mutlak.
Tema-tema dalam video buku tersebut adalah Iman Berbasis Riset, Manusia dengan atau Tanpa Agama, Kitab Suci di Abad, Moderasi Agama, Hijrah ke Era Demokrasi, Perebutan Tafsir Agama, Menggandeng Science dan Jalauddin Rumi, Spiritualitas Baru Abad 21, Agama sebagai Warisan Kultural Milik Kita Bersama, dan Epilog.
"Setiap bagian disajikan dengan gaya yang menarik dan mudah dipahami, menjadikan pengetahuan ini lebih mudah diakses oleh semua kalangan," ucap dia.
Gaus mengutip pandangan Denny JA bahwa dalam agama tidak ada tafsir tunggal setelah Nabi wafat. Yang tersisa ialah multi penafsiran, di mana satu sama lain saling berebut tafsir.
Justru ruang publik penting sekali diisi oleh kelompok progresif agar tafsir mereka menjadi arus utama dalam isu-isu krusial saat ini seperti hak asasi manusia, kesetaraan gender, dan LGBT. Perebutan tafsir itu sudah dilakukan oleh kalangan progresif di Amerika dan Eropa.
"Berbeda dengan kaum sekularis dan ateis, Denny JA tidak menolak agama. Alih-alih, Denny justru menyelami samudera agama dan mengambil mutiara yang tersimpan di dalamnya," paparnya.
Gaus menilai Denny JA belajar dan mengambil banyak dari renungan-renungan ulama, penyair, sufi Jalaluddin Rumi yang memandang hati sebagai rumah Tuhan dan diri sebagai semesta sehingga lahir kesadaran mengenai rasa menyatu (oneness) dengan keseluruhan.
"Berbeda dengan Spiritualitas Gerakan New Age yang skeptis terhadap sains dan agama, Denny JA justru mengembangkan jenis spiritualitas yang didasarkan pada riset sains. Itulah yang disebutnya Spiritualitas Baru Abad 21 yang sepenuhnya narasi pengetahuan," jelasnya.
"Dan dia mengambil intisari agama yang bersifat universal tanpa mereduksi keunikan setiap agama, apalagi mencampakkannya," imbuhnya.
Dia menambahkan agama tumbuh dalam budaya yang berbeda-beda di setiap negara dan berdasarkan itu muncul tafsir yang sesuai dengan kebutuhan kontekstual. Berdasarkan itu, Denny JA menyerukan agar umat Islam Indonesia, misalnya mengembangkan tafsir mereka sendiri yang sesuai kebutuhan. Sebagaimana umat Islam di Eropa yang mengembangkan tafsir mereka sendiri.
"Dari sepuluh tema yang ditayangkan dalam video buku ini, benang merahnya dapat ditarik dari gagasan utama Denny JA yaitu “Agama-agama adalah warisan kultural milik bersama umat manusia”," kata dia.
"Gagasan Denny JA ini menjadi kontribusi terpenting bagi perdamaian dunia, setelah gagasan Hans Kung mengenai dialog agama, dan gagasan Nurcholish Madjid mengenai pluralisme agama (agama-agama itu banyak, tapi satu)," pungkas Gaus.
Video buku ini merupakan sebuah upaya untuk menjawab pertanyaan tentang bagaimana menempatkan agama di era Google dan Artificial Intelligence (AI).
“Berbeda dengan pemikir lain, Denny JA membahas agama dengan perspektif baru: Neuro Science, Positive Psychology, Arkeologi, dan data statistik,” ujar Gaus dalam keterangannya, Jumat (2/8/2024).
“Misalnya diungkapkan data. Di negara yang menganggap agama sangat penting oleh lebih dari 90 persen penduduknya (India: Hindu, Indonesia: Islam, Thailand: Budha, Filipina: Katolik), tingkat korupsi di negara itu justru tinggi," sambungnya.
Sebaliknya, lanjut dia, di negara yang tak lagi menganggap agama penting oleh mayoritas penduduknya (negara Skandinavia), korupsi di negara itu justru rendah.
Gaus juga mengungkapkan riset arkeologi atas Nabi Musa dan Nabi Nuh. Riset itu menyatakan eksodus Nabi Musa dan kisah banjir bandang Nabi Nuh tak pernah terjadi dalam sejarah. Kisah ini sebuah moral teaching untuk kesalehan perilaku.
"10 video itu juga memastikan bahwa agama tetap relevan dan berfungsi dalam kehidupan umat manusia di era Google dan AI," kata dia.
Faktanya, aktivitas keagamaan dewasa ini telah terhubung erat dengan teknologi seperti aplikasi dan platform digital, situs web, dan platform media sosial. Bahkan AI dapat digunakan untuk membuat konten yang lebih personal dan interaktif, seperti chatbot yang bisa menjawab pertanyaan tentang agama.
AI saat ini telah masuk ke gereja Protestan, kuil Buddha di Jepang, dan Masjid Agung di Arab Saudi. Di Gereja Protestan Paul Church pada musim panas 2023, sekitar 300 umat dengan khusyuk mendengarkan khotbah dari pendeta yang berupa robot AI.
Hal serupa juga terjadi di Kuil Kodai-ji Buddhist Temple di Jepang, di mana sejak tahun 2019 AI telah hadir. Umat di kuil ini dapat meminta nasihat dari Biksu Kannon Mindar yang didukung oleh AI, kapan saja berdasarkan doktrin Buddha.
Di Masjid Agung di Saudi Arabia sejak tahun 2023 juga telah ditempatkan robot AI untuk melayani pertanyaan umat dalam 11 bahasa. Umat dapat meminta informasi tentang siapa yang menjadi imam atau meminta siraman rohani melalui pembacaan ayat-ayat Al-Qur'an.
"Mereka juga dapat berinteraksi melalui video dengan ulama lokal yang ada dalam daftar.Video buku ini juga hadir dengan penjelasan yang mendalam bahwa agama harus dilihat melalui lensa Neuro-science, Positive Psychology, Arkeologi, dan Data Statistik, sebagaimana tuntutan sains modern," tuturnya.
Dia menjelaskan Neuro-science dimanfaatkan untuk menjelaskan aspek spiritualitas dan pengalaman keagamaan. Ini bisa membantu memperdalam pemahaman tentang bagaimana praktik keagamaan mempengaruhi otak dan kesejahteraan mental.
"Begitu juga Positive Psychology. Video buku ini menjelaskan prinsip-prinsip psikologi positif untuk menunjukkan bagaimana praktik keagamaan bisa meningkatkan kebahagiaan dan kualitas hidup," terang Gaus.
Menurutnya, salah satu bagian penting dalam video buku ini adalah pendekatan kultural dan humanis dalam memandang agama. Denny JA, lanjutnya, mengajak kita untuk melihat agama sebagai warisan kultural yang bisa dihargai oleh semua orang, bukan lagi sebagai kebenaran mutlak.
Tema-tema dalam video buku tersebut adalah Iman Berbasis Riset, Manusia dengan atau Tanpa Agama, Kitab Suci di Abad, Moderasi Agama, Hijrah ke Era Demokrasi, Perebutan Tafsir Agama, Menggandeng Science dan Jalauddin Rumi, Spiritualitas Baru Abad 21, Agama sebagai Warisan Kultural Milik Kita Bersama, dan Epilog.
"Setiap bagian disajikan dengan gaya yang menarik dan mudah dipahami, menjadikan pengetahuan ini lebih mudah diakses oleh semua kalangan," ucap dia.
Gaus mengutip pandangan Denny JA bahwa dalam agama tidak ada tafsir tunggal setelah Nabi wafat. Yang tersisa ialah multi penafsiran, di mana satu sama lain saling berebut tafsir.
Justru ruang publik penting sekali diisi oleh kelompok progresif agar tafsir mereka menjadi arus utama dalam isu-isu krusial saat ini seperti hak asasi manusia, kesetaraan gender, dan LGBT. Perebutan tafsir itu sudah dilakukan oleh kalangan progresif di Amerika dan Eropa.
"Berbeda dengan kaum sekularis dan ateis, Denny JA tidak menolak agama. Alih-alih, Denny justru menyelami samudera agama dan mengambil mutiara yang tersimpan di dalamnya," paparnya.
Gaus menilai Denny JA belajar dan mengambil banyak dari renungan-renungan ulama, penyair, sufi Jalaluddin Rumi yang memandang hati sebagai rumah Tuhan dan diri sebagai semesta sehingga lahir kesadaran mengenai rasa menyatu (oneness) dengan keseluruhan.
"Berbeda dengan Spiritualitas Gerakan New Age yang skeptis terhadap sains dan agama, Denny JA justru mengembangkan jenis spiritualitas yang didasarkan pada riset sains. Itulah yang disebutnya Spiritualitas Baru Abad 21 yang sepenuhnya narasi pengetahuan," jelasnya.
"Dan dia mengambil intisari agama yang bersifat universal tanpa mereduksi keunikan setiap agama, apalagi mencampakkannya," imbuhnya.
Dia menambahkan agama tumbuh dalam budaya yang berbeda-beda di setiap negara dan berdasarkan itu muncul tafsir yang sesuai dengan kebutuhan kontekstual. Berdasarkan itu, Denny JA menyerukan agar umat Islam Indonesia, misalnya mengembangkan tafsir mereka sendiri yang sesuai kebutuhan. Sebagaimana umat Islam di Eropa yang mengembangkan tafsir mereka sendiri.
"Dari sepuluh tema yang ditayangkan dalam video buku ini, benang merahnya dapat ditarik dari gagasan utama Denny JA yaitu “Agama-agama adalah warisan kultural milik bersama umat manusia”," kata dia.
"Gagasan Denny JA ini menjadi kontribusi terpenting bagi perdamaian dunia, setelah gagasan Hans Kung mengenai dialog agama, dan gagasan Nurcholish Madjid mengenai pluralisme agama (agama-agama itu banyak, tapi satu)," pungkas Gaus.
(kri)