Cegah Serangan Siber, Pengamat: Perlu Penguatan Perlindungan Data Pribadi

Kamis, 01 Agustus 2024 - 17:23 WIB
loading...
Cegah Serangan Siber,...
Pengamat Telekomunikasi Heru Sutadi. Foto: Ist
A A A
JAKARTA - Perlindungan data pribadi masih perlu dikuatkan oleh otoritas terkait di Indonesia. Upaya ini untuk merespons serangan siber yang melanda Tanah Air. Serangan terakhir yakni ransomware brain cipher dari LockBit 3.0 terhadap Pusat Data Nasional Sementara yang dikelola Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo).

"Kita memang sudah memiliki UU No 2/2022 tentang Pelindungan Data Pribadi. Namun, UU ini baru efektif maksimal pada 17 Oktober 2024. Selain itu, aturan turunannya juga belum selesai, termasuk Perpres mengenai pembentukan Lembaga Pelindungan Data Pribadi," ujar Pengamat Telekomunikasi Heru Sutadi, Kamis (1/8/2024).

Executive Director Indonesia ICT Institute ini menuturkan dengan kondisi regulasi tersebut tentu semua pihak harus lebih aware terhadap peningkatan keamanan data yang belum bisa di-cover secara maksimal oleh negara.



"Dari sisi regulasi, perlindungan data pribadi masih belum maksimal. Apalagi PP Nomor 71 Tahun 2019 yang memungkinkan data ditempatkan di luar negeri juga belum menyesuaikan dengan UU PDP. Seharusnya data yang dihasilkan dipertukarkan di Indonesia dan dari orang Indonesia harus ditempatkan di dalam negeri," katanya.

Selain regulasi, aspek infrastruktur keamanan data di Indonesia juga cukup dianggap kurang mumpuni, termasuk dari keamanan siber milik pemerintah. Sehingga, tak sedikit Indonesia menjadi target empuk bagi pelaku peretasan baik karena motif edukasi, penetration testing secara mandiri, maupun karena faktor ekonomi dan sebagainya.

Tak kalah pentingnya, masih rendahnya rasa peduli atau awareness terhadap keamanan data di Indonesia hingga sifat denial yang tidak jarang dilontarkan oleh stakeholder yang seharusnya bertanggung jawab atas insiden peretasan.

Menurut dia, sesuai UU ITE dan UU Pelindungan Data Pribadi (PDP), penyelenggara sistem elektronik berkewajiban menjadikan sistemnya secara aman dan andal. Kemudian, bila ada insiden pun harus disampaikan secara terbuka kepada publik dan disiapkan pula seperti apa upaya mitigasi yang bisa dilakukan.

"Baru kemudian dilakukan digital forensik untuk mempelajari cara peretas melumpuhkan jaringan tersebut, data apa saja yang diambil, sehingga ke depannya kita bisa memperbaiki kesalahan dan kelemahan sistem siber," ujar Heru.

Dia juga menyinggung keberadaan bisnis internet Elon Musk di Indonesia yakni Starlink yang saat ini sudah menjadi penyedia jasa internet. Dia meminta sepak terjang Starlink di Indonesia betul-betul diawasi dengan baik dan berintegritas.

"Kita masih harus terus memantau perkembangan internet Starlink. Walaupun sudah mendapat izin penyedia internet broadband berbasis satelit di Indonesia harus dipastikan Starlink mematuhi peraturan di Indonesia, termasuk memiliki network operation center di Indonesia, pusat data juga harus ada di Indonesia dan kantor resmi di Indonesia," ungkap Heru.

Bagi lembaga dan kementerian yang sudah bekerja sama dengan Starlink agar tetap meningkatkan spektisme dan kepekaan terhadap keamanan data mereka. Jangan sampai tidak ada langkah-langkah manajemen risiko secara dini sehingga mengancam kedaulatan negara.

"Pemerintah daerah yang bekerja sama dengan Starlink harus dipastikan adanya pengelolaan risiko keamanan. Karena ini kerja sama dengan perusahaan teknologi dari luar negeri, sehingga prioritas keamanan data negara Indonesia harus diutamakan," tuturnya.

Untuk meningkatkan awareness terhadap keamanan data, Heru mengingatkan pemerintah pusat segera melakukan supervisi dan mengawasi penggunaan Starlink oleh pemda agar dipastikan jaringan aman, andal, dan data masyarakat serta data pemerintah juga terlindungi.

Begitu juga tentang Starlink yang menawarkan akses internet cepat di daerah 3T (Tertinggal, Terpencil, dan Terluar). Pemerintah Indonesia harus memastikan operasional Starlink sesuai regulasi keamanan.

"Pemerintah Indonesia harus memastikan dalam perizinan yang diterbitkan untuk Starlink memuat ketentuan tentang pengelolaan data, termasuk lokasi pusat operasi jaringan dan pusat data di Indonesia serta mekanisme pengawasan dan audit yang ketat secara berkala," ujar Heru.

Antisipasi Momentum Politik

Dia juga memberikan pandangan terkait penggunaan teknologi informasi saat Pilkada 2024. Dengan berkaca dari Pemilu 2024 lalu terdapat banyak kekacauan dalam situs hitung KPU yang membuat masyarakat bingung.

"Inilah yang terjadi jika sebuah aplikasi tidak diuji dengan komprehensif sehingga tidak bisa diandalkan secara maksimal menuju Pilkada harus ada evaluasi terkait hal ini," katanya.

Aspek ini sangat penting untuk disampaikan bahwa menuju Pilkada, masyarakat harus bijak dalam menggunakan teknologi informasi dan media sosial. Pada Pilkada 2024, media digital memegang peran yang semakin penting dalam berbagai proses pemilihan.

Hal itu dapat dilihat dari penggunaan media digital untuk kepentingan kampanye pasangan calon. Para kandidat politik dan juga partai memanfaatkan platfrom media sosial sebagai penggalang dukungan dan mereka juga menggunakan iklan berbayar untuk menjangkau audiens yang lebih luas lagi.

Pembentukan opini publik oleh media digital di mana hal ini berkemungkinan dapat memengaruhi persepsi para pemilih terkait kandidat serta isu-isu politik yang tersebar. Tak hanya itu, media digital juga telah menyiapkan akses yang mempermudah para pemilih untuk mengetahui terkait informasi tentang calon, platfrom, dan berbagai isu-isu yang ada.

Ancaman Keamanan Data dari Judi Online

Di sisi lain, Heru juga menyampaikan bahwa judi online juga memiliki kerentanan yang bisa membuat data pribadi masyarakat bisa dicuri.

"Judi online ini kan ketika mengisi kembali saldo menggunakan akun perbankan masyarakat, nah data pribadi bisa dicuri dari pengisian saldo sehingga masyarakat harus waspada," ucapnya.

Menurut dia, keamanan data negara menjadi prioritas untuk dilindungi. Sepanjang masih terjadi kebobolan atau peretasan data yang tidak bisa ditanggulangi, maka pelaksanaan pemilu atau pilkada berbasis teknologi informasi masih sulit mendapat kepercayaan masyarakat.

"Memang di tingkat desa sudah beberapa kali digelar Pilkades online, namun karena Pilkades hanya dalam lingkup desa, berbeda dengan Pemilu maupun Pilkada di mana persoalan lebih kompleks dan masyarakat yang berpartisipasi sebagai pemilih juga lebih banyak," ujarnya.
(jon)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1601 seconds (0.1#10.140)