Imparsial Desak DPR Setop Pembahasan RUU TNI: Tidak Urgen dan Bahayakan Demokrasi
loading...
A
A
A
JAKARTA - Direktur Imparsial Gufron Mabruri mendesak DPR dan Pemerintah tak melanjutkan pembahasan Revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI. Menurutnya, pembahasan RUU TNI tak genting dilakukan saat ini.
Gufron menilai berdasarkan Daftar Isian Masalah (DIM) yang diterima, RUU TNI membahayakan demokrasi Indonesia.
"Berdasarkan dokumen DIM versi pemerintah yang beredar tersebut terdapat sejumlah masalah yang jauh lebih parah dari naskah RUU TNI versi Baleg yang membahayakan HAM serta merusak tata kelola negara demokrasi," kata Gufron dalam keterangannya, Kamis (18/7/2024).
Berdasarkan naskah DIM yang diterima, Gufron berkata, terdapat beberapa usulan perubahan UU TNI yang membahayakan kehidupan demokrasi. Salah satunya terkait usulan perluasan dan penambahan jenis-jenis Operasi Militer Selain Perang (OMSP).
"Usulan perubahan Pasal 7 ayat 2 dan ayat 3 yang memperluas dan menambah cakupan OMSP menunjukan paradigma dan keinginan politik untuk memperluas keterlibatan peran militer di luar sektor pertahanan negara. Hal ini dapat dilihat dari penambahan 19 jenis OMSP dari yang sebelumnya berjumlah 14 jenis yang dapat dilakukan oleh TNI," tuturnya.
"Adanya perluasan dan penambahan cakupan OMSP akan mendorong keterlibatan TNI yang semakin luas pada ranah sipil dan keamanan negeri, termasuk untuk mengamankan proyek-proyek pembangunan pemerintah," kata Gufron.
Kemudian terkait usulan perluasan peran menjadi aparat penegak hukum. Dalam naskah DIM Pasal 8 disebutkan bahwa angkatan darat bertugas menegakkan hukum dan menjaga keamanan di wilayah darat sesuai dengan ketentuan hukum nasional dan hukum internasional.
Menurutnya, ketentuan itu keliru dan betentangan dengan amanat Pasal 30 (2) dan (3) sebagai alat pertahanan negara dan TAP MPR VII Tahun 2000 tentang Peran TNI dan Peran Polri. Bila revisi UU TNI disahkan, menurut Gufron, sudah pasti akan terjadi silang sengkarut dan overlapping tugas dan peran TNI dengan Polri.
"Penting untuk diingat TNI tidak dimaksudkan sebagai aparat penegak hukum akan tetapi TNI dibiayai, dipersenjatai, dipenuhi kebutuhan alutsista canggihnya semata dipersiapkan sebagai alat pertahanan negara yang profesional dan bukan sebagai penegak hukum," kata Gufron.
Selanjutnya usulan penghapusan larangan berbisnis bagi TNI. Gufron berkata, pandangan ketentuan itu keliru serta mencerminkan kemunduran upaya reformasi tubuh TNI. Ia berkata, hakikat militer dididik, dilatih dan dipersiapkan untuk perang.
"Militer tidak dibangun untuk kegiatan bisnis dan politik karena hal itu akan mengganggu profesionalismenya dan menurunkan kebanggaan sebagai seorang prajurit yang akan berdampak pada disorientasi tugasnya dalam menjaga kedaulatan negara," kata Gufron.
Kemudian usulan terkait perluasan jabatan sipil yang dapat diduduki oleh perwira TNI aktif. Usulan ini tercantum dalam naskah DIM revisi UU TNI Pasal 47 Ayat (2). Menurutnya, usulan membuka ruang kembalinya Dwi fungsi ABRI seperti yang pernah dipraktikan di era rezim otoritarian Orde Baru.
Ia mengingatkan, militer terlibat dalam politik praktis dimana salah satunya dengan menduduki jabatan-jabatan sipil di kementerian, lembaga negara, DPR, kepala daerah dan lainnya di masa Orde baru.
"Dengan demikian, upaya perluasan jabatan sipil yang dapat diduduki oleh perwira TNI aktif dalam draft revisi UU TNI dapat membuka ruang baru bagi TNI untuk berpolitik. Hal ini tentunya menjadi kemunduran jalannya reformasi dan proses demokrasi tahun 1998 di Indonesia yang telah menempatkan militer sebagai alat pertahanan negara," kata Gufron.
"Berdasakan pandangan di atas, kami mendesak DPR dan Pemerintah untuk tidak melanjutkan agenda revisi UU TNI, selain tidak urgen untuk dilakukan saat ini, sejumlah subtansi usulan perubahan juga membahayakan kehidupan demokrasi, negara hukum dan pemajuan HAM," tegas Gufron.
Selain itu, kata Gufron, Imparsial juga mendesak DPR dan Pemerintah untuk melakukan moratorium pembahasan berbagai RUU startegis yang memerlukan evaluasi terlebih dahulu secara mendalam dan partisipasi publik yang lebih luas, salah satunya adalah RUU TNI.
"Mengingat saat ini merupakan masa transisi DPR dan Pemerintah dari yang lama ke yang baru, hendaknya pembahasan berbagai RUU yang bersifat strategis tidak dilakukan," katanya.
Gufron menilai berdasarkan Daftar Isian Masalah (DIM) yang diterima, RUU TNI membahayakan demokrasi Indonesia.
"Berdasarkan dokumen DIM versi pemerintah yang beredar tersebut terdapat sejumlah masalah yang jauh lebih parah dari naskah RUU TNI versi Baleg yang membahayakan HAM serta merusak tata kelola negara demokrasi," kata Gufron dalam keterangannya, Kamis (18/7/2024).
Berdasarkan naskah DIM yang diterima, Gufron berkata, terdapat beberapa usulan perubahan UU TNI yang membahayakan kehidupan demokrasi. Salah satunya terkait usulan perluasan dan penambahan jenis-jenis Operasi Militer Selain Perang (OMSP).
"Usulan perubahan Pasal 7 ayat 2 dan ayat 3 yang memperluas dan menambah cakupan OMSP menunjukan paradigma dan keinginan politik untuk memperluas keterlibatan peran militer di luar sektor pertahanan negara. Hal ini dapat dilihat dari penambahan 19 jenis OMSP dari yang sebelumnya berjumlah 14 jenis yang dapat dilakukan oleh TNI," tuturnya.
"Adanya perluasan dan penambahan cakupan OMSP akan mendorong keterlibatan TNI yang semakin luas pada ranah sipil dan keamanan negeri, termasuk untuk mengamankan proyek-proyek pembangunan pemerintah," kata Gufron.
Kemudian terkait usulan perluasan peran menjadi aparat penegak hukum. Dalam naskah DIM Pasal 8 disebutkan bahwa angkatan darat bertugas menegakkan hukum dan menjaga keamanan di wilayah darat sesuai dengan ketentuan hukum nasional dan hukum internasional.
Menurutnya, ketentuan itu keliru dan betentangan dengan amanat Pasal 30 (2) dan (3) sebagai alat pertahanan negara dan TAP MPR VII Tahun 2000 tentang Peran TNI dan Peran Polri. Bila revisi UU TNI disahkan, menurut Gufron, sudah pasti akan terjadi silang sengkarut dan overlapping tugas dan peran TNI dengan Polri.
"Penting untuk diingat TNI tidak dimaksudkan sebagai aparat penegak hukum akan tetapi TNI dibiayai, dipersenjatai, dipenuhi kebutuhan alutsista canggihnya semata dipersiapkan sebagai alat pertahanan negara yang profesional dan bukan sebagai penegak hukum," kata Gufron.
Selanjutnya usulan penghapusan larangan berbisnis bagi TNI. Gufron berkata, pandangan ketentuan itu keliru serta mencerminkan kemunduran upaya reformasi tubuh TNI. Ia berkata, hakikat militer dididik, dilatih dan dipersiapkan untuk perang.
"Militer tidak dibangun untuk kegiatan bisnis dan politik karena hal itu akan mengganggu profesionalismenya dan menurunkan kebanggaan sebagai seorang prajurit yang akan berdampak pada disorientasi tugasnya dalam menjaga kedaulatan negara," kata Gufron.
Kemudian usulan terkait perluasan jabatan sipil yang dapat diduduki oleh perwira TNI aktif. Usulan ini tercantum dalam naskah DIM revisi UU TNI Pasal 47 Ayat (2). Menurutnya, usulan membuka ruang kembalinya Dwi fungsi ABRI seperti yang pernah dipraktikan di era rezim otoritarian Orde Baru.
Ia mengingatkan, militer terlibat dalam politik praktis dimana salah satunya dengan menduduki jabatan-jabatan sipil di kementerian, lembaga negara, DPR, kepala daerah dan lainnya di masa Orde baru.
"Dengan demikian, upaya perluasan jabatan sipil yang dapat diduduki oleh perwira TNI aktif dalam draft revisi UU TNI dapat membuka ruang baru bagi TNI untuk berpolitik. Hal ini tentunya menjadi kemunduran jalannya reformasi dan proses demokrasi tahun 1998 di Indonesia yang telah menempatkan militer sebagai alat pertahanan negara," kata Gufron.
"Berdasakan pandangan di atas, kami mendesak DPR dan Pemerintah untuk tidak melanjutkan agenda revisi UU TNI, selain tidak urgen untuk dilakukan saat ini, sejumlah subtansi usulan perubahan juga membahayakan kehidupan demokrasi, negara hukum dan pemajuan HAM," tegas Gufron.
Selain itu, kata Gufron, Imparsial juga mendesak DPR dan Pemerintah untuk melakukan moratorium pembahasan berbagai RUU startegis yang memerlukan evaluasi terlebih dahulu secara mendalam dan partisipasi publik yang lebih luas, salah satunya adalah RUU TNI.
"Mengingat saat ini merupakan masa transisi DPR dan Pemerintah dari yang lama ke yang baru, hendaknya pembahasan berbagai RUU yang bersifat strategis tidak dilakukan," katanya.
(abd)