Ahli: MK Belum Pernah Diskualifikasi Paslon Pasca Berlakunya UU Pemilu Serentak

Jum'at, 21 Juni 2019 - 19:44 WIB
Ahli: MK Belum Pernah Diskualifikasi Paslon Pasca Berlakunya UU Pemilu Serentak
Ahli: MK Belum Pernah Diskualifikasi Paslon Pasca Berlakunya UU Pemilu Serentak
A A A
JAKARTA - Ahli kedua yang dihadirkan Tim Hukum Jokowi-Ma'ruf, Heru Widodo berpendapat soal tafsir diskualifikasi dalam putusan Mahkamah pasca Undang-undang (UU) Pemilu dan UU Pemilukada Serentak.

Heru menuturkan, dalam praktik peradilan perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) pemilihan presiden maupun pemilu legislatif selama ini belum ada dalam putusan diskualifikasi oleh Mahkamah pasca berlakunya UU Pemilu serentak.

"Oleh karenanya, putusan Mahkamah dalam mengadili Pemilukada serentak sejak 2015, dapat dijadikan sumber rujukan untuk menganalisis atau untuk mencari tahu sikap Mahkamah tentang diskualifikasi calon yang diajukan dalam perselisihan hasil pemilihan," ujar Heru dalam persidangan di Gedung MK, Jakarta Pusat, Jumat (21/6/2019).

Heru mencontohkan pada putusan Pilgub Provinsi Maluku Utara tahun 2018 yang mana terdapat permintaan diskualifikasi yang baru muncul pada tahapan PSU (Pemungutan Suara Ulang).

"Gubernur petahana dilaporkan melanggar pasal 71 UU Pemilukada serentak. Bawaslu Provinsi Maluku Utara merekomendasikan untuk didiskualifikasi. Mahkamah berpendapat, pendiskualifikasian adalah wewenang badan penegak hukum lain untuk menyelesaikannya," jelas Heru.

Pada contoh lainnya, dalam putusan Kabupaten Kuantan Singingi tahun 2015 yang mana terdapat permohonan diskualifikasi pemenang karena tidak memenuhi syarat dukungan partai politik. Namun, dalam hal tersebut Mahkamah menegaskan, permasalahan hukum tersebut termasuk dalam kategori sengketa TUN pemilihan.

"Mekanisme dan batasan waktu penyelesaian atas permasalahan tersebut telah diatur pula dengan jelas dan tegas dalam UU a quo, sehingga masalah syarat dukungan partai yang berakibat tidak sahnya penetapan pasangan calon merupakan kewenangan lembaga lain untuk menyelesaikannya," ungkap.

Pada contoh lainnya, Heru mengambil contoh kasus dalam putusan Kabupaten Jayapura tahun 2017 yang mana terdapat permohonan mendiskualifikasi Bupati Petahana atas tindakan mengganti pejabat, sebagaimana rekomendasi dari Bawaslu.

"Pendapat Mahkamah, rekomendasi tersebut baru dikeluarkan setelah selesai rekapitulasi penetapan hasil, sehingga tidak relevan untuk dipertimbangkan. Mahkamah menolak permohonan diskualifikasi," kata dia.

Dan contoh terakhir, dari putusan Mahkamah dalam Pilbup Kabupaten Kepulauan Yapen tahun 2017 yang mana Mahkamah justru memulihkan tindakan diskualifikasi yang dilakukan penyelenggara setelah pemilihan selesai.

Dalam perkara a quo, ambang batas tidak dipenuhi oleh pemohon, karena pada saat pleno penetapan hasil tingkat kabupaten, perolehan suara pemohon di-nol-kan oleh KPU Kepulauan Yapen, sesuai rekomendasi untuk mendiskualifikasi dari Panwaslu Yapen. KPU RI dan Bawaslu RI meminta KPU Kepulauan Yapen untuk mencabut pendiskualifikasian, namun tidak diindahkan.

"Sekalipun Pemohon tidak memenuhi syarat ambang batas, Mahkamah menjatuhkan putusan sela dengan amar perintah PSU se-Kabupaten, dengan mengikutsertakan pasangan calon yang didiskualifikasi," tuturnya.
(pur)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.0853 seconds (0.1#10.140)