Bahas Revisi UU TNI, DPR Dinilai Gagal Menjaga Demokrasi
loading...
A
A
A
JAKARTA - DPR saat ini sedang membahas rancangan perubahan UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI . Dalam rancangan perubahan undang-undang tersebut terdapat indikasi akan dihidupkannya kembali Dwifungsi ABRI/TNI.
Koordinator Pusat BEM SI Kerakyatan Satria Naufal Putra Ansar menilai pembahasan revisi UU TNI adalah langkah yang keliru dan menunjukkan DPR sebagai pengusul revisi UU TNI ini telah gagal dalam menjaga demokrasi sebab berusaha menghidupkan Dwifungsi TNI.
"Sebagaimana kita ketahui bahwa kekuasaan otoritarian Orde Baru yang menindas rakyat dapat kuat dan bertahan hingga 32 tahun salah satunya dikarenakan sokongan penuh ABRI melalui peran sosial-politiknya yakni Dwifungsi," ujarnya, Kamis (11/7/2024).
Dengan dalih Dwifungsi, ABRI pada saat itu menduduki hampir seluruh sendi bernegara Indonesia. Oleh karena itu, pada Reformasi 1998 salah satu sasaran Reformasi yang utama adalah penghapusan Dwifungsi ABRI.
"Amanat penghapusan Dwifungsi ini tercermin dari Tap MPR Nomor VI/MPR/2000 Tentang Pemisahan TNI dan Polri dan amendemen ke-2 Pasal 30 UUD NRI Tahun 1945," ujarnya.
Setelah 24 tahun sejak TAP MPR yang menghapus Dwifungsi ditetapkan, kata dia, terdapat usaha untuk menghidupkan kembali Dwifungsi TNI. Hal ini dapat dilihat dalam Rancangan Revisi UU TNI terutama Pasal 47 Ayat (2) yang membuka peluang bagi prajurit aktif untuk menduduki jabatan di berbagai kementerian dan lembaga pemerintah non-kementerian.
"Ketentuan ini, berpotensi mengancam prinsip supremasi sipil yang telah diperjuangkan sejak era Reformasi," katanya.
TNI aktif diberikan peluang untuk menempati pos-pos sipil melalui penambahan frasa “serta kementerian/lembaga lain yang membutuhkan tenaga dan keahlian Prajurit aktif sesuai dengan kebijakan Presiden” dalam Pasal 47 ayat (2) RUU TNI.
"Penambahan frasa ini dapat memberi ruang bagi TNI untuk menempati instansi yang tidak dibatasi hanya pada 10 kementerian dan instansi seperti yang diatur dalam UU TNI," katanya.
Meskipun RUU ini mengatur penempatan prajurit aktif harus didasarkan atas permintaan dari pimpinan lembaga terkait, ketentuan ini tetap membuka celah bagi intervensi militer dalam ranah sipil.
"Ketentuan bahwa pembinaan karier prajurit yang menduduki jabatan sipil dilaksanakan oleh Panglima TNI yang bekerja sama dengan pimpinan lembaga terkait semakin memperkuat kekhawatiran akan dominasi militer," katanya.
Dia menambahkan, BEM SI berpendapat RUU ini juga mengabaikan fakta penempatan prajurit aktif dalam posisi-posisi strategis di lembaga sipil dapat menghambat karier dan mengurangi motivasi pegawai negeri sipil. Hal ini berpotensi menciptakan friksi dan ketegangan dalam lingkungan kerja, serta menurunkan moral dan kinerja aparatur sipil negara secara keseluruhan.
"Kebijakan ini dapat bertentangan dengan semangat demokratisasi dan profesionalisasi aparatur sipil negara. Penempatan TNI aktif dalam jabatan sipil juga memiliki dampak lain terkait penegakan hukum, terutama terkait dengan yurisdiksi penuntutan atas tindak pidana, termasuk korupsi," ucapnya.
Masalahnya muncul karena belum adanya revisi terhadap UU Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Menurut UU ini, perwira TNI yang terlibat dalam tindak pidana, baik itu militer maupun umum, harus diadili di peradilan militer. Situasi ini dapat menghambat proses penegakan hukum terhadap perwira TNI yang menjabat dalam posisi sipil saat terlibat dalam tindak pidana.
Pada 2023, menurut data dari Babinkum TNI, tercatat sebanyak 2.569 prajurit TNI aktif menduduki jabatan sipil. Dengan meluasnya kesempatan TNI untuk menduduki kementerian atau instansi sipil, akan semakin banyak TNI aktif yang menduduki kementerian atau instansi sipil yang pada akhirnya akan mengancam supremasi sipil di Indonesia.
Berdasarkan realitas yang terjadi saat ini, dan juga untuk terus mengawal keberlangsungan agenda-agenda Reformasi, BEM SI Kerakyatan mendesak DPR menghentikan pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 Tentara Nasional Indonesia;
"Mengutuk keras segala tindakan yang tidak sesuai dengan cita-cita Reformasi dan upaya membangkitkan kembali Dwifungsi ABRI, dan mendesak pemerintah dan DPR melibatkan masyarakat secara bermakna dalam seluruh pembuatan Undang-Undang," katanya.
Lihat Juga: Jebolan Sepa PK TNI yang Jabat Posisi Letnan Jenderal, 2 Kali Jadi Tim Dokter Kepresidenan
Koordinator Pusat BEM SI Kerakyatan Satria Naufal Putra Ansar menilai pembahasan revisi UU TNI adalah langkah yang keliru dan menunjukkan DPR sebagai pengusul revisi UU TNI ini telah gagal dalam menjaga demokrasi sebab berusaha menghidupkan Dwifungsi TNI.
"Sebagaimana kita ketahui bahwa kekuasaan otoritarian Orde Baru yang menindas rakyat dapat kuat dan bertahan hingga 32 tahun salah satunya dikarenakan sokongan penuh ABRI melalui peran sosial-politiknya yakni Dwifungsi," ujarnya, Kamis (11/7/2024).
Dengan dalih Dwifungsi, ABRI pada saat itu menduduki hampir seluruh sendi bernegara Indonesia. Oleh karena itu, pada Reformasi 1998 salah satu sasaran Reformasi yang utama adalah penghapusan Dwifungsi ABRI.
"Amanat penghapusan Dwifungsi ini tercermin dari Tap MPR Nomor VI/MPR/2000 Tentang Pemisahan TNI dan Polri dan amendemen ke-2 Pasal 30 UUD NRI Tahun 1945," ujarnya.
Setelah 24 tahun sejak TAP MPR yang menghapus Dwifungsi ditetapkan, kata dia, terdapat usaha untuk menghidupkan kembali Dwifungsi TNI. Hal ini dapat dilihat dalam Rancangan Revisi UU TNI terutama Pasal 47 Ayat (2) yang membuka peluang bagi prajurit aktif untuk menduduki jabatan di berbagai kementerian dan lembaga pemerintah non-kementerian.
"Ketentuan ini, berpotensi mengancam prinsip supremasi sipil yang telah diperjuangkan sejak era Reformasi," katanya.
TNI aktif diberikan peluang untuk menempati pos-pos sipil melalui penambahan frasa “serta kementerian/lembaga lain yang membutuhkan tenaga dan keahlian Prajurit aktif sesuai dengan kebijakan Presiden” dalam Pasal 47 ayat (2) RUU TNI.
"Penambahan frasa ini dapat memberi ruang bagi TNI untuk menempati instansi yang tidak dibatasi hanya pada 10 kementerian dan instansi seperti yang diatur dalam UU TNI," katanya.
Meskipun RUU ini mengatur penempatan prajurit aktif harus didasarkan atas permintaan dari pimpinan lembaga terkait, ketentuan ini tetap membuka celah bagi intervensi militer dalam ranah sipil.
"Ketentuan bahwa pembinaan karier prajurit yang menduduki jabatan sipil dilaksanakan oleh Panglima TNI yang bekerja sama dengan pimpinan lembaga terkait semakin memperkuat kekhawatiran akan dominasi militer," katanya.
Dia menambahkan, BEM SI berpendapat RUU ini juga mengabaikan fakta penempatan prajurit aktif dalam posisi-posisi strategis di lembaga sipil dapat menghambat karier dan mengurangi motivasi pegawai negeri sipil. Hal ini berpotensi menciptakan friksi dan ketegangan dalam lingkungan kerja, serta menurunkan moral dan kinerja aparatur sipil negara secara keseluruhan.
"Kebijakan ini dapat bertentangan dengan semangat demokratisasi dan profesionalisasi aparatur sipil negara. Penempatan TNI aktif dalam jabatan sipil juga memiliki dampak lain terkait penegakan hukum, terutama terkait dengan yurisdiksi penuntutan atas tindak pidana, termasuk korupsi," ucapnya.
Masalahnya muncul karena belum adanya revisi terhadap UU Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Menurut UU ini, perwira TNI yang terlibat dalam tindak pidana, baik itu militer maupun umum, harus diadili di peradilan militer. Situasi ini dapat menghambat proses penegakan hukum terhadap perwira TNI yang menjabat dalam posisi sipil saat terlibat dalam tindak pidana.
Pada 2023, menurut data dari Babinkum TNI, tercatat sebanyak 2.569 prajurit TNI aktif menduduki jabatan sipil. Dengan meluasnya kesempatan TNI untuk menduduki kementerian atau instansi sipil, akan semakin banyak TNI aktif yang menduduki kementerian atau instansi sipil yang pada akhirnya akan mengancam supremasi sipil di Indonesia.
Berdasarkan realitas yang terjadi saat ini, dan juga untuk terus mengawal keberlangsungan agenda-agenda Reformasi, BEM SI Kerakyatan mendesak DPR menghentikan pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 Tentara Nasional Indonesia;
"Mengutuk keras segala tindakan yang tidak sesuai dengan cita-cita Reformasi dan upaya membangkitkan kembali Dwifungsi ABRI, dan mendesak pemerintah dan DPR melibatkan masyarakat secara bermakna dalam seluruh pembuatan Undang-Undang," katanya.
Lihat Juga: Jebolan Sepa PK TNI yang Jabat Posisi Letnan Jenderal, 2 Kali Jadi Tim Dokter Kepresidenan
(cip)