Jejak Muhammadiyah Menuju Kemerdekaan Indonesia

Jum'at, 21 Agustus 2020 - 06:05 WIB
loading...
Jejak Muhammadiyah Menuju Kemerdekaan Indonesia
Dahnil Anzar Simanjuntak
A A A
Dahnil Anzar Simanjuntak
Wakil Ketua LHKP Pimpinan Pusat Muhammadiyah

DALAM banyak kesempatan diskusi yang saya ikuti bersama kawan-kawan muda, saya menemukan fakta anak muda saat ini agak berjarak dengan sejarah. Literasi sejarah yang rendah adalah buah rendahnya minat baca anak muda Indonesia. Sosial media telah ikut mengubur pelan-pelan tradisi baca. Anak muda berani berpendapat dengan modal informasi dan bacaan terbatas. Membaca defisit, bicara disosial media surplus. Sehingga, seringkali gagal memahami identitas dan watak keIndonesiaan yang sesungguhnya yang telah dibangun para founding father and mother Indonesia.

18 Agustus 2020 yang lalu, Institute Indonesia, yang dipimpin oleh Muhammad Iqbal, PhD, meminta saya bersama tokoh lain yang berasal dari NU, AL-Irsyad dan Persatuan Umat Islam (PUI) untuk bicara menelusuri jejak Ormas-ormas Islam menuju Kemerdekaan Indonesia, bertepatan dengan hari konstitusi, dimana hari yang bersejarah disepakatinya pembukaan UUD 1945 sebagai produk hasil dialog yang Panjang dan penuh dinamika, ada tersimpan kekecewaan didalam proses dialog tersebut, baik ketika di BPUPKI, maupun PPKI. Namun, dengan besar hati semua tokoh yang berasal dari berbagai elemen agama, suku dan latarbelakang tersebut bersepakat dan menerima seluruh isi Pembukaan UUD 1945, seperti yang saat ini kita ketahui.

Seperti diketahui latarbelakang saya sebagai Mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah, maka saya diminta untuk menjelaskan jejak-jejak Muhammadiyah dan tokoh-tokohnya dalam upaya Kemerdekaan Indonesia. Bagi saya ini bukanlah upaya untuk menguatkan peran satu kelompok tertentu, namun sekedar memberikan pemahaman sejarah bahwa semua kelompok berkontribusi terhadap upaya mewujudkan Indonesia merdeka, tidak ada yang paling berjasa.

Pada artikel kali ini saya mencoba bercerita secara ringkas, terkait dengan jejak sejarah para santri dan ulama Muhammadiyah dalam rangka memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, mulai mereka yang berjuang secara fisik melalui pertempuran, politik maupun diplomasi.

Muhammadiyah yang didirikan pada 18 November 1912 oleh KH Ahmad Dahlan di Yogyakarta adalah organisasi yang mengusung ide tajdid (pembaharuan) dalam kehidupan beragama (purifikasi) dan hubungan sosial kemasyarakatan (inovasi). Dalam hal sosial, Muhammadiyah setidaknya fokus pada feeding (memberikan santunan/layanan/panti asuhan), schooling (mendirikan sekolah) dan healing (membangun rumah sakit).

Meski demikian, bukan berarti Trisula gerakan Muhammadiyah tersebut hanya ditujukan untuk umat Islam saja atau bertujuan untuk mengkonversi agama si penerima. Dalam Almanak Moehammadijah (1929) disebutkan: ”Pertolongan Moehammadijah b/g PKO (Penolong KesengsaraanOemoem) itoe, boekan sekali- sekali soeatoe djaring kepada manoesia oemoemnja, soepaja dapat menarik hati akan masoek kepada agama Islam atau perserikatan Moehammadijah, itoe tidak, akan tetapi segala pertolongannja itoe semata-mata karena memenoehi kewadjiban atas agamanja Islam terhadap segala bangsa, tidak memandang agama”.

Walau KH Ahmad Dahlan bergerak di bidang kultural, bukan berarti buta politik. KH Dahlan aktif di dua organisasi pioner kebangsaan ketika itu. Yaitu Budi Utomo dan Syarikat Islam. Khusus yang kedua, banyak pula anggota Muhammadiyah lainnya menjadi anggota. Karena memang memiliki kedekatan corak ideologis, sama-sama kelompok Islam modernis. Bahkan terjalin kerja sama. SI fokus pada ekonomi-politik. Sementara Muhammadiyah di bidang agama dan kebudayaan. Dan, kolaborasi KH Ahmad Dahlan dengan HOS Cokro Aminoto terlihat jelas melalui keaktifan murid-murid KH Ahmad Dahlan di SI, bahkan menjadi penggerak utama SI, sebut saja Haji Fakhrudin.

Meski bukan gerakan politik, Muhammadiyah kerap menentang kebijakan-kebijakan Pemerintah Hindia Belanda yang bermaksud membatasi atau menyengsarakan gerak umat Islam. Seperti Ordonansi Guru dan Ordonansi Perkawinan. Penolakan paling keras untuk yang pertama terutama datang dari Muhammadiyah Sumatera Barat. Sementara penolakan Ordonansi Perkawinan dimotori Haji Fakhruddin.

Haji Fakhruddin juga dikenal sebagai tokoh pembakar perkebunan tebu milik Belanda karena marah dengan kebijakan Belanda. Rakyat sendiri hidup kelaparan, tidak mendapat apa-apa karena sebagian tanah mereka harus diserahkan ke Belanda untuk ditanami tebu. Dalam perkembangannya gerakan Muhammadiyah menjadi salah satu unsur penting dalam proses perubahan sosial politik di Indonesia. Bahkan Alfian, dalam Politik Kaum Modernis: Perlawanan Muhammadiyah terhadap Kolonialisme Belanda, menyebut setidaknya ada tiga peran Muhammadiyah: sebagai agen gerakan pembaruan keagamaan, agen gerakan perubahan sosial dan sebagai kekuatan sosial politik.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1346 seconds (0.1#10.140)