Ikatan Wartawan Hukum Tolak Draf RUU Penyiaran, Ancam Kebebasan Pers
loading...
A
A
A
JAKARTA - Ikatan Wartawan Hukum (Iwakum) menolak draf RUU Penyiaran yang diajukan oleh DPR. Sebab, di dalam RUU tersebut terdapat sejumlah pasar bermasalah.
Sekretaris Jenderal (Sekjen) Iwakum, Irfan Kamil menyatakan, pihaknya menolak empat pasal bermasalah dalam RUU Penyiaran. Keempatnya adalah, Pasal 50B ayat (2) huruf C mengenai larangan penayangan eksklusif karya jurnalistik investigasi, Pasal 50B ayat (2) huruf K tentang larangan penayangan isi dan konten siaran yang mengandung berita bohong, fitnah, penghinaan, pencemaran nama baik, penodaan agama, kekerasan, dan radikalisme-terorisme.
Selanjutnya, Pasal 8A ayat (1) huruf Q yang menjadikan KPI menjadi superpower karena berwenang menyelesaikan sengketa pers dan mengambil alih tugas Dewan Pers, dan Pasal 51E yang mengatur sengketa akibat dikeluarkannya keputusan KPI diselesaikan melalui pengadilan.
"Ikatan Wartawan Hukum menolak Draf RUU Penyiaran dengan banyaknya substansi yang bermasalah tersebut," kata Kamil saat konferensi pers pernyataan sikap Iwakum terkait draf RUU Penyiaran di Jakarta, Sabtu (1/6/2024).
"Ikatan Wartawan Hukum berpandangan, Draf RUU Penyiaran berpotensi menjadi ancaman kebebasan pers," sambungnya.
Terkait penyelesaian sengketa produk jurnalistik, Kamil menyatakan sudah diatur dalam UU Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. Dimana, Dewan Pers menjadi pihak penyelesai sengketa tersebut. Kamil menilai draf RUU Penyiaran diduga sebagai upaya pelemahan terhadap pengontrol kekuasaan.
"Hal ini terlihat dari kondisi demokrasi yang menurun, legislatif yang semakin lemah dan yudikatif yang juga telah dipreteli," ujarnya.
Sebelumnya, sejumlah asosiasi pers telah menyatakan menolak draf RUU Penyiaran. Hal itu meraka tunjukkan melalui aksi unjuk rasa di depan kantor DPR RI beberapa waktu lalu.
Ketua Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), Herik Kurniawan menyatakan, pembentukan lembaga tersebut perlu legitimasi yang jelas. "Pemerintah harus memastikan payung hukum yang jelas dan tegas serta harmonis dengan regulasi lain. Dalam konteks karya jurnalistik, harus sejalan dengan UU Pers. Kalau tanpa UU, lalu apa payung hukumnya," kata Herik saat dihubungi MNC Portal Indonesia, Senin (27/5/2024) malam.
Herik juga menyoroti wacana Dewan Media Sosial ini menjadi badan pengawas. Menurutnya, hal itu tidak mempunyai dasar norma, karena Kominfo adalah lembaga eksekutif, regulator, dan bukan lembaga pengawas.
"Kominfo juga bukan lembaga penegak hukum. Karena penegakan UU ITE ada di ranah kepolisian. Sebelum jauh melangkah, hal-hal ini harus diperhatikan dulu," ujarnya.
"Artinya pembentukan Dewan Media Sosial ini berpotensi menimbulkan maladministrasi," sambungnya.
Sekretaris Jenderal (Sekjen) Iwakum, Irfan Kamil menyatakan, pihaknya menolak empat pasal bermasalah dalam RUU Penyiaran. Keempatnya adalah, Pasal 50B ayat (2) huruf C mengenai larangan penayangan eksklusif karya jurnalistik investigasi, Pasal 50B ayat (2) huruf K tentang larangan penayangan isi dan konten siaran yang mengandung berita bohong, fitnah, penghinaan, pencemaran nama baik, penodaan agama, kekerasan, dan radikalisme-terorisme.
Selanjutnya, Pasal 8A ayat (1) huruf Q yang menjadikan KPI menjadi superpower karena berwenang menyelesaikan sengketa pers dan mengambil alih tugas Dewan Pers, dan Pasal 51E yang mengatur sengketa akibat dikeluarkannya keputusan KPI diselesaikan melalui pengadilan.
"Ikatan Wartawan Hukum menolak Draf RUU Penyiaran dengan banyaknya substansi yang bermasalah tersebut," kata Kamil saat konferensi pers pernyataan sikap Iwakum terkait draf RUU Penyiaran di Jakarta, Sabtu (1/6/2024).
"Ikatan Wartawan Hukum berpandangan, Draf RUU Penyiaran berpotensi menjadi ancaman kebebasan pers," sambungnya.
Terkait penyelesaian sengketa produk jurnalistik, Kamil menyatakan sudah diatur dalam UU Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. Dimana, Dewan Pers menjadi pihak penyelesai sengketa tersebut. Kamil menilai draf RUU Penyiaran diduga sebagai upaya pelemahan terhadap pengontrol kekuasaan.
"Hal ini terlihat dari kondisi demokrasi yang menurun, legislatif yang semakin lemah dan yudikatif yang juga telah dipreteli," ujarnya.
Baca Juga
Sebelumnya, sejumlah asosiasi pers telah menyatakan menolak draf RUU Penyiaran. Hal itu meraka tunjukkan melalui aksi unjuk rasa di depan kantor DPR RI beberapa waktu lalu.
Ketua Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), Herik Kurniawan menyatakan, pembentukan lembaga tersebut perlu legitimasi yang jelas. "Pemerintah harus memastikan payung hukum yang jelas dan tegas serta harmonis dengan regulasi lain. Dalam konteks karya jurnalistik, harus sejalan dengan UU Pers. Kalau tanpa UU, lalu apa payung hukumnya," kata Herik saat dihubungi MNC Portal Indonesia, Senin (27/5/2024) malam.
Herik juga menyoroti wacana Dewan Media Sosial ini menjadi badan pengawas. Menurutnya, hal itu tidak mempunyai dasar norma, karena Kominfo adalah lembaga eksekutif, regulator, dan bukan lembaga pengawas.
"Kominfo juga bukan lembaga penegak hukum. Karena penegakan UU ITE ada di ranah kepolisian. Sebelum jauh melangkah, hal-hal ini harus diperhatikan dulu," ujarnya.
"Artinya pembentukan Dewan Media Sosial ini berpotensi menimbulkan maladministrasi," sambungnya.
(abd)