Perangi Stunting, Pemerintah Perkuat Kolaborasi dan Optimalkan Anggaran
loading...
A
A
A
Salah satu aspek penting dalam upaya penurunan stunting adalah alokasi dan optimalisasi anggaran. Pemerintah telah mengalokasikan sekitar Rp30 triliun dari APBN, termasuk Rp23 triliun untuk Program Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT).
Di samping itu, dana desa juga dialokasikan sebesar 10% dari total Rp70 triliun untuk program-program penurunan stunting. Meski begitu, Suprayoga mencatat meskipun anggaran telah dialokasikan, implementasi di daerah tidak selalu efektif.
Hal ini dikarenakan beberapa daerah tidak memanfaatkan dana ini dengan baik, sehingga pengawasan dan pendampingan terus dilakukan untuk memastikan penggunaan anggaran yang tepat sasaran.
Direktur Jenderal Kesehatan Masyarakat Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Maria Endang Sumiwi menekankan, pentingnya keterlibatan semua pihak secara seirama untuk mencapai hasil yang optimal dalam menekan angka stunting di Indonesia.
"Kementerian Kesehatan berusaha agar semua pihak yang yang terlibat bisa seirama. Seirama itu artinya nanti kita bersama-sama dengan sasaran yang paling tepat," katanya.
Agar upaya tersebut dapat berjalan, ia menyebutkan, pihaknya berusaha memberikan publikasi cepat terhadap data yang dimiliki. Hal ini dikarenakan data yang akurat dan terkini sangat penting dalam upaya penurunan stunting. "Kami berusaha memberikan publikasi cepat terhadap data-data di Kemenkes supaya pihak yang ingin berkontribusi dapat langsung bergerak," tambah dia.
Advisor Tata Kelola Pemerintahan, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) USAID-ERAT Programme, George Hormat, menyoroti pentingnya data yang andal dan konsisten untuk mendukung pengambilan kebijakan yang tepat. Menurutnya, saat ini monitoring data yang tersedia banyak kurang sesuai.
"Contohnya, data usia produktif sering kali tidak sejalan dengan data kehamilan yang tidak diinginkan atau tidak tepat waktu. Perbedaan pemahaman mengenai indikator kunci seperti kehamilan tidak dikehendaki dan kehamilan berisiko juga dapat mempengaruhi kebijakan yang diambil," paparnya.
Di luar pentingnya data yang seirama, ia menilai kolaborasi antara berbagai sektor menjadi salah satu praktik baik yang harus tetap dilanjutkan. Salah satunya kerja sama USAID bersama Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Kementerian Kesehatan, dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) di NTT.
"Kolaborasi Kominfo, BKKBN, Kesehatan dan Bappeda mendorong masyarakat terlibat, terutama lembaga agama, tokoh agama edukasi," pungkas George.
Di samping itu, dana desa juga dialokasikan sebesar 10% dari total Rp70 triliun untuk program-program penurunan stunting. Meski begitu, Suprayoga mencatat meskipun anggaran telah dialokasikan, implementasi di daerah tidak selalu efektif.
Hal ini dikarenakan beberapa daerah tidak memanfaatkan dana ini dengan baik, sehingga pengawasan dan pendampingan terus dilakukan untuk memastikan penggunaan anggaran yang tepat sasaran.
Direktur Jenderal Kesehatan Masyarakat Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Maria Endang Sumiwi menekankan, pentingnya keterlibatan semua pihak secara seirama untuk mencapai hasil yang optimal dalam menekan angka stunting di Indonesia.
"Kementerian Kesehatan berusaha agar semua pihak yang yang terlibat bisa seirama. Seirama itu artinya nanti kita bersama-sama dengan sasaran yang paling tepat," katanya.
Agar upaya tersebut dapat berjalan, ia menyebutkan, pihaknya berusaha memberikan publikasi cepat terhadap data yang dimiliki. Hal ini dikarenakan data yang akurat dan terkini sangat penting dalam upaya penurunan stunting. "Kami berusaha memberikan publikasi cepat terhadap data-data di Kemenkes supaya pihak yang ingin berkontribusi dapat langsung bergerak," tambah dia.
Advisor Tata Kelola Pemerintahan, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) USAID-ERAT Programme, George Hormat, menyoroti pentingnya data yang andal dan konsisten untuk mendukung pengambilan kebijakan yang tepat. Menurutnya, saat ini monitoring data yang tersedia banyak kurang sesuai.
"Contohnya, data usia produktif sering kali tidak sejalan dengan data kehamilan yang tidak diinginkan atau tidak tepat waktu. Perbedaan pemahaman mengenai indikator kunci seperti kehamilan tidak dikehendaki dan kehamilan berisiko juga dapat mempengaruhi kebijakan yang diambil," paparnya.
Di luar pentingnya data yang seirama, ia menilai kolaborasi antara berbagai sektor menjadi salah satu praktik baik yang harus tetap dilanjutkan. Salah satunya kerja sama USAID bersama Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Kementerian Kesehatan, dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) di NTT.
"Kolaborasi Kominfo, BKKBN, Kesehatan dan Bappeda mendorong masyarakat terlibat, terutama lembaga agama, tokoh agama edukasi," pungkas George.