Pakar Hukum Soroti Wewenang Jaksa dalam Penyidikan Perkara Tipikor

Minggu, 26 Mei 2024 - 21:54 WIB
loading...
Pakar Hukum Soroti Wewenang...
Pakar Hukum Pidana Universitas Islam Indonesia (UII), Mudzakir menyoroti wewenang jaksa dalam penyidikan perkara tindak pidana korupsi (tipikor). Foto/Ilustrasi/SINDOnews
A A A
JAKARTA - Pakar Hukum Pidana Universitas Islam Indonesia (UII), Mudzakir menyoroti wewenang jaksa dalam penyidikan perkara tindak pidana korupsi (tipikor) . Ia menilai memang timbul permasalahan dalam penegakan hukum jika jaksa menjadi penyidik dalam perkara tipikor.

“Pertanyaan akademiknya adalah mengapa jaksa serius mempertahankan wewenang menyidik dalam perkara Tipikor dan tidak tertarik dalam perkara lain, misalnya pembunuhan, perampokan, atau pembegalan dan tidak tertarik menyidik perkara terorisme,” ujarnya, Minggu (26/5/2024).



Mudzakir mengakui tipikor memang perkara pidana yang seksi dan menjadi rebutan para penegak hukum, terutama kejaksaan Agung (Kejagung).

“Karena wewenang menyidik tunggal yaitu tipikor, maka setiap perkara yang dilaporkan kepada KPK dan jaksa konklusinya selalu tipikor karena wewenangnya tunggal. Hanya tipikor (tipikorisasi),” jelasnya.

Mudzakir mengatakan hingga saat ini, KPK dan Kejagung sama-sama memiliki wewenang memeriksa perkara tipikor. Namun, menurut Mudzakir, sering kali ada perkara yang bukan tipikor malah dibuat menjadi perkara tipikor.

“Kredit macet, (dibuat) tipikor, padahal sudah ada jaminan harta benda di bank. Di mana letak kerugian keuangan negara dan tipikornya? Kan dasar pinjamannya perdata, yaitu perjanjian kredit dengan jaminan,” terangnya.

Sehingga, Mudzakir mengungkapkan ketika sampai pada tahap persidangan, hakim pun menolak dan membebaskan para terdakwa karena menilai perkara tersebut hanyalah sebatas perkara perdata.

Misalnya saja kasus Surya Darmadi di mana kerugian negara dalam dugaan korupsi dan pencucian uang PT Duta Palma Group lebih dari Rp104,1 triliun yang ditangani Jampidsus Kejagung Febrie Andriansyah malah disunat Mahkamah Agung (MA) dengan hukuman pidana uang penggantinya dari Rp42 triliun menjadi Rp2 triliun saja.

Untuk itu, Mudzakir menilai lembaga pengawas seperti Komisi Kejaksaan dan Dewan Pengawas (Dewas) KPK masih kurang optimal dalam melakukan tugas dan fungsinya dalam melakukan mekanisme kontrol.


“Menurut analisis saya begitu (pengawasan kurang optimal), sebagai pengawal dan pengawas lembaga profesional di bidang penegakan hukum yakni Dewas pada KPK dan Komisi Kejaksaan pada Kejaksaan RI,” terangnya.
(kri)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1842 seconds (0.1#10.140)