Roy Suryo Prihatin Para Pakar Komunikasi Bungkam di Tengah Polemik RUU Penyiaran

Rabu, 15 Mei 2024 - 22:09 WIB
loading...
Roy Suryo Prihatin Para...
Pakar Telematika dan Multimedia, Roy Suryo mengaku prihatin melihat para pakar telekomunikasi yang seolah bungkam seribu bahasa di tengah polemik RUU Penyiaran yang dihasilkan Baleg DPR. Foto/SINDOnews
A A A
JAKARTA - Pakar Telematika dan Multimedia, Roy Suryo mengaku prihatin melihat para pakar telekomunikasi yang seolah bungkam seribu bahasa di tengah polemikRancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran yang dihasilkan Baleg DPR. Padahal, demokrasi Indonesia tengah sampai ke titik nadir.

"Saya sekali lagi juga prihatin, ke mana pakar-pakar komunikasi sekarang ini? Mengapa mereka mirip-mirip Pakar IT yang 'bungkam seribu bahasa'. Jangan sampai masyarakat suudzon dengan melihat kondisi bisunya mereka dan menduga-menduga ada hal yang negatif. Bangsa ini lagi jeblok indeks demokrasinya sampai ke titik nadir, kalau media juga sudah dibungkam untuk tidak lagi bisa menayangkan jurnalisme investigatif, mau dibawa ke mana Indonesia (C)emas 2045," ujar Roy dalam keterangannya, Rabu (15/5/2024).



Lantas, dia menyampaikan bahwa RUU Penyiaran mencuat dan menjadi kontroversial untuk beberapa aturan disebut telah membatasi bahkan melarang jenis jurnalisme investigatif.

Padahal, menurutnya pembuatan RUU adalah untuk antisipasi terhadap munculnya teknologi baru yang belum diatur oleh UU sebelumnya. Misalnya terkait dengan penyiaran digital, khususnya layanan OTT (Over The Top), UGC (User Generated Content), bahkan AI (Artificial Intelligence) yang kini mulai marak.

"Namun kalau dibuat justru untuk menghambat kehidupan media yang sudah berjalan benar sebagai "The fourth pillar of democrazy" bersanding dengan kekuatan eksekutif, legislatif, dan yudikatif, hal tersebut menjadi salah dan patut dipertanyakan ada apa di baliknya," tandasnya.

Dia menilai kalaupun revisi harus dilakukan karena adanya perubahan bentuk atau lembaga penyiaran, misalnya Penggabungan Lembaga Penyiaran Publik (LPP) RRI dan TVRI (menjadi RTRI) dalam Pasal 15A (1).

Namun terkait dengan jurnalistik investigasi, mendadak RUU ini memuat Pasal 50 B ayat 2 huruf (c) yang melarang media menayangkan siaran ekslusif jurnalistik investigasi. Tak hanya itu, RUU ini juga disisipkan Pasal 42 ayat (2) yang mengatur soal penyelesaian sengketa pers di Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Hal ini jelas tumpang tindih dengan UU Pers Nomor 40 Tahun 1999 yang menyebut bahwa sengketa pers seharusnya diselesaikan oleh Dewan Pers.

Adapun dia merinci secara lebih pasal-pasal RUU Penyiaran (berdasar bukti versi 27/03/2024) yang kontroversial yaitu sebagai berikut:

1. Pasal 42 ayat (2) (tumpang tindih dengan UU Pers No 40/1999) karena di RUU ini berbunyi "Penyelesaian sengketa terkait dengan kegiatan jurnalistik Penyiaran dilakukan oleh KPI sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan."

2. Pasal 50 B ayat (2) huruf (c) (melarang adanya penyiaran eksklusif jurnalistik investigasi) yang berbunyi "Selain memuat panduan kelayakan Isi Siaran dan Konten Siaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), SIS memuat larangan mengenai:dst (c.) Penayangan eksklusif jurnalistik investigasi".

Kemudian yang ke 3. Pasal 50B ayat (2) huruf k (larangan konten siaran yang mengandung penghinaan dan pencemaran nama baik, padahal sudah ada di UU ITE) "Penayangan Isi Siaran dan Konten Siaran yang mengandung berita bohong, fitnah, penghinaan, pencemaran nama baik, penodaan agama, kekerasan, dan radikalisme-terorisme".

4. Pasal 51 huruf E (Penyelesaian sengketa jurnalistik dilakukan di pengadilan, tumpang tindih lagi dengan UU Pers Nomor 40 Tahun 1999) "Sengketa yang timbul akibat dikeluarkannya keputusan KPI dapat diselesaikan melalui pengadilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan".



"Kesimpulannya, inilah RUU yang jelas dalam konsiderannya tidak melihat bahwa sudah ada UU lain yang mengatur hal tersebut sebelumnya, dalam hal ini UU Pers Nomor 40/1999 dan UU ITE Nomor 01/2024 (Revisi dari UU Nomor 08/2008 dan Nomor 19/2016), maka dalam proses harmonisasi di Baleg seharusnya ditolak atau dihilangkan," tutupnya.
(kri)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2790 seconds (0.1#10.140)