Soal RUU Pengelolaan Ruang Udara, DPD RI: Harus Berpihak pada Daerah
loading...
A
A
A
JAKARTA - Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah meminta DPR RI untuk segera membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pengelolaan Ruang Udara pada agenda sidang terdekat guna mendapat persetujuan bersama.
Dalam surat resmi Presiden Jokowi yang ditujukan kepada Ketua DPR RI tertanggal 3 April 2024 lalu, Presiden juga menugaskan Menteri Pertahanan (Menhan), Menteri Perhubungan (Menhub), dan Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) mewakili pemerintah dalam pembahasan RUU tersebut.
Menanggapi hal ini, Pimpinan Komite I DPD RI Filep Wamafma memberikan pandangannya. Filep menilai, RUU tersebut memiliki urgensi yang cukup signifikan, utamanya menyangkut dengan kedaulatan suatu negara. Menurutnya, pengendalian atas wilayah udara yang melintasi wilayah daratan dan perairan merupakan salah satu aspek penting dari kedaulatan suatu negara.
Adanya RUU Pengelolaan Ruang Udara ini sangat penting ya. Indonesia adalah negara besar yang harus berdaulat atas seluruh wilayahnya, termasuk memiliki kendali yang efektif atas ruang udaranya.
"Kita lihat dalam beberapa persoalan, misalnya perjuangan Indonesia di Kepulauan Riau (Kepri) dan Natuna, yang sebelum tahun 2024 pengaturan ruang udara dan segala informasi penerbangan di wilayah Kepri dan Natuna dikendalikan oleh Singapura. Ini menunjukkan belum adanya pengaturan yang tegas terkait batas vertikal kedaulatan wilayah udara,” ujar Filep, Rabu (8/5/2024).
Filep mengatakan, UUD 1945 hanya mengatur dalam Pasal 33 ayat (3) bahwa “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Menurutnya, hal ini menunjukkan bahwa ruang udara belum termasuk dalam pengaturan dasar konstitusi Indonesia.
Begitu juga dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 jqo Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dinyatakan bahwa ruang laut dan ruang udara, pengelolaannya perlu diatur dengan undang-undang tersendiri. “Oleh karena itu, Indonesia memerlukan UU Pengelolaan Ruang Udara untuk mengisi kekosongan hukum ini dan memberikan landasan hukum yang kuat untuk mengatur dan mengawasi penggunaan ruang udara secara efektif,” jelasnya.
Senator Papua Barat itu menyampaikan negara perlu memperhatikan peluang dan ancaman di wilayah udara. Menurutnya, wilayah udara memiliki nilai strategis dan ekonomis yang signifikan terutama dengan adanya kemajuan teknologi penerbangan. "Akan tetapi, perkembangan pesat di semua sektor di era globalisasi saat ini memerlukan pengaturan yang baik guna mencegah ancaman dari luar," ucapnya.
Menurut Filep, Indonesia juga telah merasakan manfaat dari pemanfaatan teknologi kedirgantaraan dalam berbagai aspek kehidupan, namun penting untuk diingat bahwa keuntungan ini bisa terancam jika kemampuan teknologi kedirgantaraan tidak dikendalikan oleh negara.
"Selain itu, ruang udara juga dapat menjadi media dan tempat terjadinya berbagai kejahatan lintas batas atau kejahatan transnasional. Semakin berkembangnya teknologi kedirgantaraan, aktivitas ilegal seperti penyelundupan narkoba, senjata, dan manusia semakin sulit untuk dideteksi dan dicegah,” urainya.
Indonesia seperti banyak negara lainnya menghadapi tantangan serius dalam mengatasi kejahatan lintas batas yang melibatkan penggunaan ruang udara. Kekosongan hukum dalam regulasi pengelolaan ruang udara menciptakan celah yang dapat dieksploitasi oleh para pelaku kejahatan.
Filep mengutarakan, pembentukan UU ini diharapkan dapat berdampak terhadap pendapatan daerah. Pasalnya, sistem sentralistik kebijakan fiskal cenderung mengabaikan hak-hak daerah otonomi, sehingga RUU ini harus mencerminkan keberpihakan terhadap daerah. "RUU Pengelolaan Ruang Udara bisa menjadi peluang bagi daerah-daerah kita untuk lebih mengoptimalkan pemanfaatan ruang udara daerahnya," katanya.
Menurut Filep, pengelolaan ruang udara yang efektif dapat membuka peluang baru dalam hal pengembangan ekonomi, infrastruktur, dan pariwisata. "Misalnya, pengaturan jalur penerbangan yang optimal dapat memudahkan konektivitas antarwilayah di daerah, mendukung pertumbuhan ekonomi lokal, dan memperluas akses ke layanan dasar seperti kesehatan dan pendidikan,” katanya.
Di sisi lain, Filep menyebut, terdapat potensi dampak negatif yang perlu dimitigasi. Salah satunya adalah risiko terhadap lingkungan dan keberlanjutan ekologis. Menurutnya, pengelolaan ruang udara yang tidak berhati-hati bisa berdampak buruk pada ekosistem alam dan kehidupan masyarakat yang mayoritas sangat bergantung pada lingkungan.
“Perlu diingat bahwa sumber daya alam dan keanekaragaman hayati sangat penting dilindungi. Jadi pemanfaatan ruang udara harus diatur secara bijaksana untuk menjaga kelestarian lingkungan dan keberlanjutan sumber daya alam ini,” ujarnya.
Selain dampak ekonomi dan lingkungan, Filep menilai, RUU Pengelolaan Ruang Udara juga dapat berdampak pada aspek sosial dan politik di daerah-daerah. Menurutnya, pengelolaan ruang udara yang tidak memperhatikan aspirasi dan kebutuhan masyarakat lokal dapat menimbulkan konflik sosial dan ketidakpuasan politik. Oleh karena itu, penting untuk melibatkan secara aktif pihak-pihak terkait, termasuk masyarakat lokal, dalam proses perencanaan dan implementasi RUU Pengelolaan Ruang Udara ini.
“Secara keseluruhan, RUU Pengelolaan Ruang Udara memiliki potensi untuk memberikan manfaat besar bagi daerah-daerah, namun bisa jadi juga menimbulkan risiko yang perlu diwaspadai. Implementasi yang bijaksana, transparan, dan melibatkan semua stakeholder dan masyarakat lokal akan menjadi kunci keberhasilannya dalam mencapai tujuan pembangunan yang berkelanjutan dan inklusif di daerah,” sebutnya.
“Perlindungan terhadap lingkungan harus menjadi prioritas, dengan memastikan bahwa pengelolaan ruang udara tidak merusak ekosistem alam dan keanekaragaman hayati yang ada. Hal yang menjadi utama, RUU tersebut juga harus memberikan jaminan atas hak-hak masyarakat lokal untuk mengakses dan memanfaatkan ruang udara sesuai dengan tradisi dan kearifan lokal sehingga dapat mewujudkan keadilan sosial dan perlindungan lingkungan yang baik bagi seluruh rakyat Indonesia,” ungkap Filep.
Filep mengingatkan agar regulasi ini harus mempertimbangkan kepentingan dan kebutuhan lokal, serta memastikan partisipasi aktif dari masyarakat setempat dan pemangku kepentingan lainnya dalam proses perumusannya.
Tujuannya adalah untuk menciptakan kerangka kerja yang seimbang dan adil yang tidak hanya melindungi kedaulatan negara tetapi juga menghormati hak-hak dan kepentingan masyarakat lokal. Dengan demikian, RUU Pengelolaan Ruang Udara diharapkan dapat menjadi instrumen yang efektif dalam mendukung pembangunan yang berkelanjutan di seluruh Indonesia.
Dalam surat resmi Presiden Jokowi yang ditujukan kepada Ketua DPR RI tertanggal 3 April 2024 lalu, Presiden juga menugaskan Menteri Pertahanan (Menhan), Menteri Perhubungan (Menhub), dan Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) mewakili pemerintah dalam pembahasan RUU tersebut.
Menanggapi hal ini, Pimpinan Komite I DPD RI Filep Wamafma memberikan pandangannya. Filep menilai, RUU tersebut memiliki urgensi yang cukup signifikan, utamanya menyangkut dengan kedaulatan suatu negara. Menurutnya, pengendalian atas wilayah udara yang melintasi wilayah daratan dan perairan merupakan salah satu aspek penting dari kedaulatan suatu negara.
Adanya RUU Pengelolaan Ruang Udara ini sangat penting ya. Indonesia adalah negara besar yang harus berdaulat atas seluruh wilayahnya, termasuk memiliki kendali yang efektif atas ruang udaranya.
"Kita lihat dalam beberapa persoalan, misalnya perjuangan Indonesia di Kepulauan Riau (Kepri) dan Natuna, yang sebelum tahun 2024 pengaturan ruang udara dan segala informasi penerbangan di wilayah Kepri dan Natuna dikendalikan oleh Singapura. Ini menunjukkan belum adanya pengaturan yang tegas terkait batas vertikal kedaulatan wilayah udara,” ujar Filep, Rabu (8/5/2024).
Filep mengatakan, UUD 1945 hanya mengatur dalam Pasal 33 ayat (3) bahwa “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Menurutnya, hal ini menunjukkan bahwa ruang udara belum termasuk dalam pengaturan dasar konstitusi Indonesia.
Baca Juga
Begitu juga dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 jqo Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dinyatakan bahwa ruang laut dan ruang udara, pengelolaannya perlu diatur dengan undang-undang tersendiri. “Oleh karena itu, Indonesia memerlukan UU Pengelolaan Ruang Udara untuk mengisi kekosongan hukum ini dan memberikan landasan hukum yang kuat untuk mengatur dan mengawasi penggunaan ruang udara secara efektif,” jelasnya.
Senator Papua Barat itu menyampaikan negara perlu memperhatikan peluang dan ancaman di wilayah udara. Menurutnya, wilayah udara memiliki nilai strategis dan ekonomis yang signifikan terutama dengan adanya kemajuan teknologi penerbangan. "Akan tetapi, perkembangan pesat di semua sektor di era globalisasi saat ini memerlukan pengaturan yang baik guna mencegah ancaman dari luar," ucapnya.
Menurut Filep, Indonesia juga telah merasakan manfaat dari pemanfaatan teknologi kedirgantaraan dalam berbagai aspek kehidupan, namun penting untuk diingat bahwa keuntungan ini bisa terancam jika kemampuan teknologi kedirgantaraan tidak dikendalikan oleh negara.
"Selain itu, ruang udara juga dapat menjadi media dan tempat terjadinya berbagai kejahatan lintas batas atau kejahatan transnasional. Semakin berkembangnya teknologi kedirgantaraan, aktivitas ilegal seperti penyelundupan narkoba, senjata, dan manusia semakin sulit untuk dideteksi dan dicegah,” urainya.
Indonesia seperti banyak negara lainnya menghadapi tantangan serius dalam mengatasi kejahatan lintas batas yang melibatkan penggunaan ruang udara. Kekosongan hukum dalam regulasi pengelolaan ruang udara menciptakan celah yang dapat dieksploitasi oleh para pelaku kejahatan.
Filep mengutarakan, pembentukan UU ini diharapkan dapat berdampak terhadap pendapatan daerah. Pasalnya, sistem sentralistik kebijakan fiskal cenderung mengabaikan hak-hak daerah otonomi, sehingga RUU ini harus mencerminkan keberpihakan terhadap daerah. "RUU Pengelolaan Ruang Udara bisa menjadi peluang bagi daerah-daerah kita untuk lebih mengoptimalkan pemanfaatan ruang udara daerahnya," katanya.
Menurut Filep, pengelolaan ruang udara yang efektif dapat membuka peluang baru dalam hal pengembangan ekonomi, infrastruktur, dan pariwisata. "Misalnya, pengaturan jalur penerbangan yang optimal dapat memudahkan konektivitas antarwilayah di daerah, mendukung pertumbuhan ekonomi lokal, dan memperluas akses ke layanan dasar seperti kesehatan dan pendidikan,” katanya.
Di sisi lain, Filep menyebut, terdapat potensi dampak negatif yang perlu dimitigasi. Salah satunya adalah risiko terhadap lingkungan dan keberlanjutan ekologis. Menurutnya, pengelolaan ruang udara yang tidak berhati-hati bisa berdampak buruk pada ekosistem alam dan kehidupan masyarakat yang mayoritas sangat bergantung pada lingkungan.
“Perlu diingat bahwa sumber daya alam dan keanekaragaman hayati sangat penting dilindungi. Jadi pemanfaatan ruang udara harus diatur secara bijaksana untuk menjaga kelestarian lingkungan dan keberlanjutan sumber daya alam ini,” ujarnya.
Selain dampak ekonomi dan lingkungan, Filep menilai, RUU Pengelolaan Ruang Udara juga dapat berdampak pada aspek sosial dan politik di daerah-daerah. Menurutnya, pengelolaan ruang udara yang tidak memperhatikan aspirasi dan kebutuhan masyarakat lokal dapat menimbulkan konflik sosial dan ketidakpuasan politik. Oleh karena itu, penting untuk melibatkan secara aktif pihak-pihak terkait, termasuk masyarakat lokal, dalam proses perencanaan dan implementasi RUU Pengelolaan Ruang Udara ini.
“Secara keseluruhan, RUU Pengelolaan Ruang Udara memiliki potensi untuk memberikan manfaat besar bagi daerah-daerah, namun bisa jadi juga menimbulkan risiko yang perlu diwaspadai. Implementasi yang bijaksana, transparan, dan melibatkan semua stakeholder dan masyarakat lokal akan menjadi kunci keberhasilannya dalam mencapai tujuan pembangunan yang berkelanjutan dan inklusif di daerah,” sebutnya.
“Perlindungan terhadap lingkungan harus menjadi prioritas, dengan memastikan bahwa pengelolaan ruang udara tidak merusak ekosistem alam dan keanekaragaman hayati yang ada. Hal yang menjadi utama, RUU tersebut juga harus memberikan jaminan atas hak-hak masyarakat lokal untuk mengakses dan memanfaatkan ruang udara sesuai dengan tradisi dan kearifan lokal sehingga dapat mewujudkan keadilan sosial dan perlindungan lingkungan yang baik bagi seluruh rakyat Indonesia,” ungkap Filep.
Filep mengingatkan agar regulasi ini harus mempertimbangkan kepentingan dan kebutuhan lokal, serta memastikan partisipasi aktif dari masyarakat setempat dan pemangku kepentingan lainnya dalam proses perumusannya.
Tujuannya adalah untuk menciptakan kerangka kerja yang seimbang dan adil yang tidak hanya melindungi kedaulatan negara tetapi juga menghormati hak-hak dan kepentingan masyarakat lokal. Dengan demikian, RUU Pengelolaan Ruang Udara diharapkan dapat menjadi instrumen yang efektif dalam mendukung pembangunan yang berkelanjutan di seluruh Indonesia.
(cip)