Soal Bentrok Prajurit AL-Brimob, DPR: Sistem Pendidikan TNI-Polri Harus Diperbaiki

Senin, 15 April 2024 - 17:41 WIB
loading...
Soal Bentrok Prajurit...
Anggota Komisi III DPR I Wayan Sudirta menyebut perlunya mengevaluasi dan memperbaiki sistem pendidikan TNI-Polri menyusul bentrokan yang terjadi di Pelabuhan Sorong Papua. Foto/SINDOnews
A A A
JAKARTA - Komisi III DPR meminta sistem pendidikan dan implementasi Reformasi TNI-Polri perlu dievaluasi. Hal itu menyikapi bentrokan yang terjadi antara anggota Brimob dengan prajurit TNI Angkatan Laut (AL) di Sorong, Papua Barat pada Minggu, 14 April 2024.

Anggota Komisi III DPR I Wayan Sudirta menyayangkan kejadian tersebut. Menurut Wayan, konflik TNI-Polri ini adalah kejadian berulang di tengah wacana sinergitas TNI-Polri. ”Kapolri dan Panglima TNI selalu mengikrarkan kebersamaan TNI-Polri yang harmonis dan kolaboratif. Namun apa yang terjadi di lapangan merefleksikan bayangan yang berbeda dari upaya tersebut,” ujarnya, Senin (15/4/2024).

Berdasarkan informasi yang diperoleh, konflik TNI-Polri ini hampir setiap tahun terjadi. Sebelumnya, kejadian serupa terjadi pada Maret lalu di Bumi Papua di markas Polres Jayawijaya. Begitu juga pada 2023, konflik yang sama terjadi di Makassar dan Nusa Tenggara Timur (NTT) dengan rentang waktu yang berdekatan.

“Saya melihat konflik TNI dan Polri yang kerap terjadi tersebut merupakan salah satu contoh terjadinya ego-sektoral, di mana semangat dalam organisasi TNI dan Polri yang memiliki jiwa korsa (esprit de corps) yang mengedepankan kesatuan, kekompakan, dan kecintaan terhadap institusi dengan rela berkorban,” katanya.



Implikasinya, bentrok ini menjadi suatu keniscayaan yang tidak akan pernah hilang sepanjang keduanya lebih mengedepankan jiwa korsa dalam arti sempit tersebut. Semangat jiwa korsa seperti Tri Brata dan Catur Prasetya seharusnya dipahami sebagai semangat persatuan dan kesatuan bangsa dan negara atau Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

”Saya mencatat setidaknya terdapat beberapa hal yang menjadi faktor penyebabnya atau setidaknya menjadi pemicu perbedaan dan konflik sektoral ini,” ujarnya.

Pertama, dari sisi kebijakan yakni pengaturan tugas dan kewenangan yang bersinggungan. Banyak aturan yang sebenarnya bertujuan untuk menggabungkan dua kekuatan besar ini dalam menghadapi persoalan tertentu, seperti pengamanan objek vital, pencegahan dan pemberantasan terorisme, dan pemeliharaan keamanan dan ketertiban di wilayah.



”Hal ini berdampak pada penyediaan sumber daya yang tentu seperti terjadi sebuah persaingan atau kompetisi. Gesekan kewenangan dan fungsi ini memang menjadi jawaban kekurangan sumber daya di beberapa sektor atau wilayah,” katanya.

Kedua, terkait dengan tindakan pengawasan dan penegakan aturan. Pelaksanaan sistem pengawasan yang melekat dengan menerapkan prinsip reward and punishment atau meritokrasi yang telah diatur, seharusnya sudah dapat diberlakukan secara konsisten sehingga dapat mencegah dan menimbulkan efek jera.

”Banyak pihak sebenarnya mempertanyakan efektivitas pelaksanaan sistem pengawasan ini, karena seolah budaya kekerasan atau kultur arogansi ini selalu terjadi dan bahkan dikedepankan dalam menjalankan tugas dan fungsinya hingga dalam kehidupan sehari-hari,” ucapnya.

Penegakan etik dan aturan yang ada seolah hanya kepura-puraan atau tindakan formalitas, serta tidak menyasar pada persoalan pokok yang seharusnya menjadi agenda utama dari tujuan pelaksanaan reformasi kultur dan struktur.

”Saya juga mencatat adanya sebuah penyederhanaan masalah pada beberapa kasus konflik tersebut. Melihat dari akar permasalahan memang bisa saja terjadi konflik yang disebabkan oleh kesalahpahaman atau masalah sepele. Akan tetapi hal ini sebenarnya tidak bisa dibiarkan atau ditindaklanjuti dengan mudah atau sepele,” paparnya.

Penegakan hukum atau tindakan sesuai aturan seharusnya diberlakukan secara tegas dan konsisten. Banyak yang mempertanyakan transparansi dan keadilan dari beberapa kasus yang terjadi. Sebab banyak akibat yang terjadi dari konflik tersebut yang melahirkan korban masyarakat dan merugikan masyarakat atau setidaknya meresahkan masyarakat setempat.

”Publik seringkali mempertanyakan mengenai tindak lanjut pelanggaran hukum tersebut karena rentan dengan persepsi impunitas dan penanganan secara tertutup atau rahasia oleh keduanya. Masyarakat menilai seharusnya penanganan dan hukuman terhadap anggota TNI-Polri yang melakukan kekerasan, apalagi hingga berdampak pada korban sipil, seharusnya mendapat pemberatan,” kata Wayan.

Ketiga, terkait dengan kualitas dan integritas yang dibangun dalam sistem manajemen Sumber Daya Manusia (SDM). Menurut Wayan, banyak anggota TNI dan Polri yang sebenarnya telah dibekali dengan kemampuan rekonsilitatif dan pemahaman untuk mengedepankan kekompakan TNI dan Polri, namun lebih memilih tindakan anarkis dalam membela anggotanya. Bahkan mereka berani berjalan di luar nalar atau koridor aturan yang berlaku.

”Hal ini tentu menjadi contoh buruk bagi upaya untuk melakukan reformasi dan modernisasi TNI dan Polri yang mengedepankan profesionalisme dan akuntabilitas. Saya mencatat sistem kepemimpinan dan pendidikan yang ada pada TNI dan Polri perlu diperbaiki, terutama dalam pemahaman mengenai esprit de corps, akuntabilitas dalam menjalankan tugas dan fungsi, serta menjunjung tinggi etika dan moralitas secara baik dan benar,” katanya.

Wayan melihat persoalan ego-sektoral ini menjadi pekerjaan rumah yang besar bagi negara yang seharusnya dijawab dengan reformasi kultur dan struktur atau revolusi mental dengan mengedepankan perbaikan mutu pendidikan dan pembangunan integritas SDM.

”Gesekan antar lembaga atau para pihak dalam menyelenggarakan negara ini, memang sulit untuk dihindari secara penuh dan menyeluruh, apalagi yang berkaitan dengan pemeliharaan keamanan dan ketertiban dalam masyarakat seperti TNI dan Polri, atau instansi terkait lainnya di wilayah,” katanya.

Namun, hal ini terkait dengan bagaimana cara masing-masing pihak dalam memilih untuk mengedepankan rasa tanggung jawab terhadap moralitas dan etika bangsa yang berlandaskan pada filosofi nilai-nilai dalam Pancasila dan ketentuan perundang-undangan, serta rasa kekeluargaan atau gotong-royong yang telah menjadi kekayaan budaya bangsa Indonesia.

”Kita sudah tidak lagi dijajah seperti pada masa pemerintahan kolonial, namun kita jangan sampai terjajah oleh bangsa kita sendiri dan mulai untuk menghindari perilaku kuno seperti anarkis, egoisme, esklusif, dan arogansi seperti yang ditampilkan oleh para penjajah,” katanya.
(cip)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.3483 seconds (0.1#10.140)