Tolak Putusan MA, Eksekusi Baiq Nuril Dinilai Cacat Hukum

Senin, 19 November 2018 - 15:20 WIB
Tolak Putusan MA, Eksekusi Baiq Nuril Dinilai Cacat Hukum
Tolak Putusan MA, Eksekusi Baiq Nuril Dinilai Cacat Hukum
A A A
JAKARTA - Penolakan terhadap putusan Mahkamah Agung (MA) yang memvonis Baiq Nuril, mantan guru honorer SMA 7 Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB) enam bulan penjara dan denda Rp500 juta, terus digaungkan. Salah satunya disampaikan aktivis perempuan Rieke Diah Pitaloka.

Anggota DPR dari Fraksi PDI Perjuangan ini dalam keterangan tertulisnya, Senin (19/11/2018), menyatakan putusan MA terhadap Baiq Nuril terindikasi kuat mengabaikan fakta persidangan di PN Mataram. Fakta hukum membuktikan Baiq Nuril bukanlah pihak yang melakukan tindakan mentransmisikan atau mendistribusikan rekaman percakapan asusila tersebut.

"Majelis hakim PN Mataram menyatakan dalam putusannya bahwa hasil rekaman pembicaraan Baiq Nuril dengan Muslim yang diduga mengandung unsur asusila dinilai tidak memenuhi pidana pelanggaran Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik," kata Rieke yang mengaku pernah memantau langsung persidangan terbuka di PN Mataram pada 24 Mei 2017 silam.

Keterangan saksi ahli persidangan dari Kemenkominfo, Teguh Afriyadi, kata Rieke, juga memperkuat fakta bahwa Baiq Nuril bukan pelaku penyebaran konten mengandung unsur asusila. Perbuatan melanggar hukum tersebut dilakukan pihak lain bukan Baiq Nuril.

"Artinya unsur tindakan melakukan transmisi dan atau mendistribusikan seperti tercantum dalam pasal 27 ayat 1 UU ITE tidak bisa diarahkan kepada Baiq Nuril," katanya.

Langkah Kejaksaan Negeri (Kejari) Mataram melayangkan surat eksekusi terhadap Baiq Nuril juga dinilai berpotensi cacat dan melanggar hukum. Sebab, informasi dari kuasa hukum Baiq Nuril, hingga saat ini salinan resmi putusan MA belum diterima kliennya, PN dan Kejaksaan Mataram. Apalagi dasar surat panggilan Kejari bernomor B-1109/P.2.10/11/2018 itu hanya berupa petikan.

"Saya mendapat copy surat panggilan dari Kejaksaan Negeri Mataram tersebut. Jika copy surat itu benar adanya, maka telah terjadi indikasi kuat pelanggaran Kejari Mataram terhadap Pasal 270 KUHAP yang mengatur bahwa pelaksanaan eksekusi harus menggunakan salinan putusan," ujar Rieke yang menjadi salah satu Pengusung RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.

Seperti diberitakan, kasus ini berawal dari Agustus 2012. Baiq Nuril yang bekerja sebagai staf honorer di SMAN 7 Mataram merekam pembicaraan telepon dengan Kepala SMAN 7 Mataram, Muslim. Pada 2014, Imam Mudawim, seorang rekan Baiq Nuril, meminjam telepon dan menyalin rekaman percakapan tersebut. Setelah itu, rekaman tersebar luas ke sejumlah guru dan siswa.

Muslim yang merasa telah dicemarkan nama baiknya melaporkan Baiq Nuril ke polisi pada Desember 2014. Hingga akhirnya pada 27 Maret 2017, Baiq Nuril ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan tindak pidana mentransmisikan rekaman elektronik yang bermuatan kesusilaan, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), pasal 27 ayat (1), juncto pasal 45 ayat (1) dengan ancaman Pidana penjara paling lama enam tahun dan denda paling banyak Rp 1 Miliar. Sejak saat itu, Baiq Nuril resmi dipenjara sambil menjalani proses persidangan.

Pada 14 Juni 2017, jaksa penuntut umum yang terdiri dari Julianto dan Ida Ayu Putu Camundi Dewi menuntut Baiq Nuril dengan hukuman pidana enam bulan penjara dan denda sebesar Rp500 juta subsider tiga bulan kurungan. Namun pada 26 Juli 2017, majelis hakim PN Mataram yang diketahui Albertus Husada menyatakan Baiq Nuril tidak bersalah dan tidak melanggar pasal-pasal yang dituduhkan.
(maf)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 3.8889 seconds (0.1#10.140)