Pidato Pengantar Presiden untuk RAPBN 2021 Kurang Realistis
loading...
A
A
A
Fadli Zon
Chairman Institute for Policy Studies (IPS), Alumnus Studi Pembangunan London School of Economics (LSE), Inggris
KITA kemarin sudah mendengar pidato kenegaraan Presiden Joko Widodo dalam rangka mengantarkan RUU APBN 2021. Di tengah ancaman pandemi serta resesi ekonomi yang masih akan terus berlangsung, kita sebenarnya ingin mendengarkan pidato kenegaraan yang dekat dengan kenyataan. Hanya dengan mendekati realitas, kita akan bisa mencari jalan keluar tepat untuk mengatasi krisis yang tengah berlangsung.
Sayangnya harapan itu tak terpenuhi. Pidato kemarin kurang realistis. Satu hal paling mencolok adalah soal target pertumbuhan ekonomi. Presiden Joko Widodo menargetkan pertumbuhan tahun depan ada pada kisaran 4,5 hingga 5,5%. Di tengah pandemi, itu adalah target yang tak masuk akal. Apalagi, selama kuartal kedua 2020 kemarin pertumbuhan ekonomi kita anjlok hingga minus 5,32%.
Bagaimana caranya melompat dari angka minus 5% ke angka positif 5% di tengah-tengah pandemi, jika sebelum pandemi saja angka pertumbuhan kita hanya bisa mepet 5%? Rasanya tak perlu menjadi ekonom untuk menilai target itu sama sekali jauh dari realistis!
Pernyataan Presiden bahwa kita harus menjadikan krisis ini sebagai momen untuk melakukan lompatan besar adalah ungkapan terlalu muluk. Optimisme penting, tapi realistis lebih penting lagi. Sesudah kehidupan ekonomi kita anjlok, sebagaimana perekonomian hampir seluruh negara di dunia saat ini, yang kita perlukan adalah pemulihan, alias kembali ke titik normal. Bicara mengenai lompatan pada saat kita sedang terpuruk, selain tak masuk akal, juga bukan ungkapan bijaksana.
Ada empat alasan kenapa optimisme dalam pidato Presiden kemarin kurang realistis.
Pertama, anggaran stimulus ekonomi yang akan diberikan pemerintah tahun depan lebih kecil daripada anggaran tahun ini. Merujuk pada revisi APBN 2020, anggaran Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) tahun ini mencapai Rp695 triliun. Sementara, tahun 2021 pemerintah hanya akan menganggarkan Rp356,5. Artinya, dengan anggaran hampir Rp700 triliun saja pemerintah gagal mengangkat perekonomian, apalagi dengan anggaran yang berkurang hampir setengahnya?
Kedua, RAPBN 2021 dengan jelas menunjukkan penyusunan anggaran belanja pemerintah sejauh ini tak memiliki korelasi dengan kurva pandemi maupun proyeksinya. Patokannya adalah besaran anggaran PEN dan defisit APBN itu sendiri.
Dengan dalih pandemi, tahun ini pemerintah telah dua kali merevisi APBN 2020 yang kemudian menghasilkan anggaran PEN Rp695 triliun dan pelebaran defisit 6,34% (Rp1.039,2 triliun). Sebagai catatan, ketika menyusun anggaran ini pemerintah memproyeksikan pandemi Covid-19 akan melandai pada Juli atau Agustus 2020.
Pada kenyataannya, pandemi justru kian meluas. Selain kluster-kluster besar berupa wilayah, sejak pemerintah melonggarkan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) pada Juli kemarin, kini juga muncul kluster-kluster baru berupa mal, perkantoran, pabrik, bahkan sekolah. Anehnya, ketika kurva pandemi terus menanjak, dan ujung dari pandemi ini semakin tak bisa diramalkan, alokasi anggaran pemerintah untuk menangani isu ini justru berkurang drastis.
Hal ini menunjukkan bahwa basis pengalokasian anggaran pemerintah memang kurang realistis, atau tak jelas basisnya.
Muncul pertanyaan terkait anggaran PEN. Ada sebenarnya dasar pemerintah mengalokasikan anggaran Rp695 triliun untuk PEN? Perlukah anggaran sebesar itu, yang telah menyebabkan defisit APBN kita melonjak drastis? Kalau alasannya pandemi dan resesi ekonomi, mestinya alokasi anggaran untuk tahun depan jauh lebih besar, atau minimal sama, karena resesi global sebenarnya baru saja dimulai pertengahan tahun ini. Pada kenyataannya, anggaran PEN tahun depan berkurang hampir separuhnya, ketika pandemi dan resesi diproyeksikan akan terus memburuk.
Ketiga, perlindungan sosial untuk rakyat kecil justru dikurangi. Kalau kita lihat postur RAPBN 2021, anggaran Kementerian Sosial (Kemensos) tahun 2021 “hanya” berjumlah Rp92,82 triliun, alias turun dari anggaran tahun ini Rp134 triliun. Konsekuensinya, sebagaimana diakui Menteri Keuangan, akan menyebabkan nilai bantuan sosial (bansos) tunai untuk 10 juta keluarga penerima manfaat (KPM) juga akan turun. Nilai bantuan akan turun dari sebelumnya Rp300 ribu menjadi tinggal Rp200 ribu per KPM.
Dengan adanya penurunan kembali tahun depan, berarti sejak pandemi ini muncul pemerintah telah dua kali menurunkan nilai bansos. Semula, pemerintah memberikan bansos senilai Rp600 ribu per KPM. Jumlah ini kemudian diturunkan menjadi Rp300 ribu. Dan tahun depan akan kembali dipangkas menjadi Rp200 ribu.
Secara keseluruhan, alokasi anggaran perlindungan sosial terkait pandemi memang menurun. Dalam APBN 2020 pemerintah menganggarkan Rp203,9 triliun. Namun, dalam RAPBN 2021 anggarannya tinggal Rp110,2 triliun.
Terus terpangkasnya bantuan tunai untuk masyarakat memang ironis. Mengingat, di sisi lain pidatonya Presiden menyebut kunci pertumbuhan ekonomi kita saat ini adalah konsumsi rumah tangga. Bagaimana rakyat bisa menambah konsumsinya, jika mereka kehilangan pekerjaan, kehilangan penghasilan, dan juga kehilangan bantuan sosial dari pemerintahnya?
Dan keempat, serapan belanja pemerintah sangat rendah. Kementerian Keuangan menyebutkan, hingga akhir Juli kemarin, realisasi belanja untuk PEN baru mencapai 19%, atau sekitar Rp136 triliun dari total Rp695 triliun yang dianggarkan. Itu serapan yang sangat rendah. Padahal, di sisi lain pemerintah telah diberi “kekebalan hukum” dalam mengalokasikan dan menggunakan anggaran.
Jika serapan belanja pemerintah hingga kuartal kedua saja serendah itu, maka proyeksi bahwa pertumbuhan ekonomi kita bisa kembali ke angka 5 persen tahun depan adalah proyeksi yang terlalu muluk.
Dengan empat catatan tadi, saya bisa menilai pidato Presiden kemarin memang kurang realistis. Itu bukan kado yang diharapkan di tengah perayaan HUT Kemerdekaan RI ke-75.
Chairman Institute for Policy Studies (IPS), Alumnus Studi Pembangunan London School of Economics (LSE), Inggris
KITA kemarin sudah mendengar pidato kenegaraan Presiden Joko Widodo dalam rangka mengantarkan RUU APBN 2021. Di tengah ancaman pandemi serta resesi ekonomi yang masih akan terus berlangsung, kita sebenarnya ingin mendengarkan pidato kenegaraan yang dekat dengan kenyataan. Hanya dengan mendekati realitas, kita akan bisa mencari jalan keluar tepat untuk mengatasi krisis yang tengah berlangsung.
Sayangnya harapan itu tak terpenuhi. Pidato kemarin kurang realistis. Satu hal paling mencolok adalah soal target pertumbuhan ekonomi. Presiden Joko Widodo menargetkan pertumbuhan tahun depan ada pada kisaran 4,5 hingga 5,5%. Di tengah pandemi, itu adalah target yang tak masuk akal. Apalagi, selama kuartal kedua 2020 kemarin pertumbuhan ekonomi kita anjlok hingga minus 5,32%.
Bagaimana caranya melompat dari angka minus 5% ke angka positif 5% di tengah-tengah pandemi, jika sebelum pandemi saja angka pertumbuhan kita hanya bisa mepet 5%? Rasanya tak perlu menjadi ekonom untuk menilai target itu sama sekali jauh dari realistis!
Pernyataan Presiden bahwa kita harus menjadikan krisis ini sebagai momen untuk melakukan lompatan besar adalah ungkapan terlalu muluk. Optimisme penting, tapi realistis lebih penting lagi. Sesudah kehidupan ekonomi kita anjlok, sebagaimana perekonomian hampir seluruh negara di dunia saat ini, yang kita perlukan adalah pemulihan, alias kembali ke titik normal. Bicara mengenai lompatan pada saat kita sedang terpuruk, selain tak masuk akal, juga bukan ungkapan bijaksana.
Ada empat alasan kenapa optimisme dalam pidato Presiden kemarin kurang realistis.
Pertama, anggaran stimulus ekonomi yang akan diberikan pemerintah tahun depan lebih kecil daripada anggaran tahun ini. Merujuk pada revisi APBN 2020, anggaran Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) tahun ini mencapai Rp695 triliun. Sementara, tahun 2021 pemerintah hanya akan menganggarkan Rp356,5. Artinya, dengan anggaran hampir Rp700 triliun saja pemerintah gagal mengangkat perekonomian, apalagi dengan anggaran yang berkurang hampir setengahnya?
Kedua, RAPBN 2021 dengan jelas menunjukkan penyusunan anggaran belanja pemerintah sejauh ini tak memiliki korelasi dengan kurva pandemi maupun proyeksinya. Patokannya adalah besaran anggaran PEN dan defisit APBN itu sendiri.
Dengan dalih pandemi, tahun ini pemerintah telah dua kali merevisi APBN 2020 yang kemudian menghasilkan anggaran PEN Rp695 triliun dan pelebaran defisit 6,34% (Rp1.039,2 triliun). Sebagai catatan, ketika menyusun anggaran ini pemerintah memproyeksikan pandemi Covid-19 akan melandai pada Juli atau Agustus 2020.
Pada kenyataannya, pandemi justru kian meluas. Selain kluster-kluster besar berupa wilayah, sejak pemerintah melonggarkan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) pada Juli kemarin, kini juga muncul kluster-kluster baru berupa mal, perkantoran, pabrik, bahkan sekolah. Anehnya, ketika kurva pandemi terus menanjak, dan ujung dari pandemi ini semakin tak bisa diramalkan, alokasi anggaran pemerintah untuk menangani isu ini justru berkurang drastis.
Hal ini menunjukkan bahwa basis pengalokasian anggaran pemerintah memang kurang realistis, atau tak jelas basisnya.
Muncul pertanyaan terkait anggaran PEN. Ada sebenarnya dasar pemerintah mengalokasikan anggaran Rp695 triliun untuk PEN? Perlukah anggaran sebesar itu, yang telah menyebabkan defisit APBN kita melonjak drastis? Kalau alasannya pandemi dan resesi ekonomi, mestinya alokasi anggaran untuk tahun depan jauh lebih besar, atau minimal sama, karena resesi global sebenarnya baru saja dimulai pertengahan tahun ini. Pada kenyataannya, anggaran PEN tahun depan berkurang hampir separuhnya, ketika pandemi dan resesi diproyeksikan akan terus memburuk.
Ketiga, perlindungan sosial untuk rakyat kecil justru dikurangi. Kalau kita lihat postur RAPBN 2021, anggaran Kementerian Sosial (Kemensos) tahun 2021 “hanya” berjumlah Rp92,82 triliun, alias turun dari anggaran tahun ini Rp134 triliun. Konsekuensinya, sebagaimana diakui Menteri Keuangan, akan menyebabkan nilai bantuan sosial (bansos) tunai untuk 10 juta keluarga penerima manfaat (KPM) juga akan turun. Nilai bantuan akan turun dari sebelumnya Rp300 ribu menjadi tinggal Rp200 ribu per KPM.
Dengan adanya penurunan kembali tahun depan, berarti sejak pandemi ini muncul pemerintah telah dua kali menurunkan nilai bansos. Semula, pemerintah memberikan bansos senilai Rp600 ribu per KPM. Jumlah ini kemudian diturunkan menjadi Rp300 ribu. Dan tahun depan akan kembali dipangkas menjadi Rp200 ribu.
Secara keseluruhan, alokasi anggaran perlindungan sosial terkait pandemi memang menurun. Dalam APBN 2020 pemerintah menganggarkan Rp203,9 triliun. Namun, dalam RAPBN 2021 anggarannya tinggal Rp110,2 triliun.
Terus terpangkasnya bantuan tunai untuk masyarakat memang ironis. Mengingat, di sisi lain pidatonya Presiden menyebut kunci pertumbuhan ekonomi kita saat ini adalah konsumsi rumah tangga. Bagaimana rakyat bisa menambah konsumsinya, jika mereka kehilangan pekerjaan, kehilangan penghasilan, dan juga kehilangan bantuan sosial dari pemerintahnya?
Dan keempat, serapan belanja pemerintah sangat rendah. Kementerian Keuangan menyebutkan, hingga akhir Juli kemarin, realisasi belanja untuk PEN baru mencapai 19%, atau sekitar Rp136 triliun dari total Rp695 triliun yang dianggarkan. Itu serapan yang sangat rendah. Padahal, di sisi lain pemerintah telah diberi “kekebalan hukum” dalam mengalokasikan dan menggunakan anggaran.
Jika serapan belanja pemerintah hingga kuartal kedua saja serendah itu, maka proyeksi bahwa pertumbuhan ekonomi kita bisa kembali ke angka 5 persen tahun depan adalah proyeksi yang terlalu muluk.
Dengan empat catatan tadi, saya bisa menilai pidato Presiden kemarin memang kurang realistis. Itu bukan kado yang diharapkan di tengah perayaan HUT Kemerdekaan RI ke-75.
(ras)