Soal Sertifikasi Halal, KNPI Dukung DPR Minta Penjelasan BPJPH dan MUI
loading...
A
A
A
JAKARTA - Dewan Pengurus Pusat Komite Nasional Pemuda Indonesia (DPP KNPI) menyoroti sertifikasi halal Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI).
Ketua Umum DPP KNPI Haris Pertama mempertanyakan tentang biaya dan prosesnya serta hasilnya berapa jumlah yang sudah di sertifikasi.
Sementara negara dalam hal ini Kementerian Agama dikatakannya juga memberikan anggaran untuk biaya operasional MUI. “Audit penggunaan keuangan yang didapat dari sertifikasi halal,” tegas Haris di Jakarta, Kamis 13 Agustus 2020.
Menurut dia, kewenangan MUI tentang sertifikasi halal berdasarkan UU 33 tahun 2014 seharusnya berakhir. "Karena proses sertifikasi halal dialihkan atau diambil alih negara karena sifatnya yang mandatory (wajib) sedangkan dulu sifatnya volunteer (sukarela),” katanya.
( )
Politikus Partai Golkar ini menjelaskan tentang UU 33 tahun 2014 kewajiban halal diberlakukan untuk semua produk makanan dan minuman sejak 17 Oktober 2019, lima tahun sejak ditetapkan UU tentang Jaminan Produk Halal. “Sejak itu harusnya negara mendapatkan pendapatan dari proses sertifikasi halal namun masih banyak kendala yang belum bisa diwujudkan karena menteri keuangan belum mengeluarkan tarif biaya sertifikasi halal,” ujarnya.
Dalam prosesnya, kata dia, UU tersebut sedang di roses dalam klaster UU Cipta Kerja. "Sertifikasi halal diharapkan dengan Omnibus Law Cipta Kerja ini bahwa proses pelayanan produk halal menjadi lebih mudah, sederhana dan murah dengan melibatkan semua ormas islam dan perguruan tinggi di Indonesia,” katanya.
( )
Menurut dia, ada banyak pelaku usaha menengah ke bawah, makanan dan minuman, dan secara nasional yang disampaikan oleh MUI dalam suratnya kepada DPR per tanggal 10 Juni 2020, kapasitas sertifikasi halal di MUI secara nasional mencapai 102.744.000 pertahun.
“Sekarang, berapakah harga per sertifikasi halal? Belum lagi usaha menengah ke atas dan produk makanan minuman dari importasi?” ujar Haris.
Haris juga mendukung Komisi VIII DPR yang akan segera memanggil Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk membahas proses sertifikasi halal.
“Kami meminta BPJPH mempercepat penerbitan kebijakan-kebijakan untuk mendukung pelaksanaan proses sertifikasi halal yang menjadi tugas dan fungsi badan tersebut,” ujarnya.
Ketua Umum DPP KNPI Haris Pertama mempertanyakan tentang biaya dan prosesnya serta hasilnya berapa jumlah yang sudah di sertifikasi.
Sementara negara dalam hal ini Kementerian Agama dikatakannya juga memberikan anggaran untuk biaya operasional MUI. “Audit penggunaan keuangan yang didapat dari sertifikasi halal,” tegas Haris di Jakarta, Kamis 13 Agustus 2020.
Menurut dia, kewenangan MUI tentang sertifikasi halal berdasarkan UU 33 tahun 2014 seharusnya berakhir. "Karena proses sertifikasi halal dialihkan atau diambil alih negara karena sifatnya yang mandatory (wajib) sedangkan dulu sifatnya volunteer (sukarela),” katanya.
( )
Politikus Partai Golkar ini menjelaskan tentang UU 33 tahun 2014 kewajiban halal diberlakukan untuk semua produk makanan dan minuman sejak 17 Oktober 2019, lima tahun sejak ditetapkan UU tentang Jaminan Produk Halal. “Sejak itu harusnya negara mendapatkan pendapatan dari proses sertifikasi halal namun masih banyak kendala yang belum bisa diwujudkan karena menteri keuangan belum mengeluarkan tarif biaya sertifikasi halal,” ujarnya.
Dalam prosesnya, kata dia, UU tersebut sedang di roses dalam klaster UU Cipta Kerja. "Sertifikasi halal diharapkan dengan Omnibus Law Cipta Kerja ini bahwa proses pelayanan produk halal menjadi lebih mudah, sederhana dan murah dengan melibatkan semua ormas islam dan perguruan tinggi di Indonesia,” katanya.
( )
Menurut dia, ada banyak pelaku usaha menengah ke bawah, makanan dan minuman, dan secara nasional yang disampaikan oleh MUI dalam suratnya kepada DPR per tanggal 10 Juni 2020, kapasitas sertifikasi halal di MUI secara nasional mencapai 102.744.000 pertahun.
“Sekarang, berapakah harga per sertifikasi halal? Belum lagi usaha menengah ke atas dan produk makanan minuman dari importasi?” ujar Haris.
Haris juga mendukung Komisi VIII DPR yang akan segera memanggil Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk membahas proses sertifikasi halal.
“Kami meminta BPJPH mempercepat penerbitan kebijakan-kebijakan untuk mendukung pelaksanaan proses sertifikasi halal yang menjadi tugas dan fungsi badan tersebut,” ujarnya.
(dam)