Sempurnakan UU Pemilu, Denny JA Sarankan Akademisi Jadi Evaluator Pemilu 2024
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pendiri Lingkaran Survei Indonesia (LSI), Denny JA mengatakan Pemilu , Pilpres, hingga Pileg 2024 layak untuk evaluasi. Namun, dia menyarankan agar evaluatornya sebaiknya akademisi, bukan politisi.
“Bukan hanya pilpres yang perlu dievaluasi, tapi juga pileg. Evaluatornya jangan politisi, partai politik, atau DPR, yang bias karena kepentingan politiknya, tapi peneliti, akademisi, yang kredibel, yang berada di kampus dan lembaga riset," ujar Denny dalam diskusi di Creator Club yang cuplikannya dimuat di akun medsosnya, Rabu (6/3/2024).
"Hasil kajian akademis atas kecurangan yang terjadi dijadikan bahan untuk perbaikan dan penyempurnaan Undang-Undang Pemilu ataupun Undang-Undang Presiden,” sambungnya.
Denny menyatakan pandangannya berkaitan dengan hak angket kecurangan Pemilu 2024 yang sedang marak. Denny, selaku peneliti dan baru saja menerima The Legend Award karena telah ikut memenangkan lima kali capres berturut-turut, mempunyai data opini publik soal kecurangan pemilu.
"Begitu hebohnya isu pemilu curang itu bergema di berbagai tempat di Tanah Air. Survei LSI (Februari, 2024) merekam opini publik. Sebesar 31,4% publik percaya pemilu ini curang. Namun ada sekitar 60,5% yang mengatakan pemilu ini tidak curang," jelasnya.
Dialanjutkan Denny, masih jauh lebih banyak yang merasa Pemilu 2024 tidak curang. Perbandingannya, dari tiga warga, dua menyatakan pemilu tidak curang, satu menyatakan pemilu curang.
Tapi, kata Denny, yang penting juga dipahami meluasnya isu pemiu curang tak hanya terjadi di negara yang sedang dalam tahap “transisi ke demokrasi” seperti Indonesia. Isu pemilu curang juga terjadi dalam opini publik di negara yang demokrasinya sudah terkonsolidasi seperti di Amerika Serikat.
"Donald Trump ketika ia kalah dalam Pilpres 2020, keras sekali ia meyakinkan publik. 'Saya menang. Tapi Joe Biden telah mencuri pemilu. Saya dikalahkan oleh pemilu yang curang',” kata dia/
Trump mengatakan itu berulang-ulang. Akhirnya dalam survei di Amerika Serikat, bahkan tiga tahun setelah pemilu, sepertiga penduduk Amerika Serikat juga meyakini pemilu berlangsung dengan curang.
Hal ini diberitakan antara lain oleh NBC 20 Januari 2023: “Almost a third of Americans still believe the 2020 election result was fraudulent.”
Masih kata Denny, opini bisa terbentuk berbeda dengan fakta hukum sebenarnya. Karena di pengadilan, seperti di Mahkamah Konstitusi tak terbukti pemilu curang itu terjadi yang bisa mengubah hasil.
"Ini hukum besinya. Jika seputar pemilu di sebuah negara, terbentuk polarisasi politik yang begitu tajam dan pemimpin yang kalah mengagitasi pendukungnya bahwa pemilu itu curang, apalagi dengan menggunakan influencers, pasti akan terbentuk opini di sebagian masyarakat bahwa pemilu memang curang," tandasnya.
"Opini bukan fakta. Dan politik memang soal opini dan persepsi," imbuhnya.
Untuk kasus Indonesia, lanjut Denny, bahkan sejak Pilpres 2024, pihak yang kalah pilpres selalu menyatakan pilpres berlangsung dengan curang. Tak ada pilpres di Indonesia sejak 2004 tanpa isu pemilu curang.
Namun ketika datang era pembuktian curang di pengadilan di Mahkamah Konstitusi (MK), pihak yang menuduh curang gagal membuktikannya. Sejak Pilpres 2004, walau hasil KPU selalu digugat, hasil KPU itu pula yang dikokohkah kembali oleh MK.
Menurutnya, yang kalah hampir pasti kembali menggugat hasil KPU ke MK. Begitulah tradisi politik Indonesia sejak era Reformasi. Namun di MK yang mengklaim curang itu gagal membuktikannya.
"Sederhana saja alasannya. Hasil KPU nanti bahwa Prabowo menang satu putaran hanya bisa dibatalkan oleh keajaiban. Mengapa? Hanya jika pihak yang menggugat dapat membawa bukti yang tak terbantahkan sebanyak sekitar 13 juta- 20 juta suara coblosan suara ke Prabowo-Gibran yang salah," tandasnya.
Dari mana datang angka 13 juta-18 juta suara itu? Ini matematikanya. Kemenangan Prabowo-Gibran akan diturunkan dari menang satu putaran ke menang saja tapi dua putaran.
Berarti kemenangan Prabowo-Gibran harus dibuktikan kurang dari 50%. Karena nanti KPU mengumumkan Prabowo-Gibran menang sekitar 58%, maka perlu dibuktikan sekitar 9% suara Prabowo-Gibran itu salah atau tidak sah.
Itu artinya dibutuhkan pembuktian sebanyak 9% dikali 204 juta pemilih (dikurangi golput) itu sama dengan 13 juta-18 juta suara. Menurutnya, dimana mencari pembuktian sebanyak itu. Jauh lebih sulit lagi jika kecurangan yang ada, jikapun ada, memang tak sebanyak itu.
Menurut Denny, isu kecurangan pemilu perlu diletakkan secara proporsional. Pasti ada kecurangan dan kecurangan itu dilakukan oleh setiap kubu yang bertarung.
Untuk kepentingan hidup bernegara, apa pun kecurangan itu perlu didokumentasi untuk perbaikan ke depan. Demokrasi selalu memerlukan proses penyempurnaan dan pematangan.
"Tapi saya berpandangan. Guna mengevaluasi pemilu curang itu secara objektif dan tidak bias, solusinya bukan hak angket! Solusinya adalah kajian akademis," pungkasnya.
Lihat Juga: PDIP Anggap Janggal Hakim PTUN Tak Menerima Gugatan Pencalonan Gibran: Kita Menang Dismissal
“Bukan hanya pilpres yang perlu dievaluasi, tapi juga pileg. Evaluatornya jangan politisi, partai politik, atau DPR, yang bias karena kepentingan politiknya, tapi peneliti, akademisi, yang kredibel, yang berada di kampus dan lembaga riset," ujar Denny dalam diskusi di Creator Club yang cuplikannya dimuat di akun medsosnya, Rabu (6/3/2024).
"Hasil kajian akademis atas kecurangan yang terjadi dijadikan bahan untuk perbaikan dan penyempurnaan Undang-Undang Pemilu ataupun Undang-Undang Presiden,” sambungnya.
Denny menyatakan pandangannya berkaitan dengan hak angket kecurangan Pemilu 2024 yang sedang marak. Denny, selaku peneliti dan baru saja menerima The Legend Award karena telah ikut memenangkan lima kali capres berturut-turut, mempunyai data opini publik soal kecurangan pemilu.
"Begitu hebohnya isu pemilu curang itu bergema di berbagai tempat di Tanah Air. Survei LSI (Februari, 2024) merekam opini publik. Sebesar 31,4% publik percaya pemilu ini curang. Namun ada sekitar 60,5% yang mengatakan pemilu ini tidak curang," jelasnya.
Dialanjutkan Denny, masih jauh lebih banyak yang merasa Pemilu 2024 tidak curang. Perbandingannya, dari tiga warga, dua menyatakan pemilu tidak curang, satu menyatakan pemilu curang.
Tapi, kata Denny, yang penting juga dipahami meluasnya isu pemiu curang tak hanya terjadi di negara yang sedang dalam tahap “transisi ke demokrasi” seperti Indonesia. Isu pemilu curang juga terjadi dalam opini publik di negara yang demokrasinya sudah terkonsolidasi seperti di Amerika Serikat.
"Donald Trump ketika ia kalah dalam Pilpres 2020, keras sekali ia meyakinkan publik. 'Saya menang. Tapi Joe Biden telah mencuri pemilu. Saya dikalahkan oleh pemilu yang curang',” kata dia/
Trump mengatakan itu berulang-ulang. Akhirnya dalam survei di Amerika Serikat, bahkan tiga tahun setelah pemilu, sepertiga penduduk Amerika Serikat juga meyakini pemilu berlangsung dengan curang.
Hal ini diberitakan antara lain oleh NBC 20 Januari 2023: “Almost a third of Americans still believe the 2020 election result was fraudulent.”
Masih kata Denny, opini bisa terbentuk berbeda dengan fakta hukum sebenarnya. Karena di pengadilan, seperti di Mahkamah Konstitusi tak terbukti pemilu curang itu terjadi yang bisa mengubah hasil.
"Ini hukum besinya. Jika seputar pemilu di sebuah negara, terbentuk polarisasi politik yang begitu tajam dan pemimpin yang kalah mengagitasi pendukungnya bahwa pemilu itu curang, apalagi dengan menggunakan influencers, pasti akan terbentuk opini di sebagian masyarakat bahwa pemilu memang curang," tandasnya.
"Opini bukan fakta. Dan politik memang soal opini dan persepsi," imbuhnya.
Untuk kasus Indonesia, lanjut Denny, bahkan sejak Pilpres 2024, pihak yang kalah pilpres selalu menyatakan pilpres berlangsung dengan curang. Tak ada pilpres di Indonesia sejak 2004 tanpa isu pemilu curang.
Namun ketika datang era pembuktian curang di pengadilan di Mahkamah Konstitusi (MK), pihak yang menuduh curang gagal membuktikannya. Sejak Pilpres 2004, walau hasil KPU selalu digugat, hasil KPU itu pula yang dikokohkah kembali oleh MK.
Menurutnya, yang kalah hampir pasti kembali menggugat hasil KPU ke MK. Begitulah tradisi politik Indonesia sejak era Reformasi. Namun di MK yang mengklaim curang itu gagal membuktikannya.
"Sederhana saja alasannya. Hasil KPU nanti bahwa Prabowo menang satu putaran hanya bisa dibatalkan oleh keajaiban. Mengapa? Hanya jika pihak yang menggugat dapat membawa bukti yang tak terbantahkan sebanyak sekitar 13 juta- 20 juta suara coblosan suara ke Prabowo-Gibran yang salah," tandasnya.
Dari mana datang angka 13 juta-18 juta suara itu? Ini matematikanya. Kemenangan Prabowo-Gibran akan diturunkan dari menang satu putaran ke menang saja tapi dua putaran.
Berarti kemenangan Prabowo-Gibran harus dibuktikan kurang dari 50%. Karena nanti KPU mengumumkan Prabowo-Gibran menang sekitar 58%, maka perlu dibuktikan sekitar 9% suara Prabowo-Gibran itu salah atau tidak sah.
Itu artinya dibutuhkan pembuktian sebanyak 9% dikali 204 juta pemilih (dikurangi golput) itu sama dengan 13 juta-18 juta suara. Menurutnya, dimana mencari pembuktian sebanyak itu. Jauh lebih sulit lagi jika kecurangan yang ada, jikapun ada, memang tak sebanyak itu.
Menurut Denny, isu kecurangan pemilu perlu diletakkan secara proporsional. Pasti ada kecurangan dan kecurangan itu dilakukan oleh setiap kubu yang bertarung.
Untuk kepentingan hidup bernegara, apa pun kecurangan itu perlu didokumentasi untuk perbaikan ke depan. Demokrasi selalu memerlukan proses penyempurnaan dan pematangan.
"Tapi saya berpandangan. Guna mengevaluasi pemilu curang itu secara objektif dan tidak bias, solusinya bukan hak angket! Solusinya adalah kajian akademis," pungkasnya.
Lihat Juga: PDIP Anggap Janggal Hakim PTUN Tak Menerima Gugatan Pencalonan Gibran: Kita Menang Dismissal
(kri)