Guru Besar UI Ragukan Kerugian Negara pada Kasus Timah

Kamis, 29 Februari 2024 - 22:15 WIB
loading...
Guru Besar UI Ragukan...
Para tersangka dugaan tindak pidana korupsi dalam tata niaga komoditas timah wilayah IUP PT Timah 2015-2022. Foto: Dok iNews Media
A A A
JAKARTA - Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) Prof Andri Gunawan Wibisana menilai kerusakan lingkungan di suatu daerah tambang tidak bisa otomatis disimpulkan sebagai kerugian negara dan terjadi tindak pidana korupsi.

Hal ini menanggapi penggunaan metode kerusakan lingkungan untuk menilai adanya kerugian negara dalam kasus tindak pidana korupsi tata niaga timah yang ditangani Kejaksaan Agung (Kejagung).

“Buktikan dulu tindak pidana korupsinya. Kerusakan lingkungan itu biasanya merupakan dampak. Dalam kasus pencemaran atau kebakaran hutan misalnya, tidak otomatis terjadi korupsi, tapi kesalahan dalam tata kelola lingkungan,” ujar Andri, Kamis (29/2/2024)



Diketahui, Kejagung saat ini telah menahan 2 mantan Direktur Utama PT Timah periode 2016-2021 Mochtar Riza Pahlevi Tabrani dan Direktur Keuangan PT Timah Emil Ermindra serta 11 orang manajemen sejumlah perusahaan smelter timah yang beroperasi di Kepulauan Bangka Belitung.

Para tersangka dituduh telah melakukan tindak pidana korupsi dalam tata niaga timah dengan total kerugian negara mencapai Rp271 triliun. Angka kerugian yang spektakuler itu dihitung oleh pakar IPB Bambang Hero Saharjo berdasarkan kerusakan lingkungan akibat penambangan timah.

Bambang mengatakan, pihaknya melakukan penghitungan kerugian ekologi yang ditimbulkan berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 7 Tahun 2014 tentang Kerugian Lingkungan Hidup Akibat Pencemaran atau Kerusakan Lingkungan.

Terkait kerugian negara akibat kerusakan ekologi, menurut Andri, penghitungan harus dilakukan oleh lembaga yang memiliki kewenangan hukum, kemudian harus diperiksa metodenya, lazim digunakan atau tidak, diterima di komunitas ilmiah atau tidak.

“Ini kan bukan seperti menghitung barang atau mobil yang hilang. BPK juga belum tentu punya kemampuan menghitung kerusakan lingkungan. Ada namanya teknik evalusi lingkungan dan itu ada pakarnya,” kata Andri yang juga Ketua Center for Environmental Law and Climate Justice (CELCJ).

Untuk menilai kasus tata niaga timah, Andri mengaku harus melihat detail kasusnya. Secara normatif, ada dua bentuk kerugian yakni kerugian negara yang berkaitan dengan APBN/APBD dan perekonomian negara.

“Yang pasti buktikan dulu korupsinya. Tidak berarti ada pencemaran terus ada korupsi kan. Korupsi bisa berdampak ABCD, salah satunya kerusakan lingkungan,” ujar Andri.

Penggunaan kerusakan ekologi untuk menghitung kerugiaan negara juga mendapat respons dari Pakar Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) Chairul Huda.

"Untuk membuktikan adanya kerugian perekonomian negara itu termasuk kerugian karena kerusakan ekologis itu harus berdasarkan audit BPK," katanya, beberapa waktu lalu.

Chairul menilai kerusakan lingkungan karena bekas tambang dianggap sebagai kerugian negara dalam bentuk kerugian ekologis belum ada dalilnya. Artinya, belum ada dalil yang cukup kuat untuk mengkonstruksi secara demikian.
(jon)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1138 seconds (0.1#10.140)